Depoedu.com – “Ide praksisnya adalah mengorganisir kelompok belajar sesuai kedekatan sesama siswa dari jenjang TKK hingga jenjang SMA. Jika ada sarjana dalam lingkup kelompok belajar tersebut, maka perannya adalah sebagai fasilitator.”
Demikian tulis Boro Beda Darius dalam tanggapannya terkait diskusi tentang pendidikan kontekstual yang diselenggarakan media ini beberapa waktu lalu.
“Tarolah, jika di lingkungan terdekat ada kelompok pelajar dari berbagai jenjang maka anak TK dan SD bisa dibantu oleh yang lebih besar, SMP atau SMA, misalnya,” tulisnya lebih lanjut.
Baca Juga: Komunitas Baca “Masdewa”, Contoh Nyata Pendidikan Kontekstual
Apalagi jika karang taruna dilibatkan untuk mengorganisir kelompok yang lebih besar. Tidak lagi dalam skala lingkungan, melainkan bisa lebih luas mengorganisir para siswa di desa mereka.
Intinya, tulis Boro Beda; “Sarasan kita adalah tiga kompetensi belajar; kritis, analitis dan konseptual. Benar bahwa pendidikan kita harus kontekstual – kita belajar dari sesama, lingkungan dan alam -, sekaligus berbasis gemohing (kolaboratif)”.
Hal ini menjadi keharusan saat ini, karena institusi pendidikan sedikit banyak telah mencerabut para siswa dari sumber belajar seperti alam, orang tua dalam aktivitas keseharian, dari kehidupan sosial kemasyarakatan dan lainnya.
“Maka perlu didorong pendidikan yang lebih kontekstual dengan kompetensi mampu berpikir kritis, analitis dan konseptual sejak dini”, tulisnya.
Dalam tanggapannya itu, Boro Beda juga mengangkat kasus kelangkaan air bersih di beberapa daerah di Pulau Adonara.
Menurutnya itu terjadi bukan hanya karena ulah manusiayang tidak menjaga alam, namun alam pun terus berdialektika bahkan secara destruktif. Tinggal bagaimana kita mampu memahami gejala alam untuk tetap survive.
Selama ini kita hanya belajar berdasarkan materi dalam buku-buku yang berasal dari Jawa, yang kadang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat kita. Kita belum belajar dari materi yang berasal dari berbagai persoalan kemasyarakatan kita.
Contoh paling vulgar adalah kita memiliki sekolah kejuruan dengan jurusan multimedia, namun siswanya belum banyak yang memiliki laptop, atau bahkan sekedar HP android.
Baca Juga: Soal Pendidikan, Mengapa Harus Kontekstual?
Jika pun ada persoalan lain yang masih menjadi PR besar kita adalah jangkauan sinyal yang memungkinakan siswa dapat belajar dengan maksimal.
Bahkan sejak dari tingkat sekolah menengah ataspun kita ‘tunduk’dan harus menyesuaikan dengan permintaan dunia kerja di Jawa.
“Seharusnya kita fokus pada jurusan atau bidang yang bisa membantu kita menyelesaikan persoalan pertanian, peternakan dan kelautan berikut produk-produk turunannya”, tutup Boro Beda dalam tanggapannya tersebut.
Foto: siedoo.com