Depoedu.com – Beberapa bulan lalu, heboh di media tentang satu kasus pendidikan di Lombok. Seorang siswa SMU mengritik beberapa kebijakan kepala sekolahnya. Menurutnya, kebijakan itu tidak adil dan merugikan para siswa. Ia memprotes dan bersama teman-temannya, ia sudah menghadap kepala sekolah. Kepala sekolah tetap bertahan dengan kebijakannya dan bahkan mengancam untuk tidak meluluskannya. Ia lalu menulis masalah itu di media sosial. Alhasil, ancaman itu terjadi. Hak kelulusan siswa itu tidak diberikan dengan alasan moral.
Peristiwa itu mendapat perhatian luas. Berbagai pihak turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kasus itu memang berakhir ketika siswa itu mendapatkan hak kelulusannya. Namun, akar persoalan tidak tersentuh: hukuman demikian mengganggu pertumbuhan manusia menjadi dewasa. Mengapa?
Instrumen Penundukan
Betul, moral penting sebagai instrumen yang mengarahkan perilaku manusia. Moral memberikan manfaat bagi pertumbuhan pribadi dan kemaslahatan sosial. Dengan instrumen moral, anak-anak dididik sejak kecil untuk melakukan suatu anjuran dan menjauhkan larangan. Pembiasaan semacam itu akan membentuk sikap dan perilakunya hingga dewasa. Hal-hal itu bermanfaat praktis baginya. Dalam memberikan bimbingan itu, orang dewasa harus menjelaskan alasan di balik anjuran atau larangan tersebut.
Namun, sering kali, anjuran atau larangan itu tidak didasarkan pada alasan yang jelas dan masuk akal. Moral sering dipakai sebagai instrumen penundukan. Orang dewasa atau guru bertindak sebagai penjaga moral atau pemaksa nilai. Mereka menuntut agar seseorang atau siswa berperilaku sebagaimana yang dituntut. Sementara, para guru sendiri tampaknya tidak menghayati sesuatu yang dipandang bermoral. Jika tidak ditaati, siswa diancam dengan sanksi tertentu. Sayangnya, sanksi tersebut tidak mendidik atau tidak membuat seseorang berkembang ke arah pertumbuhannya yang sehat.
Hukuman terhadap sikap kritis menimbulkan tiga implikasi. Pertama, masalah utama yang menyebabkan munculnya kritik tersebut tidak disentuh dan diselesaikan. Apakah masalah itu ada dan bagaimana mengatasinya? Karena tidak disentuh, perilaku yang salah akan berulang dan responsnya tetaplah sama: menindas. Kedua, masa depan siswa tersebut terinterupsi dan perwujudannya sewajarnya dihambat.
Ketiga, implikasinya menjadi meluas bagi pertumbuhan individu-individu kritis di sekolah itu. Pengalaman traumatis bisa saja terbawa dalam diri siswa tersebut. Ia mungkin tidak berani melakukan hal yang sama. Pengalaman itu bisa menjadi pesan umum bahwa kritik berdampak negatif langsung atas dirinya.
Jangkar Perkembangan
Dalam kasus di atas, sang siswa menunjukkan sikapnya secara jelas. Ia menolak kebijakan yang tidak adil dan menggunakan seluruh kemampuan rasio yang dimilikinya untuk mempertahankan pandangannya. Ia memperlihatkan suatu “perlawanan” terhadap kebijakan yang tidak membantu perkembangan para siswa. Pandangan, sikap dan perilaku siswa tersebut merupakan suatu ilustrasi yang jelas tentang tumbuhnya individualitas. Ia tidak mengikuti begitu saja sesuatu, apalagi dipandang tidak adil.
Individualitas diperlihatkan dalam keberanian untuk berdiri dan bertahan dengan pandangan dan sikapnya di tengah situasi di mana orang lebih banyak menjadi penurut atau hanya menggerutu saja dalam situasi semacam itu. Individualitas berhasil menggunakan seluruh daya dirinya, terutama daya nalarnya, untuk menyatakan pandangan, sikap dan perilakunya. Tentu saja, ia memiliki bekal moral tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik. Salah satu bekal moral itu adalah tunduk kepada orang tua atau pemimpin yang ada. Namun, berhadapan dengan kekuasaan yang disalahgunakan, moralitas ketaatan boleh diabaikan dan moralitas perlawanan lebih dibenarkan.
Sikap kritis merupakan indikasi bahwa tujuan pendidikan tercapai. Berkat stimulasi pendidikan, siswa berhasil menggunakan daya-daya dalam dirinya untuk menilai dan menyikapi situasi konkret. Pendidikan yang benar menghasilkan individu yang bisa berpikir mandiri dan bertanggung jawab atasnya. Individualitas tercermin dalam melakukan sesuatu dan siap menerima risikonya. Ia menjadi pribadi dewasa.
Individualitas merupakan jangkar bagi kualitas-kualitas yang hendak ditumbuhkan dalam diri manusia: sikap kreatif, inovatif, tanggung jawab, pengendalian diri, keterbukaan, solider, otonom dan lain-lain. Para guru pasti mendorong agar sikap-sikap tersebut berkembang dalam diri siswanya. “Pelanggaran” bisa jadi menunjukkan perkembangan positif itu. Karena itu, mereka perlu mengapresiasinya. Kemajuan sering kali berawal dari sana.(Foto: pxhere.com)
*Penulis adalah peminat masalah pendidikan