Menyiapkan Sekolah Memasuki Era Sekolah Tanpa Ujian Nasional

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Dalam jangka waktu hampir 4 dekade, proses belajar mengajar di kelas justru dibelenggu oleh sistem ujian nasional, yang semata-mata menguji penguasaan pengetahuan.

Celakanya, penguasaan pengetahuan yang diuji tersebut adalah pengetahuan domain tingkat rendah menurut taksonomi Bloom berupa domain mengingat, hafalan, bukan analisa, terapan, evaluasi, dan kreativitas.

Inilah yang membuat rangking mutu pendidikan di Indonesia posisi tidak pernah lebih baik, bahkan jika dibandingkan dengan negara berkembang seperti Vietnam berdasarkan skor hasil tes international seperti PISA.

Buruknya mutu pendidikan di Indonesia juga terkonfirmasi dari buruknya mutu tenaga kerja Indonesia. Jika kita bandingkandengan mutu tenaga kerja pada negara di Skandinavia seperti Denmark misalnya.

Hasil perbandingannya menunjukkan bahwa mutu sarjana lulusan perguruan tinggi di Indonesia jika dibandingkan dengan lulusan pendidikan di Denmark, hanya setara dengan lulusan SMA di Denmark.

Situasi inilah yang membuat kita mengerti kenapa Mentri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ngotot mendatangkan tenaga kerja dari China yang lebih kompeten untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja pada proyek-proyek yang sedang dikerjakan.

Baca Juga: Selamat Tinggal Ujian Nasional

Tren mutu tenaga kerja ini hendaknya lebih ditingkatkan jika sebagai bangsa kita hendak ikut mengambil manfaat lebih maksimal dari revolusi industri 4.0.

Oleh karena itu dunia pendidikan harus menjadi tempat untuk menyiapkan calon tenaga kerja yang kreatif, yang memiliki soft skills yang dibutuhkan pada era tersebut.

Desakan Untuk Meniadakan Ujian Nasonal

Kondisi inilah yang mendorong banyak pihak mendesak pemerintah agar ujian nasional yang dibiayai dengan biaya mahal, dihentikan karena justru berdampak kontra produktif bagi peserta didik pada umumnya.

Desakan ini bukan cuma muncul sekarang melainkan muncul misalnya sejak tahun 1993, berasal dari ahli pendidikan seperti Dr. Soediarto. Beliau ketika itu menjabat berbagai jabatan penting pada Kementrian Pendidikan.Desakan juga muncul dari Prof. Dr. Winarno Surakhmad.

Menurut mereka jika evaluasi hanya meminta murid menjawab soal yang berasal dari domain pengetahuan tingkat rendah dengan menghafal, apalagi dengan soal pilihan ganda, maka dari sistem semacam ini sukar diharapakan minat beljar kearah proses  belajar tingkat tinggi murid tumbuh.

Oleh karena itu, sejak tahun 1993 mereka telah mendorong perubahan sistem evaluasi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun usul semalam ini seperti membentur tembok, karena banyak pihak memiliki kepentingan terkait ujian nasional ini.

Kita ketahui bahwa dari ujian nasional ini, ada proyek yang dibiayai dengan biaya yang sangat besar. Oleh  karena itu menghentikan ujian nasional bukan merupakan perkara yang gampang.

Oleh karena itu kami mengapresiasi sangat tinggi, Presiden Joko Widodo dan Menteri Pendidikandan Kebudayaan atas perubahan ini. Perubahan ini merupakan salah satu reformasi penting di dunia pendidikan, yang kita harapkan berdampak pada meningkatnya mutu pendidikan.

Memerlukan masa transisi

Namun demikian, semua perubahan pada tahap yang sangat awal, baru menyediakan kemungkinan. Sesuatu yang pada kondisi sebelumnya tidak mungkin terjadi, dalam kondisi setelah perubahan mungkin terjadi.

Namun langkah menuju pada kondisi perubahan tersebut, memerlukan proses transisi. Dan keberhasilan proses transisi ini sangat menentukan keberhasilan mencapai tujuan perubahan ini yakni mencapai pendidikan nasional yang lebih bermutu. Berikut ini tiga langkah dalam rangka  proses transisi tersebut.

  1. Menuju Orientasi Belajar yang Baru

Selama hampir tiga dasawarsa, orientasi proses belajar mengajar di sekolah adalah menyiapkan murid untuk lulus dalam ujian. Dan hasil ujian sangat menentukan  bagi murid, karena menentukan kelulusan. Hasil ujian juga menetukan bagi guru, karena kinerjanya di ukur dari seberapa besar nilai yang diperoleh muridnya.

Baca Juga: Ikatan Guru Indonesia Mendukung Penuh Peniadaan Ujian Nasional

Di samping itu, hasil ujian pun menentukan bermutu atau tidaknya sekolah tersebut. Mengapa? Karena tinggi rendahnya perolehan skor murid, juga dijadikan bahan pertimbangan bagi orang tua, untuk memilih sekolah bagi anaknya di level pendidikan berikutnya.

Bahkan tinggi rendahnya level perolehan skor suatu daerah pada ujian nasional juga berpengaruh secara politik bagi kepala daerah yang sedang berkuasa. Inilah yang membuat perolehan skor pada ujian nasonal menjadi tujuan buka efek dari proses belajar mengajar.

Orientasi inilah yang sangat mewarnai praktek pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu perlu dilakukan proses agar pergeseran orientasi dari proses pendidikan dan pengajaran dari, sekolah untuk ujian, ke arah orientasi yang baru yakni sekolah untuk hidup.

Pada orientasi yang baru, proses belajar mengajar harus diselenggarkan agar para murid memperoleh bekal berupa hard skills dan soft skills yang mereka perlukan, untuk dapat menjalani hidup sebagai individu, secara efektif dan sukses. Inilah salah satu proses transisi yang harus dilakukan sebelum memasuki era  sekolah tanpa ujian nasional.

  1. Mendesain dan mendorong proses belajar tingkat tinggi

Selama hampir empat dasawarsa, proses belajar mengajar dianggap memadai, jika proses transfer pengetahuan dari guru kepada murid telah berjalan. Ini dianggap sudah memadai karena proses ini sudah cukup membuat murid siap menghadapi ujian.

Padahal proses ini dalam ilmu psikologi pengajaran dianggap sebagai proses belajar tingkat rendah. Dengan proses ini murid bisa jadi siap menghadapi ujian, namun tidak siap menghadapi tantangan  masa depan kehidupannya.

Padahal murid pergi ke sekolah bukan hanya semata mata supaya dapat lulus ujian dengan skor yang tinggi, namun juga, agar murid dapat sukses menghadapi tantangan kehidupannya.

Dan pembekalan sekolah pada murid untuk menghadapi tantangan kehidupan, hanya dapat dilakukan jika pengajaran di sekolah, dapat menjadi sarana bagi terselenggaranya pengajaran tingkat tinggi.

Pengajaran tingkat tinggi diselenggarakan di sekolah jika, guru mendesain pengajaran dan melaksanakan proses belajar mengajar yang memungkinkan murid mengkonsruksi pengetahuannya sendiri, misalnya melalui pendekatan belajar aktif.

Oleh karena itu,  pada masa transisi ini perlu dilakukan pelatihan guru agar guru dapat mendesain pengajaran yang memungkinkan murid melakukan proses konstruksi pengetahuan tersebut.

Selain kemampuan mendisain pengajaran, guru pun harus berlatih menyelenggarakan pengajaran tingkat tinggi tersebut. Guru berlatih memfasilitasi murid,  agar murid dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Proses ini bukan merupakan proses yang mudah terutama karena, guru yang akan melaksanakan gagasan ini adalah guru yang ,lama menjalani proses belajar mengajar,  dalam rangka transfer pengetahuan.

  1. Menyiapkan guru untuk sistem evaluasi yang kompatibel

Proses transisi hanya akan lengkap jika selain mengubah orientasi guru, menyiapkan guru membantu murid mengkonstruksi pengetahuan sendiri, guru juga harus disiapkan untuk menyelenggarakan sistem evaluasi pengajaran yang kompatibel.

Baca Juga: Apa Kata Jack Ma Tentang Pentingnya Ujian Nasional dan Pengembangan Soft Skill di Sekolah?

Dalam konteks ini, evaluasi pengajaran yang kompatibel adalah evaluasi yang tidak hanya mengukur hasil belajar, tetapi juga proses belajar. Jadi guru harus dilatih menyusun lembaran observasi, angket panduan untuk menilai proses konstruksi pengetahuan  yang dilakukan oleh murid.

Terkait pengukuran hasil belajar, pada masa transisi, guru harus dilatih  menyusun soal yang kompatibel untuk menilai keberhasilan berpikir tingkat tinggi murid. Jangan sampai dalam proses belajar harian, murid dilatih berpikir tingkat tinggi, tetapi padasaat evaluasi, soal evaluasi yang digunakan guru, justru berasal dari ranah berpikir tingkat rendah, sebagaimana terjadi selama ini.

Guru harus dilatih dalam masa transisi ini,  bagaimana mengevaluasi proses dan menyusun soal evaluasi, untuk menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi. Jika ini tidak dilakukan, konstruksi evaluasinya tidak kompatibel.  Bisa jadi pendidikan kita kembali tidak bermutu dan kontra produkif.

Demikian tiga hal yang perlu dilakukan para pengelola pendidikan untuk menyiapkan dan melakukan proses transisi dari sekolah dengan ujian nasional menjadi sekolah tanpa ujian nasional. Tanpa proses transisi yang baik, kita melewatkan kesempatan yang tersedia untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. (Foto: kompasiana.com)

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments