Depoedu.com – Melalui budaya K-Pop yang kita saksikan di media, kita seolah-olah menyaksikan sisi hidup remaja Korea yang sangat gemerlap. Namun pada kenyataannya sangat berbeda. Kehidupan hampir semua remaja Korea tidak gemerlap. Pada umumnya mereka mengalami pergulatan yang tidak mudah untuk meraih mimpi masa depan mereka. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Korea yang dihayati oleh masyarakat turun temurun. Bagi remaja Korea, ada tiga nilai yang sangat berpengaruh yakni kompetisi, kemandirian dan kerja keras. Ketiga nilai ini secara kait mengait berpengaruh pada bagaimana remaja Korea mengalami masa remajanya.
Kerja keras dan Kemandirian
Jika kita bertandang ke Korea Selatan, kita tidak menemukan remaja Korea Selatan nongkrong pada jam-jam sibuk. Karena jam belajar mereka di sekolah 12 jam sehari. Setelah itu, mereka mengikuti Hagwon (les tambahan) hingga jam 12 malam, untuk menyiapkan diri memasuki perguruan tinggi terbaik di negeri tersebut. Masuk perguruan tinggi terbaik adalah pintu masuk bagi karir dan masa depan cemerlang. Di Korea Selatan, ada tiga universitas terbaik yakni : Seoul National University, Korean University, dan Yonsey University. Oleh karena itu, rata-rata remaja Korea memiliki jam tidur sedikit, Di kalangan remaja ada ungkapan “Kalau tidurnya kurang dari tigajam sehari, peluang diterima di perguruan tinggi terbaik sangat terbuka. Jika jam tidur sehari empat – lima jam, akan diterima di universitas kelas sedang atau bawah. Jika tidur lebih dari lima jam sehari, kesempatan untuk mengenyam kulia di perguruan tinggi hanyalah mimpi”.
Kerja keras telah menjadi budaya mereka turun temurun. Di Korea ada yang disebut semangat Hahn, merupakan suatu energi yang menggerakkan hasrat berpendidikan, belajar, dengan tekad tak kenal menyerah. Semangat Hahn inilah yang menggerakkan para remaja untuk bertahan belajar setiap hari, dalam jam-jam belajar yang panjang.
Pada hari libur pun, kita tidak menemukan remaja karena remaja Korea Selatan mengisi liburmereka dengan bekerja. Dalam keluarga Korea, ketika memasuki usia SMA, remaja sudah harus mandiri, tidak lagi sepenuhnya bergantung pada orang tua secara finansial.
Kompetisi
Dalam semangat Hahn, selain pantang menyerah dan disiplin tinggi, orang Korea pun memiliki kemampuan adaptasi tinggi dengan lingkungan. Di satu sisi, gabungan dari ketiga nilai ini membuat orang Korea sangat kompetitif. Di sisi lain, kompetitif adalah hasil dari kompetisi, yang di Korea Selatan didorong di semua ranah hidup. Bagi remaja Korea Selatan, seperti remaja di manapun yang sedang mencari jati diri, urusan kompetisi ini berubah bentuk menjadi ingin tampil menarik di depan teman sebaya. Operasi plastik menjadi opsi jalan pintas yang paling umum.
Jika sekarang kita menyaksikan artis K-pop Korea Selatan cantik-cantik, pada umumnya merupakan hasil operasi plastik. Di Korea Selatan, operasi plastik telah jadi budaya. Operasi plastik bahkan dapat dijadikan hadiah dari orang tua, bagi anak yang lulus sekolah atau lolos seleksi masuk perguruan tinggi ternama. Apalagi selain ingin tampil menarik, operasi plastik dapat memberi peluang bagi remaja untuk menjadi artis. Data tahun 2016 menunjukkan bahwa 80% orang tua Korea menginginkan anaknya menjadi artis.
Menurut Direktur Bank Dunia Jim Yong Kim, tuntutan tinggi dunia pendidikan dan tekanan sosial adalah dampak dari semangat Hahn yang menghasilkan beban berat bagi remaja. Keadaan ini menjadi pemicu stress yang tinggi. Berdasarkan data tahun 2016, Korea Selatan adalah negara dengan tingkat bunuh diri remaja tertinggi di dunia.
Tingkat bunuh diri remaja adalah salah satu sisi gelap. Tetapi semangat Hahn juga menelorkan banyak sisi positif. Buktinya, sebagai bangsa, Korea Selatan mengalami kemajuan yang luar biasa dalam berbagai bidang. Maka, biarkan sisi gelap itu menjadi pekerjaan rumah Korea Selatan sebagai bangsa. (Oleh: Sipri Peren / Foto: Fykoreans.wordpress)