Depoedu.com- Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk level pendidikan dasar hingga menengah baru saja usai. Dari banyak daerah diperoleh laporan bahwa saat ini banyak sekolah dasar mulai kekurangan murid.
Data dari PPDB Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya menggambarkan gejala tersebut. Dari Kabupaten Sleman misalnya, tercatat ada 23 sekolah mulai kekurangan murid.
Gejala yang sama terbaca baik di Kabupaten Bantul maupun di Kabupaten Gunung Kidul. Di Kabupaten Bantul tercatat ada 20 SD Negeri yang kekurangan murid. Sedangkan di Kabupaten Gunung Kidul tercatat 21 SD Negeri mulai kekurangan murid.
Namun gejala ini juga terjadi di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan di Jawa Timur.
Mendalami Akar Masalah
Menurut hemat kami, akar masalah dari gelajala ini perlu segera ditelusuri oleh Kementerian Pendidikan dan jajarannya, untuk selanjutnya merumuskan solusi yang lebih menyeluruh terhadap gejala ini.
Dari pantauan kami, ada kurang lebih lima masalah yang dirumuskan berbagai pihak, dalam usaha memahami gejala berkurangnya jumlah murid baru di berbagai daerah, sebagai berikut:
Pertama, calon murid di sekitar sekolah memang minim. Masalah ini dirumuskan misalnya oleh Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, juga oleh Kepala SD di Ponorogo, Jawa Timur.
Menurut mereka, ini terjadi karena sekolah-sekolah ini sulit memperoleh murid lebih banyak, karena jumlah murid di daerah ini memang menurun.
Baca juga : Universitas Terbuka Mewisuda Puluhan Pekerja Migran Di Hongkong Menjadi Sarjana
Di satu pihak, keadaan ini adalah ekses dari keberhasilan program Keluarga Berencana pemerintah pada masa lalu. Oleh karena itu, saat ini kita sulit menemukan keluarga yang memiliki anak lebih dari tiga.
Di pihak lain, jumlah sekolah dasar negeri yang dibangun melalui instruksi presiden (Inpres) pada zaman Orde Baru tidak mempertimbangkan keberhasilan program Keluarga Berencana ini.
Saat itu, SD Inpres didirikan di semua desa, padahal di desa tersebut sudah ada sekolah swastanya. Dampaknya baru terasa saat ini.
Kita kelebihan sekolah dasar atau kelebihan daya tampung di satu pihak, tetapi di pihak lain, kekurangan jumlah anak usia sekolah, karena keberhasilan program Keluarga Berencana di masa lalu.
Harusnya jumlah SD Negeri yang didirikan ketika itu, sudah mengangtisipasi keberhasilan program keluarga berencan di masa depan. Besar kemungkinan praktik seperti ini terjadi karena tidak ada koordinasi antar departemen.
Kedua, tingginya motivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta. Masalah ini dirumuskan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, dan oleh Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman.
Menurut mereka, di banyak daerah masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta daripada masuk ke sekolah negeri dalam zonasi, yang mutunya belum tentu baik. Kecenderungan ini di satu pihak menunjukkan bahwa mutu SD Negeri di bawah standar.
Baca juga : Dalam PPDB, Bagaimana Pemerintah Memproteksi SMA Swasta Bagi Masyarakat Kelas Menengah?
Oleh karena itu, di pihak lain menunjukkan salah satu sisi lemah dari kebijakan zonasi, karena jika SD Negeri dalam zonasi bermutu rendah, sama dengan memaksa orang tua menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang tidak bermutu.
Selain itu, seharusnya pemerintah Orde Baru dahulu, tidak mendirikan SD Negeri di daerah basis pesantren. Atau di daaerah yang sudah ada sekolah swasta bermutu.
Ini menunjukkan pemerintah dahulu, menyebut sekolah swasta sebagai mitra, lebih sebagai jargon. Pada kenyataannya, kemitraan antara pemerintah dan sekolah sewasta tidak terjadi.
Dampak buruk kebijakan seperti ini baru terasa saat ini, misalnya di daerah basis pesantren seperti di Jombang Jawa Timur. Di daerah ini, banyak SD Negeri ditutup karena masyarakat lebih memilih pesantren untuk menyekolahkan anak mereka,
Ketiga, letak sekolah yang jauh dari pemukiman. Ini misalnya terjadi di Solo, Jawa Tengah. Disampaikan oleh Kepala SDN Sriwedari. Menurut Kepala Sekolah ini, SDN Sriwedari tidak mendapat murid karena letaknya jauh dari pemukiman.
Sekolah ini pada saat yang lalu dibangun di distrik bisnis. Bukan di daerah pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk jauh dari sekolah, terletak di seberang rel kereta api, dan harus menyeberang jalan besar.
Ini membuat orang tua kuatir menyekolahkan anak mereka di sekolah ini, karena tidak aman menyeberang rel kereta api, atau menyeberang jalan besar. Harusnya pembangunan gedung sekolah taat pada rencana tata ruang.
Pembangunan Gedung sekolah harusnya menyatu dengan pemukiman penduduk. Bukan dibangun di distrik bisnis seperti kasus di Solo atau di banyak tempat lain.
Keempat, konsep sekolah inklusi yang belum diterima oleh masyarakat. Masalah ini misalnya dialami oleh SDN 026 Putraco Indah Kota Bandung. Sekolah ini, di PPDB tahun 2022 hanya menerima 3 orang murid, karena orang tua enggan menyekolahkan anak mereka ke sekolah dengan label sekolah inklusi.
Baca juga : Penerapan Sistem Zonasi Dalam PPDB Dan Inpress Pemerataan Mutu Sekolah Negeri
Orang tua tidak ingin anak mereka sehari-hari bargaul dengan anak berkebutuhan khusus. Ada cara pandang orang tua pada umumnya yang perlu diperbaiki, agar mereka lebih menerima konsep sekolah inklusi.
Sebagai kebijakan, sekolah inklusi harusnya bagus. Namun sebagai kebijakan harusnya diikuti dengan sosialisasi yang baik dan sistematis, sehingga kebijakannya mendapat dukungan yang memadai dari masyarakat.
Sering terjadi, kebijakan baru pemerintah, tidak diikuti dengan sosialisasi yang bagus sehingga implementasinya tidak mendapat dukungan yang memadai dari masyarakat.
Kelima, masalah zonasi menjadi salah satu masalah dalam PPDB terutama karena mutu sekolah negeri belum merata. Oleh karena itu, terjadi banyak penyimpangan dalam proses PPDB tersebut.
Misalnya sampai tahun 2022 ini masih banyak orang tua memanipulasi alamat domisili agar dapat masuk ke SD negeri yang diincar, jika sekolah yang masuk dalam zonasi mereka adalah sekolah yang tidak bermutu.
Oleh karena itu, diperlukan program dari pemerintah untuk mendorong pemerataan mutu sekolah negeri terlebih dahulu. Jika mutu sekolah negeri telah standar, baru penyimpangan dalam PPDB dapat diatasi.
Itulah lima problem yang mencuat dari proses PPDB tahun ini. Mudah-mudahan upaya menyingkap problem ini memberi sumbangan bagi pengembangan pendidikan pada masa yang akan datang.
Foto: beritajatim.com
[…] Baca juga : Mengapa Banyak SD Negeri Tidak Memperoleh Murid Baru Dalam PPDB Tahun Ini? […]