Depoedu.com – Pada suatu hari, hiduplah seorang anak laki-laki yang selalu mengalami mimpi buruk. Kenangan buruk dari masa lalu yang sangat ingin ia lupakan terus menerus muncul di dalam mimpinya dan menghantui si anak tanpa henti.
Si anak takut untuk tidur dan akhirnya pergi menemui seorang penyihir dan memohon: “Penyihir, tolong hilangkan semua kenangan burukku, agar aku tidak bermimpi buruk lagi. Sebagai gantinya, aku akan lakukan apapun juga yang kamu minta.”
Tahun-tahun pun berlalu. Si anak laki-laki menjadi dewasa dan tidak lagi bermimpi buruk. Meskipun demikian, ia tidak bahagia.
Baca Juga : Seni Mencintai Diri di Tengah Pandemi Covid-19
Suatu malam, bulan merah darah muncul di langit dan si penyihir muncul kembali di hadapan anak tersebut untuk menagih janji sebagai imbalan dari mengabulkan permintaannya dulu. Dengan penuh kebencian, dia berteriak kepada si penyihir: “Semua kenangan burukku sudah hilang, tapi kenapa aku tidak bahagia?”
Sesuai perjanjian, si penyihir pun akhirnya mengambil jiwa si anak dan berkata: “Kenangan yang menyakitkan. Kenangan akan penyesalan terdalam. Kenangan saat melukai dan dilukai. Kenangan saat ditinggalkan”.
“Orang yang bisa tumbuh bersama semua kenangan itu akan menjadi lebih kuat, bersemangat, dan mudah menyesuaikan diri. Orang seperti itu yang bisa mendapatkan kebahagiaan.”
“Jadi, jangan pernah lupakan semuanya itu. Ingat, dan hadapilah. Jika tidak dihadapi, kamu akan selalu menjadi anak kecil dengan jiwa yang tak pernah bertumbuh.”
Baca Juga : ANGGAPAN KELIRU TENTANG BAHAGIA
Kisah di atas merupakan cerita yang ditulis oleh seorang penulis cerita anak-anak bernama Ko Moon-Young, tokoh rekaan dalam drama Korea terbaru berjudul It’s Okay to Not be Okay.
Pencinta drama Korea pasti sudah tidak asing lagi dengan drama yang sedang digemari ini karena jajaran pemain papan atasnya serta jalan ceritanya yang menarik.
Saya sendiri sudah sangat hooked ketika menonton episode pertamanya, terutama setelah karakter Ko Moon Young yang diperankan oleh Seo Ye Ji menarasikan cerita di atas, tentang anak laki-laki yang begitu ingin melenyapkan kenangan buruknya, tetapi tetap tidak menemukan kebahagiaan.
Jadi, sebenarnya apa itu kebahagiaan? Apakah yang bisa membuat kita bahagia? Apakah uang? Kesuksesan? Ketenaran? Puluhan, bahkan ratusan ilmuwan, pujangga, maupun ahli agama telah berbicara mengenai hal ini, tapi belum ada rumusan pasti untuk mencapainya.
Tidak dapat dipungkiri, uang tentu punya potensi untuk mendatangkan kebahagiaan. Pemasukan yang tetap dan mencukupi dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Bahkan, penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang sangat miskin lebih sering merasa tidak puas dengan kehidupannya. Jadi, banyak uang = bahagia? Tidak juga. Penelitian lainnya menemukan bahwa orang yang materialistis justru sulit untuk bahagia.
Uang memang bisa mendatangkan kepuasan, tapi jika untuk memperolehnya harus dengan mengorbankan hal-hal berharga seperti relasi dan pekerjaan, maka kebahagiaan menjadi sulit untuk didapatkan1.
Baca Juga : 12 Hambatan Komunikasi Orang Tua – Anak
Jadi, apakah kebahagiaan sebegitu sulitnya untuk didapatkan? Saya sendiri pernah berada dalam kesedihan yang luar biasa sehingga ingin rasanya untuk selalu bahagia dan tidak pernah sedih lagi. Ingin untuk terus merasa bahagia.
Tapi, apakah manusia perlu untuk terus menerus merasakan kesenangan dan terbebas dari emosi tidak menyenangkan setiap waktu untuk menjadi bahagia? Hal ini digambarkan dengan begitu indah oleh pujangga Kahlil Gibran.
“Di antaramu ada yang berkata, “Kesenangan lebih besar dari kesedihan,” dan yang lain berkata, “Bukan, kesedihanlah yang lebih besar.” Tapi kukatakan kepadamu, keduanya tak terpisahkan. Bersama mereka datang, dan ketika salah satu duduk bercengkrama bersamamu di beranda, maka yang lain sedang menunggumu di tempat tidur.”
Baca Juga: Tips Montessori Membangun Rasa Percaya Diri Anak
Kesenangan dan kesedihan selalu datang bergantian dan itulah hidup. Memang benar, secara umum merasakan bahagia mendatangkan manfaat, tapi hal ini tidak berarti bahwa manusia harus terus menerus gembira setiap saat. Kadang merasakan kesedihan dan kecemasan merupakan hal yang wajar dan membantu1.
Gembira bersama yang gembira, menangis bersama dengan yang menangis. Bagaimana bisa menangis bersama yang menangis apabila tidak pernah merasakan kesedihan?
Satu hal yang perlu digaris bawahi, yang tidak membantu adalah ketika seseorang merasakan ketidak bahagiaan yang kronis dan konstan. Jika diri kita atau seseorang yang kita kenal mengalami ini, segeralah mencari bantuan profesional.
Akhir kata, hiduplah dengan memiliki aspirasi yang menantang, tetapi juga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan apa yang terjadi dalam kehidupan1. Satu-satunya orang yang bisa memberikan kebahagiaan pada diri kita bukan orang lain apalagi penyihir, tapi diri kita sendiri.
Foto : dramabeans.com
https://nobaproject.com/modules/happiness-the-science-of-subjective-well-being
[…] Baca juga: Anak Laki-Laki Yang Bermimpi Buruk […]