Depoedu.com-Membaca berita ini saya benar-benar kecewa. Saya tahu pembelajaran matematika kita kacau parah. Kelas matematika kita nggak terasa matematikanya. Pengajaran matematika guru-guru kita banyak yang bermasalah.
Tapi, membuat pembelajaran matematika menyenangkan bukan solusinya. Solusi matematika menyenangkan itu adalah solusi dari para motivator abal-abal yang tidak benar-benar paham pendidikan matematika.
Solusi pemalas yang tidak mau menggali akar permasalahannya. Solusi yang harusnya tidak hadir dari menteri dengan berderet staf ahlinya.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa belajar matematika harus selalu menyenangkan, tetapi apakah benar begitu? Untuk memahami ini, saya akan gunakan analogi.
Andaikan anda sedang melakukan perjalanan dari Jombang ke Surabaya. Apakah perjalanan anda harus selalu menyenangkan? Tidak, kan. Pasti ada tantangan dan rintangan. Anda harus terjebak macet, kadang ban bocor, disalip emak-emak yang belok kiri tapi sein kanan.
Semua kesulitan semacam itu wajar ditemukan dalam perjalanan. Kesenangan biasanya akan muncul saat anda tiba di tujuan. Kesenangan adalah dampak, bukan tujuan. Seharusnya begitu pula dengan pengalaman belajar.
Setiap anak pasti mengalami kesulitan dalam belajar. Dan hal itu adalah suatu kewajaran malah bisa jadi keharusan. Saya masih ingat betul Tesis di S2 saya mengambil topik kesulitan belajar matematika.
Sewaktu bimbingan dengan dospem saya dites, “ngapain kamu meneliti kesulitan belajar. Kan kalau tidak mengalami kesulitan berarti tidak ada proses belajar”. Saat itu saya langsung tersentak.
Benar juga ya. Setiap proses belajar harus melampaui kesulitan. Meskipun kita tahu tidak ada satu orang pun yang senang mengalaminya, kesulitan itu tetap harus dilalui.
Kesulitan dalam belajar memang tidak bisa dihindari, tetapi bukan berarti harus dibiarkan begitu saja. Dalam pendidikan, ada konsep yang disebut scaffolding, yang berfungsi sebagai jembatan bagi siswa untuk melewati kesulitan mereka.
Murid juga mungkin sekali mengalami Conflicts Cognitive dalam memahami konsep baru. Misal dari bilangan bulat ke bilangan pecahan. Tak mengapa. Conflict Cognitive ini justru dapat memberi kesempatan bagi mereka untuk memperkuat konsepnya.
Baca juga : Berikut Ini Topik Lain yang Harus Menjadi Bahasan Antara Orang Tua dengan Anak Sebelum Mereka Remaja
Baik kesulitan atau conflict cognitive yang dialami anak bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Tapi di situlah peran guru dibutuhkan. Membantu mereka untuk melalui setiap kesulitannya.
Benar memang banyak anak indonesia yang tidak suka matematika dengan beragam penyebabnya. Tapi, solusinya tidak harus membuat anak senang belajar matematika.
Sebagai manusia, semakin kita dewasa, semakin kita harus terbiasa untuk melakukan hal-hal yang kita anggap benar meskipun tidak kita senangi. Kita harus aktif berjalan agar sehat meski kita sering mengeluh kecapekan. Agar sembuh, kita harus minum obat meskipun rasanya pahit.
Alih-alih menargetkan pembelajaran yang “menyenangkan” tanpa definisi yang jelas, kita bisa melihat pendekatan pembelajaran matematika yang telah terbukti berhasil di berbagai negara. Salah satunya adalah pendekatan CPA yang diterapkan di Singapura.
Pendekatan yang digunakan di Singapura sebenarnya bukan temuan baru. Pendekatan ini dikenal dengan CPA (Concrete Pictorial Abstract). Pendekatan ini memungkinkan murid (utamanya anak usia dini) untuk belajar melalui tahapan konkret, gambar lalu abstrak.
Teori ini dikembangkan Bruner puluhan tahun yang lalu dan sudah teruji secara empiris. Berbeda dengan deep learning yang kerangka konseptualnya saja tidak jelas.
Dengan konsisten menerapkan CPA, Singapura menjadi negara yang langganan di posisi teratas skor matematika pada PISA. Pendekatan CPA juga memungkinkan anak benar-benar memahami konsep matematika diawali serangkaian kegiatan motorik, berlanjut ke gambar lalu sampai menuju abstrak.
Tidak sekedar menghafal prosedur dan rumus cepat sebagaimana di Indonesia. Murid-murid kita ini seolah belajar banyak materi matematika tapi sedikit yang mereka benar-benar paham. Coba saja tanyakan berapa hasil dari 1 dibagi 1/2.
Tak banyak yang bisa menjawab. Bahkan yang menjawab benar pun belum tentu paham betul kenapa jawabannya benar.
Supaya tulisan ini tidak dikira nyinyir semata, saya berikan alternatif keduanya. Pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) yang sukses diterapkan di Belanda. Seperti namanya RME membawa matematika ke dalam pengalaman keseharian anak.
Pembelajarannya sering dimulai dari masalah yang anak hadapi sehari-hari. RME menekankan pada konteks dunia nyata yang digunakan dalam belajar matematika.
Sama halnya seperti pendekatan CPA, RME juga menganggap belajar adalah aktivitas. Jadi murid mendapat banyak kesempatan dalam trial and error. Bukan sekedar mendengar apa yang guru katakan di depan kelas.
Baca juga : Masih Tentang: Apa Topik Obrolan Orang Tua Dengan Anak Pra Remaja
Bukan hanya menyalin rumus yang ditulis guru di papan. Tapi benar-benar memahami matematika dari konsep dasarnya.
Istilah pembelajaran menyenangkan itu berbahaya. Selain definisinya yang memang tidak ada, juga tidak jelas bagaimana kerangka konseptualnya. Ditambah lagi dengan kemampuan literasi guru-guru kita.
Memahami pembelajaran berdiferensiasi yang secara teori sudah jelas saja masih salah kaprah. Memahami konsep P5 saja banyak yang ngawur. Apalagi memahami istilah pembelajaran menyenangkan yang tak jelas asal-usulnya.
Lihat saja sekarang banyak bermunculan Workshop deep learning abal-abal yang membeo slide yang disajikan kementrian pendidikan. Semua tiba-tiba menjadi ahli dalam deep learning hanya berbekal membaca slide itu ditambah satu atau dua buku. Lihat saja betapa banyak orang yang memahami Joyful learning seenaknya.
Contohnya, cari saja di tiktok. Betapa banyak pembelajaran matematika yang terkesan menyenangkan. Entah itu dengan menyanyi, menari, game atau ice breaking yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan matematika.
Mungkin murid senang menghafalkan nilai tempat dengan menyanyi, tapi tetap saja itu hanya menghafal. Tidak benar-benar memahami.
Mumpung belum telat. Alangkah baiknya istilah pembelajaran yang menyenangkan ditarik saja. Daripada menyebabkan salah paham di mana-mana.
Kalau memang dimaksudkan menggunakan pendekatan matematika seperti CPA ya diakui saja pakai CPA tidak perlu di-branding ulang dengan nama sendiri.
Tidak perlu malu menggunakan teori yang sudah ada. Daripada membuang tenaga untuk menciptakan pendekatan baru hanya lewat obrolan di rapat, lebih baik habiskan tenaga dan waktu agar guru-guru dapat mengimplementasikan pendekatan yang sudah ada, misal CPA dan RME.
Adapun alternatif ketiga, keempat dan kelima, tapi tentu mereka harus mengundang saya
Tak perlu mengkhawatirkan tentang kesenangan murid dalam belajar. Karena setiap kali mereka berhasil melalui kesulitannya, maka saat itulah kepuasan dan kesenangan akan mereka rasakan.
Tak perlu juga menyenangkan semua pihak. Lakukan saja dengan benar. Saat semuanya sampai di tujuan, kita semua akan senang.
Foto: Depositphotos