Depoedu.com –Ketika terjadi pemaksaan murid non-muslim di SMKN2 Padang memakai jilbab, Nadiem Makarim membuat pernyataan yang menimbulkan polemik. Ia menegaskan bahwa sekolah tidak boleh membuat peraturan terkait penggunaan seragam khusus untuk agama tertentu, apalagi peraturan tersebut tidak sesuai dengan kepercayaan murid.
Nadiem menyebut, seperti dikutip olah Kumparan.com, peraturan tersebut merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman. Sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ia kemudian meminta pemda untuk memberikan sanksi kepada pejabat sekolah yang membuat peraturan tersebut.
Baca Juga: Pendidikan Berbasis Keberagaman Perlu Diterapkan Di Sekolah
Padahal, Kepala SMKN2 Padang Rusmadi menyatakan, aturan penggunaan jilbab untuk murid Sekolah Negeri Padang sudah berlangsung dari tahun 2005 sebagai bagian dari kebijakan Wali Kota Padang, melalui Instruksi Wali Kota no. 451.442/BINSOS-iii/2005.
Salah satu poin instruksi tersebut adalah mewajibkan penggunaan jilbab bagi murid perempuan yang menempuh pendidikan di Sekolah Negeri di Padang. Penerapan aturan inilah yang menjadi cikal bakal kontroversi tersebut.
Baca Juga: Gerakan Radikal Di Lembaga Pendidikan, Indonesia Dalam Ancaman, Di Usia 75 Tahun?
Jadi bukan semata-mata merupakan keputusan Kepala Sekolah. Banyak kebijakan sekolah yang cikal bakalnya adalah keputusan dan kebijakan politik. Sekolah Negeri, sejak zaman reformasi, menjadi ajang politisasi kaum politisi, tentu saja untuk mempertahankan elektabilitas mereka.
Sekolah Negeri yang didirikan oleh pemerintah sebagai ajang pembinaan semangat nasionalisme dan toleransi terhadap perbedaan, kemudian digeser menjadi sekedar alat politik bagi pribadi dan golongan tertentu, untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok.
Baca Juga: Cuti Bersama Dalam Rangka Perayaan Idul Fitri Digeser Ke Bulan Desember
Oleh karena itu, menghukum Kepala Sekolah tanpa meneliti latar belakang sejarah, tidak bijak dan bukan merupakan langkah penyelesaian masalah.
Sebagai produk politik, upaya penanganannya juga memerlukan langkah politik. Oleh karena itu, kehadiran Surat keputusan Bersama Tiga Menteri ini merupakan langkah politik yang baik, dan terobosan yang ditunggu publik.
Baca Juga: Dealing With Differences
SKB Tiga Menteri
Pada tanggal 3 Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri menerbitkan SKB tentang penggunaan pakaian seragam sekolah dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan Sekolah Negeri pada semua jenjang.
SKB tersebut memuat enam butir utama keputusan sebagai berikut :
- Keputusan Bersama ini mengatur Sekolah Negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
- Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan berhak memilih antara berseragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemerintah Daerah dan Kepala Sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama, paling lambat 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
- Jika terjadi pelangaran terhadap keputusan ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar :
- Pemerintah Daerah memberikan sanksi kepada Kepala Sekolah, Pendidik, dan/atau Tenaga Kependidikan;
- Gubernur memberikan sanksi kepada Bupati dan Wali Kota;
- Kementrian Dalam Negeri memberikan sanksi kepada Gubernur;
- Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi kepada sekolah terkait BOS dan bantuan pemerintah lainnya. Tindak lanjut atas pelanggaran akan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
- Sementara itu, Kementrian Agama melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan pemberhentian sanksi.
- Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Propinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan Keputusan Bersama ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemerintah Aceh.
Dalam rangka penanganan aduan dan pelaporan terkait pelanggaran SKB ini, silakan masyarakat melaporkan melalui pusat panggilan 177 atau portal ULT : http://ult.kemendikbud.go.id/ atau email : pengaduan@kemendikbud.go.id, atau portal lapor : http://kemendikbud.lapor.go.id/
Radikalisme di Sekolah Negeri
Kehadiran SKB ini merupakan langkah politik yang maju, namun sayang, isinya hanya menyangkut pakaian seragam. Padahal masih sangat banyak kebijakan-kebijakan politik dan pengembangan budaya terkait Sekolah negeri yang bersifat abu-abu dan intoleran.
Oleh karena itu, kita masih menunggu langkah Kementrian pendidikan membersihkan sekolah dari unsur-unsur radikalisme. Ken Setiawan, seperti dikutip Kininews.com mengatakan, kasus guru terpapar radikalisme sebenarnya banyak.
Ia mencontohkan, di Lampung, banyak guru di Sekolah Negeri masih bebas mengajarkan tentang khilafah dan demokrasi haram. Kata Ken, di sekolah tersebut bertugas tiga orang guru berstatus ASN eks HTI yang masih mengajarkan faham khilafah.
Baca Juga: Merawat Keberagaman Kunci Sukses Persatuan Bangsa
Bahkan Ken menyebut bahwa radikalisme dan intoleransi sudah ditanamkan mulai dari pendidikan usia dini.
Oleh karena itu, meskipun kita menyambut SKB terkait pakaian seragam sebagai langkah maju, namun pemaksaan pemakaian seragam hanya merupakan gejala kecil yang mengakar pada masalah intoleransi dan radikalisme.
Maka kita menunggu langkah pemerintah membersihkan sekolah dari gerakan radikalisme, sebelum virus ini menyebar lebih luas di kalangan anak sekolah karena masa depan bangsa ada di tangan mereka.