Depoedu.com – Upaya pelibatan publik dalam pengembangan pendidikan oleh Pemerintah pusat dalam satu dekade terakhir semakin masif. Pemerintah menyadari, pendidikan di negeri ini membutuhkan sinergi dan keterlibatan semua pihak dalam lingkaran ekosistem pendidikan, yakni pemerintah, guru, orangtua, siswa, lembaga non pemerintah dan masyarakat umum. Sebagai salah satu otoritas utama penyelenggara pendidikan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam tiga tahun terakhir konsisten memanfaatkan pers/media massa untuk untuk menghimpun keterlibatan para pelaku pendidikan, praktisi media dan khalayak umum yang concern pada sektor pendidikan. Proses pelibatan itu diwujudkan dalam bentuk tulisan-tulisan berita, feature dan opini/artikel tentang isu-isu pendidikan di Indonesia.
Seperti pohon ilham yang terus menuai hasil, jauh sebelum bangsa ini merdeka, Bapak Pendidikan Indonesia, Soewardi Soerjadiningrat (Ki Hajar Dewantara) juga menggunakan pers sebagai alat perjuangannya. Tulisannya “Als ik eens Nederlander Was” (Seandainya Aku seorang Belanda) yang dimuat di koran De Ekspress edisi 13 Juni 1913 sukses membakar semangat kaum pribumi untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Pada konteks ini, Kemendikbud tampaknya ingin mewarisi ikhtiar tokoh peletak dasar pendidikan Indonesia dengan berusaha menghiasi isu pendidikan diberbagai rubrik media massa,dengan melibatkan penulis dari berbagai profesi dan beragam genre tulisan.
Bahasa program untuk kampanye Kemendikbud ini adalah Lomba Apresiasi Jurnalistik Kemendikbud. Setidaknya ada dua bidang/direktorat yang rutin menggelar event ini dalam tiga tahun terakhir, yakni Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) dan Direktorat PAUD dan Pendidikan Keluarga Kemendikbud. Tema lomba berbeda setiap tahun. BKLM cenderung mendorong tulisan dengan tema pendidikan dan kebudayaan secara umum, sementara Direktorat PAUD dan Pendidikan Keluarga fokus pada keterlibatan keluarga bagi pendidikan anak-anak.
Pendidikan dan penulis NTT
Melalui event ini, Kemendikbud seperti menemukan proyeksi ragam warna-warni pendidikan Indonesia secara umum. Ini karena peserta berasal dari seluruh propinsi di Indonesia. Substansi tulisan juga bermacam-macam, misalnya tantangan pengembangan pendidikan, keterlibatan orangtua dan keluarga dalam pendidikan anak, maupun kisah sukses dan prestasi para pelaku pendidikan di daerah. Pada perhelatan tahun 2017 lalu, dua tulisan penulis dari Nusa Tenggara Timur (NTT) berhasil menjadi juara masing-masing di Direktorat PAUD dan Pendidikan Keluarga serta BKLM Kemendikbud.
Pertama, karya feature jurnalis harian Pos Kupang, Beny Dasman, berjudul “Skol Amnasit, Sekolah Orangtua Merenda Karakter Anak Timor” menjadi juara 1 kartagori feature pada Lomba Karya Jurnalistik yang diselenggarakan Direktorat PAUD & Pendidikan Keluarga Kemendikbud. Penulis berhasil melukis kisah sejumlah orangtua di Kabupaten Timor Tengah Utara yang menimba ilmu di Skol Amnasit (sekolah orangtua) sebagai bekal mereka menjadikan rumah, sekolah pertama bagi pendidikan karakter anak-anak, dengan para orangtua ini sebagai gurunya. Di Skol Amnasit, para orangtua mempelajari nilai-nilai luhur budaya yang tumbuh dalam keluarga masyarakat Dawan di Timor Barat, untuk kemudian diterapkan dalam pola asuh anak-anak mereka. Tulisan ini sangat menginspirasi, terutama karena menonjolkan potensi nilai kearifan lokal masyarakat NTT, sebagai pintu masuk (entry point) pendidikan karakter anak di keluarga.
Kedua, tulisan Opini karya M.N.Aba Nuen berjudul “Bahasa Inggris, Nasionalisme dan Kurikulum Pendidikan Kita” di harian Timor Ekspress, 5/11/2016 terpilih sebagai juara 3 Lomba Jurnalistik katagori opini guru di BKLM Kemendikbud tahun 2017. Opini ini diantaranya mengulas keberhasilan sejumlah anak NTT yang karena memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik, akhirnya mengantar mereka menjadi diplomat di beberapa Kedutaan RI di luar negeri. Pada awal tahun 2000an, Kementrian Luar Negeri bekerja sama dengan universitas negeri di Indonesia Timur untuk merekrut para calon diplomat dari wilayah ini. Program ini kemudian kontraproduktif dengan kebijakan penerapan kurikulum 2013, yang justru menghilangkan pelajaran Bahasa Inggris di jenjang SD, dan mengurangi jam pelajaran bagi siswa SMA jurusan IPA/IPS. Para diplomat asal NTT alumnus Universitas Nusa Cendana (Undana) yang lulus rekrutmen ketika itu antara lain Banga Malewa, Yulius Madakaka, Nadia Said, Sturmius Bate, Wandry Wabang, Lydia Karlin Ndun dan Stefans Djami.
Pada edisi lomba jurnalistik tahun 2018 di Direktorat PAUD dan Pendidikan Keluarga Kemendikbud, NTT kembali meloloskan dua penulis menjadi nominator pemenang dan 10 orang pemenang utama akan diumumkan pada 24-26 Oktober mendatang di Jakarta. Pada katagori feature, Jibrialis Ebed De Rozari menembus 35 nominator pemenang dari ratusan tulisan yang masuk ke panitia dengan judul tulisan “Meski Difabel, Lylis Semangat Dirikan PAUD untuk Anak-Anak”. Jurnalis portal online Cendananews.com ini menulis kisah dedikasi seorang ibu rumah tangga penyandang disabilitas di Maumere, yang penuh pengorbanan memfasiltasi berdirinya sebuah sekolah PAUD di komunitasnya. Namanya Maria Lylis Supratman, meski kedua kakinya cacat, semangat dan empatinya besar pada pendidikan anak-anak usia dini. Setelah berembug dan bersepakat dengan ibu-ibu rumah tangga sekitar rumahnya, Lylis lantas menyulap ruang tamu rumahnya berukuran 3×4 meter persegi, menjadi ruang kelas PAUD Pelita Hati. PAUD rintisannya kini memiliki 3 orang tutor termasuk dirinya dengan jumlah pembelajar 22 anak. Berkat advokasinya, sekolah itu rutin mendapat bantuan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sikka, insentif dari kelurahan, juga bantuan alat-alat permainan dari para donatur.
Selain itu, penulis NTT lain juga berjaya dikatagori opini. Tulisan karya M.N.Aba Nuen berjudul “Meneropong Partisipasi Masyarakat dan Keluarga dalam Pengembangan Pendidikan di NTT” yang terbit di harian Timor Ekspress, 23/3/2018 ditetapkan menjadi satu dari 35 nominasi pemenang dari total 323 opini yang masuk ke panitia. Ini adalah sebuah opini reflektif tentang keterlibatan masyarakat dan keluarga pada sektor pendidikan di NTT sejak abad ke 19 hingga sekarang. Hasil riset sederhana penulis diungkapkan dalam tulisan ini, tentang sejumlah praktek bagus (best practice) yang dijalankan masyarakat dan keluarga di beberapa tempat di NTT dalam mendukung pengelolaan pendidikan di tingkat lokal. Salah satu contoh, keterlibatan para orangtua siswa dan aparatur di desa Riangduli, Adonara, untuk mendukung pendidikan anak mereka. Caranya, musyawarah masyarakat ditingkat desa memutuskan untuk membantu subsidi biaya pendidikan anak-anak sekolah berprestasi di desa Riangduli dari anggaran dana desa (ADD). Langkah pertama untuk itu adalah membentuk kelompok-kelompok belajar siswa semua jenjang di desa. Tugas orangtua yaitu mengontrol jalannya aktivitas belajar anak-anak disetiap kelompok belajar. Akhirnya, siswa berprestasi 10 besar di sekolah masing-masing berhak mendapat dana stimulan Rp. 350.000/siswa/semester. Ama Lego Rianghepat, Kepala Desa Riangduli, seorang Katolik, Desember 2017 lalu hadir langsung pada pembagian laporan hasil belajar siswa semester ganjil di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs N) Witihama untuk memantau dan menyerahkan reward itu kepada pelajar muslim berprestasi asal desanya. Selama tiga tahun program ini berjalan, jumlah siswa asal Riangduli di MTs N Witihama meningkat signifikan. Pada hal, jarak Desa Riangduli dengan Madrasah di pusat kecamatan mencapai 8km, dan para pelajar harus menempuhnya setiap hari dengan berjalan kaki serta menggunakan jasa ojek.
Setelah membaca keempat tulisan di atas, ada satu kemiripan yang menjadi tumpuan sekaligus memperkuat konten tulisan, yaitu eksplorasi testimoni para pihak yang terlibat dalam fokus tulisan. Testimoni para nara sumber tentang keterlibatan mereka dalam pengembangan pendidikan, secara semantik membuat tulisan-tulisan tersebut sangat bermakna. Tipikal tulisan seperti ini mengingatkan kita pada sosok Vidiadhar Surajprasad Naipaul atau yang lebih sering dikenal sebagai VS Naipaul, sang peraih nobel sastra tahun 2001. Pendekatan ground up dengan membangun kedekatan, ‘menelan’ kehidupan dan ‘menyerap’ kisah sumbernya, akhirnya melahirkan tulisan-tulisan yang menyentuh hati para pembaca.
Secara nasional, statistik pendidikan NTT tidak menggembirakan. Rerata nilai UN SMA nasional masih di peringkat 25 dari 34 propinsi se Indonesia, (Dinas pendidikan propinsi NTT 2016). Alokasi anggaran pendidikan kabupaten/kota di NTT belum satupun mencapai 20% sesuai amanat Undang-Undang (sesuai Neraca pendidikan daerah Kemendikbud 2016). Hasil Uji Kompetensi Guru 2016 masih diangka 50,34 atau di bawah rata-rata nasional sebesar 56,69. IPM NTT 2017 masih 63,73, berada di bawah rata-rata nasional 70,18 (BPS 2018). Banyak sekolah minim fasilitas belajar, sebaran sekolah belum merata di setiap daerah, serta kualifikasi pendidikan dan distribusi guru yang timpang antar wilayah. Akan tetapi, dibalik itu semua, ada banyak terobosan, praktek positif dan kisah sukses yang dijalankan pelaku pendidikan, keluarga dan masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan di NTT. Dan karenanya, dibutuhkan lebih banyak tulisan untuk mewartakannya, sekaligus sebagai upaya menghapus beragam stigma pada sektor pendidikan NTT di level nasional. Selain itu, dengan ‘melukis’ ragam praktek positif itu dalam tulisan, maka terbuka peluang praktek baik demikian diterapkan dibanyak tempat di NTT. (Oleh M.N. Aba Nuen – Guru SMAN Kualin Kab. TTS / Foto: blog.igi.id)