Ini Hasil Riset tentang Pekerjaan Rumah bagi Murid di Sekolah, Perlu atau Tidak?

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com-Keberadaan pekerjaan rumah (PR) dalam struktur kurikulum sekolah hingga kini masih jadi perdebatan di kalangan para pengelola pendidikan di Indonesia. Ada kelompok yang menganggap PR sangat perlu diberikan oleh guru di akhir pelajaran. 

Kelompok ini menganggap bahwa PR diperlukan agar para murid dapat mengulang pelajaran atau menyiapkan pelajaran berikutnya. Menurut mereka, jika guru tidak memberi  PR di akhir pelajaran, para murid tidak akan mengulang pelajaran, selepas pulang sekolah. 

Bagi kelompok ini, memberi PR pada murid merupakan sarana bagi guru mengkondisi murid untuk mengulang pelajaran. Menurut mereka peristiwa pengulangan pelajaran melalui PR diperlukan agar materi yang dipelajari masuk dalam memori jangka panjang murid.

Secara teknis pandangan ini kemudian dilembagakan dalam kebijakan seperti rumus pengolahan nilai di mana PR menjadi salah satu komponen dalam  rumus penilaian yang berlaku. Maka jika murid tidak mengerjakan PR, nilai rapor pasti jelek.

Kelompok berikutnya berpandangan berbeda. Menurut mereka guru seharusnya tidak memberikan PR kepada para murid di akhir pengajaran. Bagi mereka pemberian PR kepada murid di akhir pelajaran tidak bermanfaat bagi pertumbuhan murid. 

Waktu yang digunakan untuk mengerjakan PR paling sedikit 45 sampai 60 menit. Kelompok ini berpandangan, waktu yang diperlukan untuk mengerjakan PR seharusnya digunakan murid untuk bergaul dengan teman sebaya, membantu orang tua atau kesempatan berkomunikasi dengan orang tua.

Dibandingkan dengan kelompok yang pro-PR yang lebih besar, jumlah pendukung kelompok ini lebih sedikit, namun ada. Di Indonesia, ada beberapa sekolah melarang gurunya memberikan PR kepada para murid di akhir pelajaran. Bahkan Wali Kota Surabaya melarang sekolah-sekolah di wilayahnya memberikan PR.

Baca juga : Mengenal Nilai Minimal Rapor Dan UTBK Untuk Daftar PKN STAN 2024

Pemerintah Kota Surabaya beralasan, jam sekolah sudah sangat panjang, oleh karena itu, setelah pulang sekolah murid tidak perlu lagi mengerjakan PR, agar waktunya digunakan untuk aktivitas lain yang lebih bermanfaat seperti membantu orang tua atau mengaji di TPA. 

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pada saat itu (25 Oktober 2022) menegaskan jam sekolah sudah sangat panjang menyebabkan waktu anak untuk aktivitas lain di luar sekolah sudah berkurang. Padahal untuk pertumbuhan yang sehat, selain belajar anak perlu menggunakan waktu juga untuk beristirahat dan bermain.

Hasil riset tentang perlu tidaknya pekerjaan rumah

Sejumlah penelitian berikut, seperti dilansir pada laman National Geographic mudah-mudahan dapat memandu kita untuk mengambil keputusan yang lebih bijak tentang perlu tidaknya PR dalam kurikulum  dan sistem pendidikan kita. 

Riset pertama, dikerjakan oleh Chris McNutt. Dalam laporannya ia menyimpulkan bahwa PR adalah praktik tidak adil yang merugikan murid. Dalam risetnya ia menyimpulkan bahwa banyak sekolah swasta memberikan PR yang ekstrim.

Menurut Mc Nutt, ini  menyebabkan banyak murid gagal masuk perguruan tinggi terbaik karena mereka kehilangan waktu untuk menyiapkan diri untuk masuk perguruan tinggi, karena waktu tersebut digunakan untuk mengerjakan PR.   .  

Riset kedua, dikerjakan oleh David P. Backer dan Gerald K. LeTendre. Ini adalah proyek riset skala besar yang dilakukan selama 4 tahun terhadap sekolah-sekolah di 47 negara .Ini adalah satu riset yang kemudian berdampak dalam pengelolaan sekolah.  

Riset tersebut menyimpulkan bahwa negara-negara yang memberikan PR paling sedikit seperti Denmark dan Republik Ceko, memiliki nilai ujian lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang paling banyak memberikan pekerjaan rumah seperti Iran dan Thailand.      

Baca juga : Presiden Tetapkan Jadwal Cuti Bersama Tahun 2024, Salah Satu Acuan Menyusun Kalender Akademik

Mereka juga menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara prestasi akademik dan PR kepada murid, terutama murid SD. Hasil penelitian ini telah digunakan Presiden Irlandia untuk memutuskan melarang guru di Irlandia memberikan PR kepada murid mereka.

Riset ketiga, dikerjakan oleh Valerie A. Cool dan Timothy Z. Keith yang dilaporkan melalui jurnal Contemporary Educational Psychology. Mereka menyimpulkan bahwa kualitas pengajaran, motivasi dan kemampuan murid berkorelasi prestasi akademik. 

Sebaliknya mereka menyimpulkan bahwa hanya ada korelasi kecil antara PR dan prestasi akademik bahkan cenderung kontraproduktif. Mereka menyimpulkan bahwa PR lebih banyak menimbulkan masalah akademis. 

Menurut tim peneliti ini setelah meneliti 28.051 murid di berbagai sekolah menengah atas, PR hanya menambah tekanan sosial bagi murid yang sudah memiliki masalah di rumahnya. Ini berdampak buruk bagi mereka dalam prestasi akademis. 

Riset keempat, dilakukan tahun 2014 oleh Charles B. Chang dan timnya. Mereka menemukan bahwa waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan PR berdampak negatif yang signifikan terhadap nilai dan masalah akademis lainya. 

Hal ini terjadi karena waktu yang seharusnya digunakan untuk mengasah keterampilan lain seperti keterampilan sosial, atau komunikasi dengan teman sebaya, komunikasi dengan orang tua, digunakan untuk mengerjakan PR sehingga kesempatan tersebut hilang.  

Itulah rangkuman data dari empat penelitian tentang PR. Semoga data dari hasil riset ini menggugah kita untuk mendiskusikan kembali keberadaan PR dalam kurikulum sekolah kita, untuk memutuskan kembali yang terbaik bagi pertumbuhan murid kita. 

Foto: Psychology Today

5 2 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments