Merawat Kasih Sayang Bersama Alam

Family Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com-Judul tulisan ini terkesan sangat hiperbola. Suatu bentuk pengandaian yang berlebihan. Tetapi ada suatu tujuan mulia yang hendak dihadirkan pada meja pembaca.

Hal ini tentunya berangkat dari keprihatinan penulis akan kondisi alam hari ini yang masih saja dihiasi oleh beragam patologi di dalamnya. Tulisan ini juga sebagai bagian dari cara penulis dalam merayakan dan memaknai Hari Kasih Sayang yang selalu dirayakan setiap tanggal 14 Februari.

Mengawali isi tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca sekalian untuk sejenak mampir ke ruang kepala sang Sosiolog Albert O. Hirschman. Dalam sebuah karyanya berjudul Theory of Regional Development, ia mengingatkan manusia akan hasrat atau keinginan yang dibawa sejak lahir.

Menurut Hirschman, sejak lahir, manusia sudah memiliki dua hasrat atau keinginan yaitu hasrat untuk menyatu dengan sesama dan hasrat untuk menyatu dengan lingkungan alam.

Kedua hasrat ini bagi Hirschman menjadi penanda bahwa manusia tidak hidup seorang diri. Ia membutuhkan kehadiran yang lain, termasuk alam sebagai ruang yang menyediakan segala sesuatu bagi manusia.

Baca Juga : Nadiem Makarim Meluncurkan Kurikulum Merdeka. Apa Keunggulan Dan Karakteristiknya?

Lalu lintas pikiran sebagian dari kita dalam memknai Hari Kasih Sayang hari ini masih berkutat pada sentuhan afeksi antar individu. Hari Kasih Sayang atau lebih familiar dengan Happy Valentine Day (HVD) kerapkali dimaknai sebagai momentum untuk memberi dan menerima.

Pada anak usia remaja, HVD menjadi momentum untuk tukar kado. Bahkan moment ini tak bisa dilalui begitu saja. Sangat spesial. Karena ke-spesial-annya itu, maka perlu ada kenangan yang terukir indah di dalamnya.

Coklat kerapkali menjadi menu sentral yang akan dinikmati oleh para remaja, tak terkecuali orang tua dalam kesempatan ini. Dapat disimpulkan, HVD masih dimaknai sebagai momentum untuk merayakan kasih sayang kepada siapa, dengan cara bagaimana.

Manusia menjadi subjek sekaligus objek sentral yang selalu mendapatkan ruang perhatian yang penuh. Terlihat dengan jelas, bagaimana gejolak kasih sayang itu ditampilkan secara maksimal, sembari mendapatkan pengakuan sebaliknya.

Semuanya itu adalah wajar dan lumrah terjadi dalam momentum HVD. Namun, kita semua perlu untuk melihat sekaligus merayakan dengan cara yang berbeda perihal makna HVD itu sendiri. Pertanyaan reflektif sejatinya hadir untuk mengusik kemapanan kita hari ini.

Sejauh mana relasi saya dengan alam tempat saya melangsungkan kehidupan selama ini? Apa wujud kasih sayang saya terhadap alam yang sudah menyediakan segalanya bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup saya?

Baca Juga : Adaptasi Agar Tetap Beradab

Bagaimana saya merespon berbagai macam bentuk keserakahan yang dipertontonkan oleh tangan-tangan kekuasaan terhadap alam sejauh ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian mengaktifkan sekaligus membangkitkan nalar dan akal kita untuk serentak bergerak cepat dalam memulihkan kemesraan kita dengan alam.

Cerita tentang kerusakan alam hari ini tentunya bukan suatu hal yang baru terjadi. Dalam beberapa bulan terakhir ini, kita bersama-sama menyaksikan bagaimana Negara beroperasi secara paksa terhadap alam.

Di Wae Sano, Manggarai Barat, Flores, NTT, sedang terjadi penetrasi Negara melalui penambangan panas bumi. Warga setempat sudah beberapa kali melakukan penolakan. Beberapa LSM pun hadir bersama warga untuk melakukan penolakan atas rencana pemerintah tersebut.

Sayangnya, kepolosan dan kesederhanaan warga, diikuti dengan ketiadaan “alat kekuasaan” menjadi sia-sia dan bertekuk lutut di hadapan Negara. Hal senada juga dialami oleh warga di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.

Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil, dilakukan oleh alat kekuasaan Negara (gabungan TNI dan Polri). Tak sedikit warga ditangkap. Rencana pemerintah untuk membuka tambang batu andesit pokoknya harus berjalan mulus, tanpa ada hambatan.

Cerita klasik tentang pertambangan di Indonesia serta berbagai program lainnya yang langsung bersentuhan dengan alam belum satu pun menyisakan nada positif. Warga lokal yang terdampak dari setiap kebijakan nyatanya selalu mendendangkan suara-suara miris sebagai ungkapan kesedihan dan penderitaan yang berlarut-larut.

Baca Juga : Tahu Nggak Ibu Siapa?

Akibatnya, kemiskinan terus menjadi cerita lumrah yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi. Bahkan situasi dan keadaan seperti kekurangan air, pencemaran air, pencemaran udara serta kehilangan fauna sudah menjadi hal biasa.

Memang seharusnya terjadi bersamaan dengan penetrasi kekuasaan yang begitu kuat. Masyarakat pun putus asa, kehilangan harapan, yang berujung pada kematian.

Catatan buram tentang keserakahan manusia pada alam sejatinya menjadi bahan refleksi kita semua untuk kembali pada koridor yang tepat. Alam tidak dipandang sebagai bagian yang terpisahkan dari hidup manusia. Alam pastinya melekat pada diri manusia.

Meminjam istilah dari Vandana Shiva, alam adalah ibu. Ia yang menyediakan segalanya, termasuk asi (makanan) bagi anak-anaknya. Penegasan ini harus dibuktikan dalam sikap dan perilaku kita terhadap alam.

Hal-hal sederhana perlu dilakukan. Membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, menjaga kelestarian mata air, serta mengurangi pemakaian plastik adalah hal kecil tetapi menjadi rutin dalam pelaksanaannya.

Akhirnya, mari kita menukar kado kasih sayang bersama alam, bukan hanya untuk kepentingan diri kita saat ini, tetapi juga untuk masa depan anak dan cucu kita.

Penulis adalah Alumni Sosiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Foto:tribunnews.com

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments