Depoedu,com – Audrey, seorang murid SMPN 17, dikeroyok oleh 3 orang murid SMA dan disaksikan oleh 9 murid lainnya. Mereka tidak berupaya melerai, malah menertawai. Peristiwa ini terjadi tanggal 29 Maret, namun Audrey baru melaporkan pada orangtuanya beberapa hari kemudian. Tanggal 5 April 2019, orang tua Audrey mengadukan kasus tersebut ke Polsek Pontianak Selatan.
Awalnya terjadi saling berbalas komentar di media sosial terkait sepupu korban yang adalah mantan pacar dari salah satu pacar pelaku. Percakapan di media sosial sampai memanas, hingga akhirnya pelaku merencanakan penjemputan yang berujung pada penganiayaan.
Pengeroyokan ini kemudian mendapat reaksi publik yang luar biasa karena beredar kabar bahwa tidak hanya terjadi penganiayaan fisik biasa. Kali ini kewanitaan Audrey sampai dirogoh. Jari tangan salah satu pelaku didorong masuk untuk merusak keperawanan Audrey. Publik tambah marah ketika beredar foto selfie ketiga pelaku di kantor polisi, ketika mereka bertiga dipanggil polisi. Bagi publik, foto ini memperlihatkan belum muncul tanda penyesalan dari para pelaku.
Warganet kemudian mengungkapkan simpati pada korban di satu pihak dan kesal pada pelaku di pihak lain, apalagi setelah muncul rumor bahwa pelaku di-backing oleh ‘orang kuat’. Tanggal 10 April muncul petisi online yang di-launching di laman change.org bertajuk Justice for Audrey. Para inisiator petisi meminta dukungan pada warganet agar polisi mengusut kasus dan para pelaku segera diadili di pengadilan. Lantaran publik melihat tanda-tanda pelaku akan dibebaskan karena masih di bawah umur. Pada tanggal 11 April 2019, selang satu hari setelah petisi ini di-launching ke publik, telah terkumpul tandatangan warganet sejumlah 3.674.440, padahal target awalnya hanya 500.000 tandatangan.
Membanjirnya dukungan publik memicu perhatian berbagai pihak. Gubernur Kalimantan Barat Sutarmiji meminta supaya kasus ini diproses secara hukum. “Jangan ada toleransi, meski pelakunya anak di bawah umur” tegasnya, seperti dikutip oleh Kompas.com. Menteri Pendidikan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun ikut memberikan perhatian. Keduanya mendorong agar dilakukan penanganan sebaik-baiknya mengingat korban dan pelaku masih sama-sama di bawah umur.
Sejak mendapat laporan tanggal 5 April, polisi telah melakukan visum terhadap korban. Visum tersebut diulangi tanggal 10 April. Kedua hasil visum tersebut tidak menemukan tanda-tanda kekerasan pada organ vital korban, sebagaimana beredar di media sosial. Hasil penyelidikan polisi pun memperkuat hasil visum tersebut. Semua kekerasan fisik diakui oleh pelaku, kecuali kekerasan terhadap alat vital korban. Salah satu saksi, P, sepupu korban pun membenarkan, tidak terjadi kekerasan pada organ vital korban. Temuan ini memunculkan pertanyaan, “Yang benar yang mana? versi yang beredar di media sosial, atau versi hasil penyelidikan polisi?”
Pengacara keluarga korban, Daniel Edward Tangkau, seperti dikutip harian Kompas mengungkapkan bahwa dari pengakuan korban pada tanggal 10 April, ada pelaku yang melakukan kekerasan terhadap organ vital korban, disertai ancaman. Namun ia menegaskan, dari pengakuan korban dan keluarganya, peristiwa yang terkait dengan organ vital bukan seperti yang beredar di media sosial. Padahal informasi tambahan ini, entah dari mana asalnya, telah memperluas eskalasi pengaruh, membuat kasus ini menjadi heboh, mengubah persepsi publik bahwa para pelakuk melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan. Dan ini merusak, tidak hanya pelaku, tetapi juga korban.
Oleh karena itu pada tanggal 13 April 2019, kuasa hukum pelaku perundungan ini telah melaporkan dugaan penyebaran hoax di media sosial ke Kapolda Kalimantan Barat. Dugaan hoax itu kuat karena ketiga pelaku sejak awal mengatakan mereka tidak pernah melakukan kekerasan terhadap alat vital korban. Dari dua hasil visum, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada alat vital korban. Korban juga tidak menyampaikan ada kekerasan pada alat vital. saat melapor ke kepolisian serta saat meminta pendampingan dari Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah Kalimantan Barat. Sejumlah bukti disertakan untuk didalami Polda Kalimantan Barat.
Perkembangan kasus ini menghantar publik untuk belajar banyak hal. Yang paling penting adalah terkait media komunikasi. Mudahnya akses komunikasi memang membawa pengaruh besar dalam kecepatan dan memperluas penyebaran informasi. Oleh karena itu, publik pun memiliki peluang untuk dengan cepat memberi respon. Dalam kasus ini, selain masyarakat menunjukkan keprihatinan, empati pada korban, pada pelaku, masyarakat mudah berkata kasar atau menghakimi pelaku, seperti terpantau di media sosial.
Bahkan masyarakat mengupayakan agar pelaku dihukum sebesar-besarnya, sebelum mengerti duduk perkara. Dalam kasus ini, mengupayakan petisi merupakan salah satu bentuk memobilisasi dukungan untuk memaksa aparat berwenang menghukum pelaku. Jika para inisiator tidak mengerti duduk perkara terlebih dahulu, mereka dapat tergelincir dalam kesalahan. Kesesatan informasi pada kasus ini tampaknya muncul dari situasi ini.
Karena itulah, apa yang dikatakan oleh Anggi Afriansa, peneliti bidang pendidikan, Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, seperti dikutip Harian Kompas, menjadi penting. Bahwa daya kritis menjadi semakin penting di tengah beredarnya berbagai informasi dan berita yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan. Karena itu, keterampilan memilah dan menyaring informasi wajib dimiliki oleh semua orang. Karena itulah maka literasi digital menjadi hal yang sangat penting dan mendesak. (Foto: nova.grid.id)
[…] Baca Juga: Kasus Perundungan di Pontianak, Mendesak Pengembangan Literasi Digital […]