Depoedu.com – Microsoft pada Februari 2021, merilis sebuah laporan tahunan dengan tajuk Digital Civility Index (DCI) . Indeks Keberadaban Digital ini merupakan survei pada 16.000 responden di 32 negara di dunia.
Indeks ini adalah mengukur tingkat kesopanan pengguna media sosial di negara-negara tersebut. Hasilnya Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara paling tidak sopan di Asia Tenggara dalam dunia digital atau saat bersosial media.
Dari 32 negara yang dilakukan survey, Indonesia hanya kalah dari 3 negara lainnya. Di dunia, Indonesia menempati posisi ke 4.
Hari ini, sosial media kita kembali dibanjiri oleh foto-foto bahkan video seorang artis dan keluarganya yang mengalami kecelakaan lalulintas.
Baca Juga: Harvard University, Tolak Calon Mahasiswa Karena Komentar Rasis Di Media Sosial
Tidak hanya kabar duka, foto-foto kecelakaan tersebut kini dibagikan dan beredar luas di berbagai platform media sosial.
Atas beredarnya foto-foto tersebut, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Profesor Zubairi Djoerban lewat akun twitter pribadinya @ProfesorZubairi menilai bahwa kita kehilangan empati dengan menyebarluaskan foto-foto kecelakaan.
Ia mengungkapkan bahwa menyebarluaskan foto korban kecelakaan adalah perilaku tidak etis serta tidak menjaga martabat keluarga korban.
“Pakai Empati. Hormati dan hargai keluarga yang sedang berduka. Mereka Juga punya martabat. Terima kasih,” himbau Profesor Zubaii (idxchannel.com-4/11/2021).
Jejak digital yang abadi, bisa saja akan meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga korban, jika suatu saat mereka mendapatkan lagi foto-foto tersebut. Pengalaman traumatik tersebut sangat tidak sopan disebarluaskan.
Cosmas Eko Suharyanto, dosen pada Fakultas Teknik Informatika Universitas Putra Batam dalam opininya di sijoritoday.com (17/04/2017) mengatakan bahwa menyebarkan foto yang mengandung unsur sadisme adalah perbuatan yang melanggar norma dan etika.
Karena itu maka dalam kode etik jurnalis pun seorang watawan dilarang untuk menyiarkan informasi yang bersifat sadis. Kode etik ini semata-mata untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan.
Baca Juga: Media Sosial Berpengaruh Buruk Terhadap Pengguna ?
Sebagai bahasa komunikasi visual, foto tidak hanya merefleksikan sebuah realitas, tetapi sekaligus menciptakan efek pada realitas tersebut. Melihat sebuah foto dapat membuat orang gembira, takut, benci, sedih bahkan trauma.
Sadisme sebagai istilah yang asalnya dari nama seorang filsuf Prancis Donatien Alphonse Francois Marquis de Sade (1740 – 1814), yang oleh KKBI kata “sadis” didefinisikan sebagai ‘tidak mengenal belas kasihan, kejam, buas, ganas atau kasar.’
Karena itu foto-foto yang menimbulkan efek traumatik dan kengerian seperti foto korban kecelakaan, korban teroris, korban bencana alam, dapat dikategorikan sebagai foto dengan unsur sadis, sangat tidak pantas untuk disebarluaskan.
Seringkali foto-foto sadisme ini disebarluaskan tanpa mempertanyakan boleh atau tidak, pantas atau tidak, seolah berlomba menjadi sumber berita dan bangga atas peran tersebut tanpa mempertimbangkan adanya norma dan etika yang dilanggar.
Bukan berarti tidak boleh sama sekali memosting foto-foto dengan unsur sadisme. Syaratnya adalah tidak menampilkan foto yang vulgar, namun harus “diblur”, tidak harus memperlihatkan apapun yang dapat menimbulkan kengerian, sedih bahkan trauma bagi siapa saja yang melihat.
Baca Juga: Belajar Bersosial Media Dari Tiga Tokoh Muda
Dunia yang kita genggam dalam tangan kita, yang melesatkan informasi apapun keseluruh penjuru dunia, adalah dunia yang sepenuhnya dapat kita kendalikan.
Informasi apapun yang tersaji dalam dunia (virtual) yang nyata ini, dapat menjadikan satu bumi ini lebih layak, lebih mendamaikan untuk ditempati sebagi rumah kita bersama.
Kita bisa memilih menjadi warga net yang menciptakan sekaligus mempromosikan keadaban, sopan santun dalam setiap tindakan kita terutama saat bermedia sosial. Bagaimana dengan Anda, Eduers?
Tulisan ini sebelumnya tayang di eposdigi.com, kami tayangkan kembail dengan izin dari penulis / Sumber foto: rdk.fidkom.uinjkt.ac.id