Urgensi Pengembangan Cara Berpikir Lateral dalam Pembelajaran

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Jika dirumuskan, pola pengajaran di sekolah-sekolah kita pada umumnya, berlangsung dengan sistem transfer di mana guru berusaha men-transfer pengetahuannya kepada murid. Dengan pengetahuan awal yang dimiliki murid, pengetahuan tersebut kemudian diolah oleh murid, tidak untuk menghasilkan pengetahuan baru, melainkan agar pengetahuan yang diterima melalui proses transfer tersebut dikuasai, kalau bisa disimpan pada memori jangka panjang murid, sehingga dapat direproduksi kembali ketika murid menghadapi ujian.

Pada saat ujian, jawaban murid yang paling sesuai dengan pengetahuan, ketika pengetahuan tersebut ditransfer guru, akan memperoleh skor lebih tinggi. Proses seperti ini membentuk cara berpikir yang oleh Edward de Bono disebut cara berpikir linier. Proses berpikir linier diperlukan karena terkait dengan konsistensi pada hasil keilmuan dan ilmiah. Sesuatu disebut ilmiah karena terukur dan empirik, mengikuti kaidah ilmiah yang tertata secara linier. Cara berpikir ini diperlukan untuk merawat suatu tradisi dan menguasai sebuah produk teknologi.

Namun berpikir secara linier saja tidak cukup, karena hidup tidak melulu terkait dengan upaya mempertahankan tradisi dan menguasai, menggunakan, produk teknologi yang pernah ada. Hidup juga menuntut manusia menciptakan tradisi baru, produk teknologi baru, dengan menggabung dan memodifikasi beberapa tradisi dan produk teknologi yang pernah ada, karena pertumbuhan kompleksitas masalah hidup manusia. Kompleksitas masalah hidup manusia menuntut manusia menemukan terobosan baru. Oleh karena itu, selain cara berpikir linier, perlu pula dikembangkan cara berpikir lateral pada murid-murid di sekolah-sekolah kita.

Beberapa gejala mengkhawatirkan terkait mendesaknya pengembangan cara berpikir lateral, dapat kita baca dari dua kasus bunuh diri remaja di Jakarta Selatan dan di Blitar. Dua remaja ini adalah produk dari sekolah yang kuat dalam pengembangan cara berpikir linier. Dua remaja ini merasa mentok lalu menyerah. Padahal jika mau berpikir kreatif dan lebih jauh, mungkin masih tersedia jalan keluar alternatif.

Kasus Blitar lebih jelas. Masalahnya adalah EP mau masuk ke SMA Negeri I Kota Blitar, sementara ia berdomisili di Kabupaten Blitar. Kenyataan ini saja sudah membuatnya merasa mentok dan mengambil keputusan fatal, bunuh diri. Anak-anak seperti ini, dididik oleh guru-guru yang berpikir linier, yang tidak melakukan terobosan, karena guru yang berpikir linear adalah guru yang bekerja standar saja. Dalam kasus ini, guru-guru tidak berpikir kreatif untuk memberikan pendampingan tambahan tentang seluk beluk memilih sekolah, termasuk tentang masalah zonasi. Padahal, Menteri Pendidikan mengatakan, EP punya peluang, karena pada ketentuan tentang zonasi, ada peluang 10 % bagi semua sekolah untuk menerima lulusan dari luar zonasi. Ini adalah situasi krisis serius pengelolaan pendidikan yang perlu segera dipecahkan.

Mengembangkan Cara Berpikir Lateral

Menurut Edward de Bono, berpikir lateral adalah cara berpikir untuk mencari solusi, untuk menyelesaikan masalah, melalui metode yang tidak umum, cara yang biasanya diabaikan oleh para pemikir logis. Pemikir lateral biasanya memecahkan masalah dengan cara mengeksplorasi berbagai pendekatan, solusi yang menantang, sehingga membuat solusi yang lebih kreatif, bukan sekedar menerima solusi yang umum, yang tampaknya paling potensial. Bisa jadi, cara berpikir ini tidak sistematis, melompat-lompat, sporadis, bahkan tidak beraturan.

Berpikir lateral juga sering disebut sebagai berpikir out of the box. Cara berpikir lateral adalah cara berpikir yang sangat berhubungan dengan kreativitas dan otak kanan. Sehingga kelebihan orang-orang berpikir lateral terletak pada fleksibilitas cara pandang terhadap suatu persoalan, yang cenderung berbeda dari cara pandang yang umum. Mereka biasanya memiliki imajinasi pemikiran, sehingga dapat menemukan solusi yang tidak biasa.

Selain cara berpikir linear, cara berpikir lateral sangat berguna dan sangat diperlukan. Oleh karena itu sangat perlu dikembangkan di sekolah-sekolah kita, bahkan sejak Sekolah Dasar.

Cara berpikir lateral dapat dikembangkan terutama melalui bidang humaniora, melalui pembelajaran bahasa dan sastra di dalamnya. Juga dalam pembelajaran seni pada semua cabangnya, dan dalam pembelajaran bidang seperti Sejarah. Namun, bidang eksak pun dapat dijadikan sarana pengembangan, jika memperhatikan beberapa hal berikut.

Pertama, dalam proses pengembangan berpikir lateral, posisi guru adalah perangsang, pengkondisi, agar murid dapat sungguh melakukan proses pengembangan berpikir lateral sendiri. Murid didorong untuk memiliki motivasi intrinsik, melalui pemberian otonomi kepada murid. Kedua, dalam proses belajar, guru memberi tempat pada pengalaman dan pengetahuan murid, dan bebas mendiskusikan dengan guru topik-topik yang dipelajari dalam proses belajar tersebut. Guru tidak mendominasi proses belajar tersebut. Ketiga, guru merupakan narasumber, tetapi bukan yang serba tahu, kompeten, tetapi tidak harus sempurna. Keempat, keberhasilan proses pengembangan ditentukan oleh disain pembelajaran yang memberi pengalaman belajar, yang sedekat mungkin dengan dunia nyata dan pemahaman bahwa kerja sama selalu lebih baik daripada kompetisi.

Saya mengutip dari buku Amazing Japan, karya Weedi Koshino tentang pengalaman pembelajaran Matematika di Jepang, yang menurut saya menggambarkan pengembangan cara berpikir lateral pada bagian sebelumnya. Ini bukan Pelajaran Seni, bukan Teater, bukan pula Sejarah, tetapi Pelajaran Matematika, untuk menegaskan bahwa pengajaran eksak pun, jika didisain dengan baik, akan berdampak pada pembentukan cara berpikir lateral.

Ini terjadi pada Pelajaran Matematika kelas III SD. Gurunya seorang ibu guru muda, menulis di papan tulis, soal yang mesti dikerjakan murid. Soalnya cukup mudah, soal penjumlahan 48 + 29. Ibu guru itu mengajak murid-muridnya memikirkan cara yang paling praktis dan paling mudah untuk menemukan jawaban dari soal tersebut.

Kira-kira 10 menit, murid yang sudah selesai mengangkat tangan, dan ibu guru memeriksa hasil kerja mereka. Setelah semua murid selesai, secara bergiliran mereka mempresentasikan hasil mereka di depan kelas. Ada lebih dari lima anak melakukan presentasi, masing-masing mempresentaikan cara penyelesaian yang berbeda, dengan hasil yang sama. Yang dipentingkan dari proses ini adalah, murid menemukan cara menyelesaikan soal, dengan cara yang paling singkat dan mudah. Pada saat presentasi, mereka harus menunjukkan dan mempertanggungjawabkan singkat dan mudahnya cara yang mereka gunakan untuk menghasilkan jawaban yang benar. Murid-murid kelas III ini mempertanggungjawabkannya dengan baik.

Pengalaman sekolah Jepang tersebut cuma merupakan salah satu contoh pengembangan cara berpikir lateral. Cara lain, dapat dikembangkan melalui pembelajaran dengan pendekatan proyek, yang biasanya lintas bidang studi. Guru mendampingi murid merencanakan proyek tertentu dengan goal yang jelas. Mereka ditantang mencapai goal proyek dengan cara mereka masing-masing. Proyek biasanya diakhiri dengan presentasi untuk mempertanggungjawabkan proses dan pencapaian goal mereka. Pendekatan proyek menghadirkan pengalaman belajar yang sedekat mungkin dengan dunia nyata. Pendekatan proyek tidak hanya mengembangkan cara berpikir lateral, tetapi juga menggembleng dan membentuk daya juang murid, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan bekerja dalam tim. Keberhasilan mereka di masa depan sangat ditentukan oleh penguasaan kemampuan-kemampuan ini.

Di Indonesia, dalam pengalaman saya, pembelajaran dengan pendekatan proyek masih harus diperjuangkan, karena banyak orang tua, bahkan penyelenggara sekolah semata-mata berfokus pada keberhasilan pencapaian akademis, yang hanya mengembangkan cara berpikir linier.

Sebetulnya, format dan disain pembelajaran ke arah pengembangan cara berpikir lateral seperti ini sangat kompatibel dengan format dan disain pembelajaran yang didorong melalui kurikulum 2013. Namun dalam implementasinya, masih banyak menemui kendala. Jika birokrasi pendidikan lebih serius menangani implementasi kurikulum 2013, maka implementasi kurikulum 2013 sekaligus juga menjadi sarana bagi pengembangan cara berpikir lateral. (Oleh: Sipri Peren / )

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments