Depoedu.com-Sejak seleksi guru PPPK bergulir, banyak pihak terkait terutama para pengelola sekolah swasta telah menyatakan kekhawatirannya, karena membayangkan akan terjadi migrasi guru, dari sekolah swasta ke sekolah negeri.
Migrasi akan terjadi karena peserta tes PPPK tersebut ternyata bukan hanya guru honorer di sekolah negeri, tetapi juga guru honorer dari sekolah swasta, bahkan guru tetap yayasan yang menjadi tulang punggung sekolah swasta.
Kekhawatiran tersebut kemudian menjadi ancaman yang semakin nyata setelah, mayoritas peserta tes yang lulus ternyata berasal dari sekolah swasta. Alpha Amirudin, sekertaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menegah PP Muhammadiyah misalnya menyatakan, 3000 guru Muhammadiyah dinyatakan lolos.
Keluhan yang sama muncul dari Unifah Rosidi Ketua Umum Pengurus Besar PGRI. Jumlah guru yang lolos tes PPPK dari sekolah yang dikelola oleh PGRI bahkan lebih besar daripada jumlah guru dari sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah.
Ancaman migrasi guru dari sekolah swasta ke sekolah negeri menjadi ancaman yang sangat nyata, seperti diungkap oleh Ketua Paguyuban Guru Tidak Tetap (GTT) Kabupaten Kebumen Musbihin. Ia mengungkap kasus di sebuah SMP swasta di Kabupaten Kebumen.
“Guru yang mengajar sehari-hari di SMP tersebut, ada 15 orang dan mereka semua mengikuti tes. Setelah mengikuti tes PPPK tahap ke 2, ke-15 orang guru tersebut dinyatakan lulus. Bagaimana menangani kekosongan guru ini, setelah ke-15 guru ini migrasi ke sekolah negeri?” tanya Musbihin.
Reaksi keras kemudian bermunculan dari berbagai pihak, di antaranya berasal dari Anwar Abas, wakil ketua umum Majelis Ulama Indonesia dan salah satu ketua PP Muhammadiyah. Ia mendesak agar guru-guru dari sekolah swasta yang lulus tes PPPK dikembalikan untuk mengajar di sekolah swasta.
Desakan juga datang dari Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi. Menurutnya seleksi PPPK mendatangkan masalah besar bagi sekolah swasta. Ia mempertanyakan bagaimana pemerintah menangani dampak migrasi guru ini di sekolah swasta?
Desakan-desakan ini mendorong Komisi X DPR RI yang membidangi masalah-masalah pendidikan mengadakan rapat kerja pada Selasa, 12 April 2022 dengan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek).
Pada rapat kerja tersebut, Komisi X DPR RI sepakat dengan Nadiem Makarim untuk mengembalikan guru-guru dari sekolah swasta yang lulus tes PPPK untuk kembali mengajar di sekolah swasta tersebut. Selanjutnya Nadiem Makarim akan menyusun regulasi dengan KemenpanRB.
Nampaknya kesepakatan antara komisi X DPR dan Mendikbudristek ini secara teknis sulit dilakukan karena kendala regulasi aturan kepegawaian terdahulu, sehingga sampai sekarang masih sulit terlaksana. Sekolah swasta merasa sangat dirugikan oleh kebijakan ini.
Belakangan muncul keberatan dari Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nasir yang ia sampaikan di sela acara Ground Breaking kampus 1 unit B Universitas Ahmad Dahlan di Yogyakarta (14/5).
“Program PPPK mendatangkan masalah serius bagi swasta. Banyak guru meninggalkan sekolah sebelumnya untuk menjadi ASN,” kata Ketua PP Muhammadiyah periode kedua ini.
Ia menegaskan bahwa pemerintah mestinya dalam menetapkan kebijakan pendidikan, bisa lebih integratif dan holistik dalam pertimbangannya. Tidak hanya mempertimbangkan sekolah negeri saja melainkan juga sekolah swasta. Disain kebijakan pendidikan pemerintah mestinya tidak linier.
Misalnya, lanjut Guru Besar Sosiologi ini, dalam kasus ini, hanya demi mendapatkan guru yang bermutu untuk sekolah negeri. Menurutnya, kebijakan ini, sangat merugikan sekolah swasta. Padahal, sekolah swasta dan negeri sama-sama mencerdaskan anak bangsa.
Akar Masalah Migrasi Guru
Benar apa yang dikatakan oleh Dr. Haedar Nasir, ketua PP Muhamadiyah bahwa Kemendikbudristek dalam menetapkan kebijakan PPPK guru ini tidak holistik, tidak integratif dan linier, di mana hanya mempertimbangkan sekolah negeri saja. Oleh karena itu, kebijakan ini memang perlu diperbaiki.
Baca juga : Anwar Abas Dan Unifah Rosidi Vs Nadiem Makarin Tentang Dampak Seleksi PPPK Guru, Bagi Sekolah Swasta
Tetapi akar masalah migrasi guru dari sekolah swasta ini tidak sepenuhnya terletak pada kebijakan tes PPPK ini, meskipun diakui bahwa kebijakan ini menjadi salah satu pemicunya. Argumen ini mudah-mudahan dapat menghantar kita pada akar masalah.
Jika dicermati, tes PPPK guru tidak menarik bagi semua guru, di semua sekolah. Oleh karena itu, migrasi sebagai akibat lanjutannya pun tidak terjadi di semua sekolah. Bahkan di Yayasan Muhamadiyah yang terjadi banyak migrasi guru pun, tidak terjadi di semua sekolah Muhammadiyah.
Oleh karena itu nampaknya, akar masalahnya terletak pada kesejahteraan gurunya. Sekolah Muhammadiyah yang besar seperti Muhammadiyah 1 Yogyakarta tidak mengalami dampak dari migrasi. Gurunya bahkan tidak tertarik mengikuti tes PPPK, karena sudah terjamin kesejahteraannya.
Migrasi guru juga tidak terjadi di sekolah-sekolah Katolik, sekolah Kristen dan sekolah-sekolah Islam yang besar, karena kesejahteraan guru pada sekolah-sekolah tersebut cukup terjamin. Oleh karena itu, memperbaiki kebijakan PPPK-nya seperti diusulkan oleh Dr. Haedar Nasir saja tidak cukup.
Untuk mencegah migrasi guru swasta ke sekolah negeri di masa depan, juga diperlukan terobosan ke arah peningkatan kesejahteraan guru. Dan menurut hemat saya, untuk konteks sekolah swasta, peningkatan kesejahteraan guru memerlukan terobosan dan intervensi melalui kebijakan pemerintah.
Terobosan dan intervensi yang dimaksud tidak hanya menyangkut regulasi aturan yang mengatur kesejahteraan guru, kerena regulasi seperti itu sudah ada, melainkan kebijakan subsidi gaji guru melalui Angaran Pendapatan dan Belanja Negara di luar dana bantuan operasional sekolah.
Kebijakan ini diharapkan bukan hanya menghentikan migrasi guru ke sekolah negeri melainkan juga meningkatkan kinerja guru yang akan berdampak langsung pada upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Foto: m.jpnn.com