Depoedu.com – Kami menamainya “klub”. Ketika masih kecil, kira-kira kelas 4 atau 5 SD, atau mungkin dari kelas 3, kelompok kecil yang kami namai “klub” ini kami bentuk. 10 sampai 12 orang anggotanya. Kami membagi tugas. Ada yang meyiapkan tiang gawang. Yang lain membawa bambu lebih panjang untuk palang atas gawang. Ada yang tugasnya menyiapkan pasak. Yang lain lagi menganyam bola. Modal awalnya urunan. Membeli balon karet untuk bagian dalam bola. 50 sampai 100 rupiah harganya.
Anakku.
“Klub” adalah sebuah kelompok sepakbola. Diusia itu, karena “klub”, semua anggota harus bangun pagi. Kokok ayam jadi alaram. Dingin dan ngantuk harus dilawan. Tugas memanggil, memasang gawang, melilit “nut” pengatur waktu tanding Setiap pagi subuh waktu mainnya. Kelompok dibagi dua. 5 lawan 5, atau 6 lawan 6. Senang hati bagi yang menang, celaka bagi yang kalah. Ada tugas harus dilakukan, konsekuensi dan sportifitas menerima kekalahan. Lebih celaka lagi jika tiap hari kalah. Konsekuensinya jadi tiap hari. Mengumpulkan pasir. Membawa dan mengumpulkan buah kelapa atau buah damar. Atau mengambil order mengangkut batu bata. Diakhir tahun, semua tugas dan konsekuensi dari kekalahan pertandingan bola itu di uangkan. Dibagi rata pada anggota.
Anakku.
‘Klub’, kelompok sepak bola anak kampung ini adalah tempat tumbuh sikap sportif. Menerima kekalahan. Mengemban tangunggjawab. Lebih dari itu, “klub” adalah tempat kerja sama antar anggota disemaikan sedari kecil. Jika memakai ukuran hari ini, untuk bangun pagi, bisa saja sangat susah untuk anak seusia itu, apalagi secara sukarela menerima kekalahan dan konsekuansinya?
Anakku.
Apa yang begitu menyatukan sekelompok anak-anak ini? Tentu ayah tidak lagi ingat suasana hati ayah saat itu. Tapi yang pasti bahwa ‘klub’ itu adalah tempat kami menjadi ‘sesuatu’. Menjadi bagian dari kelompok. Kebahagiaan menjadi bagian dari kelopok inilah yang menurut ayah menjadi motivasi dulu yang hingga saat ini masih ayah ingat.
Anakku.
Gemohing adalah budaya kita. Asli. Pohe-gemohe adalah identitas. Bagian dari kekayaan batin -masyarakat Lamaholot- kita turun temurun. Gemohing bukan saja sebuah wadah ekonomis, lebih dari itu gemohing adalah juga identitas yang melekat pada manusia – ata diken Lamaholot – sebagai makluk social.
Anakku
Sama seperti sekelompok kami anak –anak dulu yang mebentuk ‘klub’, gemohin juga harus hadir atau dihadirkan karena anggotanya. Gemohing hanya boleh lahir karena kebutuhan -untuk menjadi bagian dari sesuatu- anggotanya. Gemohing harus menjadi wadah yang produktif. Ketika gemohing hadir karena kebutuhan anggotanya ia pasti bertahan selama para anggota masih memiliki kebutuhan. Dan pastinya sejak lahir hingga kematian setiap manusia pasti membutuhkan sesuatu dalam hidupnya. Dengan demikian gemohing yang lahir dari kebutuhan anggotanya pasti akan bertahan dan tumbuh selama peradaban manusia masih ada.
Tapi apakah demikian? Bagaimana dengan hari ini?
Anakku.
Jamak terjadi, gemohing banyak dibentuk oleh kebutuhan sesaat. Banyak gemohing dadakan muncul ketika ada dana bantuan proyek dari pemerintah. Tujuannya sangat pragmatis. Hanya agar anggaran negara terserap, dan karena serapan ini mensyaratkan sekelompok penerima maka gemohing jadi wadah penampung. Anggaran cair, dibagikan ke anggotanya, lebih banyak habis untuk kegiatan konsumtif lalu gemohing instan ini bubar tanpa bekas.
Anakku.
Gemohing hari ini tidak boleh lagi hanya menjadi wadah menampung proyek politisi sesaat. Gemohing harus tumbuh dari sekelompok orang yang secara sadar mau mencukupi atau memenuhi kebutuhan di antara mereka. Dan ini tidak mudah.
Anakku.
Bagian yang paling sulit dari kerja mendorong gemohing untuk kembali pada esensinya, menjadi wadah yang produktif adalah mendorong para anggotanya memiliki kesadaran bersama. Membangun kesadaran di antara para anggota pasti tidaklah mudah. Membangun kesadaran akan apa? Kesadaran akan kebutuhan bersama. Kesadaran untuk menjadi bagian dari sesuatu yang produktif.
Mengapa bagian ini menjadi yang paling sulit anakku?
Karena kita hidup dizaman serba modern. Perkembangan berbagai macam perangkat penunjang kehidupan zaman ini membuat sebagian kita dapat segera mencukupi berbagai kebutuhannya secara instan. Dalam tingkat tertentu banyak kebutuhan ternyata bisa tercukupi secara individu tanpa harus menjadi bagian dari sebuah kelompok. Ini tantangan terberatnya.
Anakku. tapi apakah demikian? Bagaimana jika sebuah kebutuhan menjadi lebih mudah, lebih cepat, atau lebih murah dan atau lebih menguntungkan jika ditangani secara bersama-sama?
Anakku.
Tatanan ekonomi dunia mengalami perubahan yang sedemikian cepat dalam bentuk yang juga berubah secara signifikan. System monopoli akan segera punah oleh karena jaringan yang menghubungkan banyak pelaku usaha secara bersamaan. Siapa yang bisa membayangkan jika uber bisa menjadi perusahaan transportasi yang menjangkau semua benua tanpa memiliki satu armadapun? Dengan system berbagi, gojek dan grab menjadi begitu cepat berkembang dan membesar dengan nilai triliunan.
Banyak toko tutup, pusat-pusat belanja sepih oleh karena belanja ‘on line’. Teknologi ‘net’ yang memungkinkan ini terjadi. Gemohing adalah jejaring, warisan kekayaan budaya kita ini, harus mampu membawa ata diken lamaholot menjadi lebih sejahtera.
Bagaimana caranya, anakku?
Kita bisa memulai dengan mengumpulkan data-data potensi ekonomi yang ada di tengah kita. Kemudian mengidentifikasi kebutuhan. Jika beras dari membeli bisa diganti dengan menanam maka tanamlah padi. Jika lebih mudah dan murah mengerjakan ladang menanam padi melalui gemohing maka bentuklah gemohing untuk mengolah kebun menanam padi. Jika padi tidak tumbuh baik, maka tanamlah sorgum.
Gemohing adalah kemandirian. Jika banyak yang membeli minyak sawit padahal kelapa di samping rumah tidak diurus, maka buatlah minyak dari kelapa, naikan standar kualitasnya, gusur minyak sawit pabrikkan, Jangan lagi tergantung pada minyak goreng sawit pabrikan. Begitu juga dengan kebutuhan lainnya.
Oleh karena itu, gemohing adalah wadah sekaligus jalan untuk melepaskan ketergantungan pada -atau campur tangan- orang lain terhadap kebutuhan anggota. Tidak boleh lagi orang lain memiliki posisi tawar lebih terhadap berbagai kebutuhan anggota gemohing. Para anggota gemohing harus mampu secara mandiri memenuhi kebutuhannya.
Tentu hal-hal ini tidak mudah. Pasti banyak tantangannya. Bukan berarti tidak bisa dilakukan. Butuh konsistensi dan daya tahan luar biasa untuk mendorong gemohing menjadi pilihan utama membangun ekonomi ata diken Lamaholot.
Anakku.
Bayangkan jika gemohing menjadi bagian dari BUMDesa yang ada di desa-desa. Anggota gemohing menjadi pemilik BUMDesa bersama pemerintah desa. Gemohing-gemohing dapat mengakses dana desa melalui BUMDesa untuk berbagai kegiatan produktifnya, dengan pengelolaan yang lebih baik. Ekonomi di desa menggeliat, keuntungan terdistribusi secara lebih luas karena menjangkau secara langsung setiap anggota gemohing – warga masyarakat desa.
Jika secara struktur kekuasaan dalam diri Pemerintah banyak kendala maka mulailah dari kelompok-kelopok kultural yang ada di masyarakat. Flores Timur dan NTT boleh berbangga karena kita sudah memiliki banyak contoh gemohing yang berhasil. Kelompok Tani Lewowerang di Honihama yang dimotori Ama Kamilus Tupen Jumat, Perhimpunan Petani Sorgum untuk Kedaulatan Pangan- NTT ditangan “Mama Sorgum “ Maria Loretha yang dengan gigih terus mendorong kemandirian, kedaulatan, terutama kedaulatan pangan.
Anakku.
Untuk menjadikan gemohing solusi bagi berbagai persoalan dalam masyarakat Lamaholot pasti tidak mudah. Namun bukan berarti tidak bisa. Butuh usaha dan perjuangan tanpa lelah. Semoga ananda menjadi bagian dari usaha ini, dimulai dengan belajar dengan tekun dan selesaikan pendidikanmu dengan baik. (Oleh: Senuken / Foto: ekpektasia.com)