Depoedu.com – The Wahid Institute pernah merilis bahwa mayoritas anggota Rohani Islam atau Rohis siap jihad ke Suriah. Adapun survei Maarif Institute pada 2017, mengungkapkan paham radikalisme masuk lewat alumni, guru, dan kebijakan sekolah, bahkan yang lebih memprihatinkan, ada guru yang menyebarkan radikalisme lewat kegiatan belajar-mengajar (KBM).
KBM saat tatap muka di kelas ataupun lewat kegiatan tatap muka tambahan di luar kelas dimanfaatkan untuk menanamkan faham intoleran oleh guru. Berangkat dari fakta tersebut, DPR meminta pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti, untuk serius mempersempit ruang gerak kelompok radikal di institusi pendidikan dan memperkuat deradikalisasi lewat pendidikan. “Ini membuktikan bahwa sekolah atau kampus rentan disusupi oleh paham radikalisme. Tidak terbayang sudah 30 tahun yang lalu paham tersebut telah menyusup dalam sekolah dan kampus,” ujar anggota Komisi X DPR Moh Nizar Zahro.
Kondisi demikian tidak berbeda jauh dengan temuan Badan Intelijen Negara (BIN). Berdasarkan riset yang dilakukan pada 2017, BIN menemukan 39% mahasiswa Indonesia terpapar paham radikal. Bahkan, tiga kampus dinyatakan sebagai sarang kelompok radikal. Selain itu, lembaga intelijen ini juga mendapatkan fakta 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA sederajat setuju dengan negara Islam.
Bagaimana mungkin institusi pendidikan yang menjadi pilar kokoh untuk mewariskan budaya bangsa, prinsip kemanusiaan, nasionalisme, intlektualiltas dan kecerdasan menjadi institusi penyemaian pahan intoleran dan antikeberagaman.
Pada ulang tahun anak saya yang ke-10, kami mengadakan acara di rumah mengundang anak-anak komplek perumahan yang sering bermain bersama. Ada seorang anak laki-laki mengatakan pada temannya “ jangan datang ke rumah yang ulang tahun, dia kan Kristen”. Perkataan anak tersebut didengar oleh ibunya, dengan serta merta ibu anak tersebut menegur anaknya. Ketika malam hari ibu tersebut cerita pada suaminya tentang perkataan anaknya. Mendengar cerita dari istrinya, beliau marah karena merasa tidak pernah mengajarkan sikap intoleran pada anaknya. Menurut pengakuan anaknya, guru agama mengajarkan sikap seperti itu. Keesokan hari, bapak ini menemui kepala sekolah untuk menceritakan kejadian tersebut dan sekaligus dia mempertanyakan ada hal yang salah dalam mendidik anaknya dan beliau protes terhadap guru agama yang mengajarkan sikap dan paham intoleran. Ini salah satu bukti betapa sejak kecil anak-anak sudah diajarkan paham intoleransi beragama oleh guru.
Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab harus diwujudkan antara lain dengan menghormati martabat sesama, antikekerasan, tidak memaksakan kehendak; menghargai keanekaragaman budaya dan agama. Inilah merupakan tantangan bagi pendidikan di Indonesia.
Bagaimana strategi Kemendikbud dalam menangkal masuknya pemahaman radikalisme dalam institusi sekolah?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengatakan, program deradikalisasi tidak memerlukan mata pelajaran khusus. Akan tetapi masuk sebagai elemen muatan kurikulum yang bersifat inklusif. Kurikulum dimaksud adalah program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Di dalam PPK ada materi khusus bagi siswa agar tidak terpapar paham yang berbahaya. Arah dari pendidikan karakter yang diinginkan adalah pembentukan karakter siswa yakni religusitas, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan gotong royong. “Program moderasi (bukan deradikalisasi) bisa dimuatkan pada semua atau sebagian dari lima karakter utama tersebut,” katanya kepada KORAN SINDO.
Bagaimana strategi sekolah agar bisa mencegah pemahaman radikalisme yang dapat mempengaruhi cara berpikir guru dan siswa?
Pertama, orang tua menempati posisi strategis dalam membentuk pemahaman dan watak anak lewat interaksinya yang intens di lingkungan rumah. Sekolah mengedukasi orang tua agar bisa turut memperkuat dan mengasah sikap-sikap toleran anak dalam beragama. Pengetahuan, pemahaman, dan watak anak tentang beragama secara damai dan toleran benar-benar terbentuk secara kokoh karena didukung sinergi didikan dari orang tua di rumah dan guru di sekolah. Masyarakat perlu juga menciptakan suasana yang guyup dan rukun di lingkungan masing-masing. Lingkungan sosial yang harmonis yang terbiasa dengan bermusyawarah sehingga terjalin perjumpaan. Seringnya melakukan perjumpaan akan membenihkan toleransi.
Kedua, sebagai role model, seorang pendidik harus memiliki misi kebangsaan; mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru menjadi representitatif orang yang memiliki jiwa nasionalisme dan kebangsaan. Role model yang mempraktikan dalam tingkah laku, cara berpikir dan bertindak yang mengacu pada kepentingan nasional.
Ketiga, merancang skenario pembelajaran yang dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP harus dirancang menarik, kreatif, berpikir kritis dan berpusat pada siswa. Sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centre). Metode Pembelajaran kritis (critical thinking) dan problem based learning melatih siswa berani berpikir kritis, mempertanyakan dan berargumen secara benar sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara kaidah ilmiah. Pembelajaran yang HOTS (Higher Order Thinking Skill) mampu melatih cara berpikir kritis : menganalisis, membandingkan, mengkomunikasikan, mengkritisi, problem solving dan berkreasi. HOTS tidak identik dengan tingkat kesulitan suatu materi belajar. Kalau siswa sudah terbiasa berpikir tingkat tinggi , harapannya mereka mampu mengolah informasi baik lisan maupun tertulis dengan kritis. Mereka mampu secara kritis memilih mana informasi yang benar dan bohong menyesatkan (hoax).
Soal-soal pilihan ganda (PG) harus dihindarkan karena penyelesaikan soal-soal ini hanya melibatkan keterampilan berpikir tingkat rendah LOTS (lower order thinking skill); mengingat, menghafal dan memahami. Keterampilan ini berhenti pada jenjang memahami sebuah teks atau peristiwa., belum bergerak naik mengaktifkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Keempat, di dalam Proses Belajar Mengajar, guru harus membiasakan diri untuk berdialog dengan siswa, memberi ruang aktualisasi pada siswa: beradu argumentasi, tukar pikiran dan berbagi pengalaman riil. Siswa boleh tahu sisi kelemahan, kegagalan gurunya, karena guru juga manusia sama seperti mereka. Bukan dewa, selalu mahatahu segala sesuatu. Hubungan guru dengan siswa bersifat horintal bukan lagi top down. Pembelajaran dengan metode ceramah, satu arah dari guru, harus segera ditinggalkan.
Kelima, pembelajaran abad 21. Era ini pembelajaran lewat media sosial terjadi pembelajaran tak berstruktur, tanpa sistem, pembelajaran mandiri, kompetisi, mengejar prestasi tanpa tujuan jelas untuk apa? Kemajuan ilmu pengetahuan tergantung sekolah/universitas yang juga mengalami krisis dalam hubungannya dengan Negara, tergantung siapa yang berkuasa. Sekolah kehilangan kepercayaan dan otonomi karena tidak menjamin keberhasilan dalam masyarakat. Maka sekolah harus menawarkan sesuatu yang lebih, tidak didapat dari media sosial, yaitu yang punya kekuatan perjumpaan yang berarti (riil) bukan hampa (maya). Tawaran itu beruapa pendidikan karakter (school culture) dengan menawarkan nilai-nilai universal. Kaum intlektual harus mengikuti perkembangan sosial masyarakat.
Sebagai seorang pendidik yang nasionalis kebangsaan yang sejak kecil terbiasa hidup beragam merasakan gerah dengan paham radikalisme yang memaksakan keseragaman. Keberagaman adalah kehendah dan memang diciptakan oleh Tuhan. (Caleg DPRD Tangerang Selatan no urut 7 dari Partai Solidaritas Indonesia no 11. DAPIL kecamatan Serpong dan Setu)
[…] Baca Juga: Pendidikan Berbasis Keberagaman Perlu Diterapkan di Sekolah […]