Sastra, Gaya Estetika dalam Berbahasa

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Ketika kita belajar sastra, hal yang paling dikedepankan adalah soal rasa. Soal menyerap suasana sekitar kita lewat bahasa yang dikemukakan. Maka tidak ada batasan bagaimana kita memahami sastra, dalam kata lain tidak ada kekangan untuk kita merasainya. Setiap orang boleh dan sah-sah saja berbeda dalam memahami sebuah teks puisi, setiap orang punya rasa raba dan indra yang berbeda dalam mengeksplorasi karya. Memang sifat dari semua karya seni adalah demikian adanya.

Sastra merupakan hal yang berkait dengan bahasa dan merupakan sebagian bentuk dari pengembangan kemampuan berbahasa. Dalam mencipta karya sastra, konstruksi bahasa tidak akan terlepas darinya. Bahasa sastra merupakan bahasa pengembangan pribadi manusia yang mengarah pada nilai estetis. Bahasa ini pada dasarnya dibentuk sama dengan bahasa-bahasa pada umumnya, yaitu melalui proses interaksi dengan lingkungan yang bertumpu pada pembawaan.

Seseorang menuturkan bahasa disebabkan oleh adanya wacana lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis. Lingkungan itulah yang menjadi media pemicu akan hadirnya ujaran bahasa termasuk sastra. Orang tersebut bermaksud ingin menyampaikan pesan tertentu atas fenomena yang telah ditangkapnya. Oleh sebab itulah, estetika bahasa dalam sastra merujuk pada dua hal yaitu estetika struktural dan estetika semiotik. Estetika struktural (puisi) diwakili dengan adanya perwujudan nilai puitis yang berhubungan dengan diksi, rima, irama, aliterasi, asonansi, permajasan, enjambemen, tipografi. Estetika semiotika berorientasi pada makna dan nilai-nilai yang hendak disampaikan pengarang melalui karya sastra yang diguratnya.

Untuk mencapai kedua estetika tersebut, seorang pengarang tidaklah serta merta atau spontanitas menggenggamnya. Seorang pengarang harus menempuh proses tertentu dalam menggauli dan mengintimi sastra. Proses tersebut dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu menghujani pikiran dengan bacaan-bacaan dan bertukar pikiran atau bertukar pengalaman dengan kawan yang sama-sama gandrung dengan sastra. Kedua hal itu tentunya tidak terlepas dari faktor lingkungan juga. Sebab fenomena lingkunganlah yang mengilhami hadirnya sebuah karya dari pribadi seseorang.

Kedua estetika di atas pada gilirannya akan menjelma sebagai suatu kekuatan yang sungguh luar biasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa dua hal itu seiring sejalan. Yang satu sebagai tubuh dan yang lainnya sebagai ruh. Tubuh  tanpa ruh maka tak ada kehidupan. Ruh tanpa tubuh maka tak tampak jejak keberadaannya.

Namun sayangnya, ada beberapa guru yang memberi pengajaran Bahasa Indonesia yang dirasakan anak  selama ini, melulu berbicara tentang titik, koma, dan huruf kapital saja. Sangat jarang seorang siswa diperkenankan untuk menelisik dan menulis sebuah analisis karya sastra dengan sebebas-bebasnya. Walaupun memang ada beberapa pengetahuan yang diajarkan tentang apresiasi sastra, tapi lagi-lagi sebatas pengetahuan umum yang sifatnya teknis tentang pengertian dan ciri-ciri bentuk puisi, cerpen, dongeng, dan lain-lain.

Dahulu Chairil Anwar sudah berteriak-teriak dengan puisi-puisinya, menentang gaya kepenulisan lama yang memenjara. Dilanjutkan oleh penerus-penerusnya kini seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ismail, para penyair yang terkenal itu, juga cerpenis handal macam Putu Wijaya, Ahmadun Yosi Herfanda, Budi Darma, Iwan Simatupang, Damhuri Muhammad, dan segudang sastrawan kita.

Hal  yang bisa kita pelajari dari mereka adalah kebebasan. Mereka cenderung tidak mau terkekang dengan aturan kebahasaan yang kognitif. Bagaimana caranya? Dengan memperkaya rasa. Dengan banyak-banyak membaca buku dan memperhatikan lingkungan sekitar. Mendekatkan diri pada alam dan Tuhan mereka. Begitulah kira-kira mereka bisa melakukannya. Dengan begitu mereka belajar untuk mengolah rasa. Dengan mengolah rasa kiranya peserta didik mampu lebih peka terhadap orang lain dan lingkungannya.

Ini adalah tugas saya dan para guru Bahasa Indonesia lain. Khususnya di sekolah tempat saya mengajar,  yang sudah memulai kegiatan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) sejak 4 tahun lalu. Tahun pelajaran depan (2019-2020), kami akan mempunyai program GLS untuk kelas VII, VIII, dan IX. Untuk kami, para guru Bahasa Indonesia,  bila ingin murid pandai menulis adalah tidak dengan mencekoki mereka tentang aturan kebahasaan melulu. Kami akan mengajak  murid-murid itu terbang, menyelami dalam-dalam setiap rangka kehidupan yang ada, bertamasya riang gembira dengan diskusi santai soal karya sastra yang ditugaskan untuk dibaca, membebaskan hati mereka untuk berbicara, menyukai, dan merasa. Membimbing mereka  dengan cerita-cerita penuh inspirasi lewat novel-novel ringan yang sudah kami siapkan.  Lalu, kami akan memberikan  bimbingan untuk menulis, menulis apa saja, dengan gaya macam apapun juga, jangan terbelenggu dengan aturan main kata-kata. Kami akan belajar untuk meng-eksplor kata hati dan perasaan dengan jujur, seperti menulis sebuah catatan pribadi, menulis tanggapan, gagasan, atau ungkapan perasaan mereka. Seperti yang dikatakan oleh A.S Laksana:  “Jangan pernah takut untuk menulis kacau, berniat menceritakan sesuatu tapi tak jelas juntrungnya, jangan berhenti bila mengalami hal seperti itu, tetap menulis, karena nantinya pasti ketemu juga jalan terang di dalamnya”. Begitu yang kami rencanakan untuk tahun pelajaran mendatang.

Bagaimana dengan rencana rekan guru lain di sekolah masing-masing? Ayo kita sebagai pendidik  belajar bersama anak didik kita untuk berliterasi, supaya kita tambah berhikmat dalam hidup kita. Tuhan memberkati semua! (Foto: hotdetik,com)

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments