Depoedu.com – Tahun yang lalu, sebuah televisi swasta nasional menayangkan berita yang mengejutkan. Seorang anak laki-laki yang saat duduk ini di SD kelas V, menghamili pacarnya, seorang murid SMP kelas VIII. Meskipun anak laki-laki ini baru duduk di kelas V SD, namun usianya sudah 13 tahun, lantaran ia telah dua kali tidak naik kelas.
Pasangan ini telah menjalin hubungan sejak setahun sebelumnya. Mereka melakukan hubungan beberapa kali di rumah kosong milik orang tua anak laki-laki tersebut.
Hubungan mereka bukannya tidak diketahui orang lain sama sekali. Warga sekitar pernah memeperingatkan hubungan pasangan ini pada orang tua anak laki-laki, namun tidak ditanggapi serius. “Biar saja, biar jadi bahan percobaan anak saya”, jawab Ayah anak tersebut, seperti dilansir oleh Liputan 6.com.
Saat ini kedua orang tua dari pasangan ini telah menyepakati menikahkan pasangan ini, namun Kantor Urusan Agama Tulungagung menolak karena pasangan ini masih di bawah umur. Hal ini diamini oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak Tulungagung Winni Isnaeni.
“Pernikahan keduanya belum tentu sebagai jalan keluar yang baik. Bisa jadi bikin situasi tambah keruh. Ada syarat khusus yang harus dipenuhi untuk sebuah pernikahan. Keduanya masih anak-anak. Belum memahami arti sebuah pernikahan”. Ungkap Winni seperti dikutip Kompas.com.
Krisis Lembaga Pendidikan
Kasus ini memperlihatkan bahwa keluarga dan sekolah sebagai dua lembaga pendidikan yang utama, sedang mengalami krisis sehingga tidak berperan dengan baik.
Di tengah gempuran media yang mempromosikan seks secara bebas, masih banyak orang tua yang tidak melihat bahwa mereka memiliki kewajiban yang asasi untuk mendampingi anak mereka, agar dapat melihat hubungan seks sebagai hubungan yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang matang, yang hanya dilakukan di waktu yang tepat, dengan pasangan yang tepat.
Hubungan seks bukan hubungan antara laki-laki dan perempuan ketika ada dorongan. Di pihak lain, banyak orang tua bahkan masih menganggap tabu bicara seks dengan anak mereka. Krisis ini harus segera diatasi.
Di tengah krisis keluarga tersebut, sekolah sebagai lembaga pendidikan penting lainnya, mengalami krisis serupa. Berkaitan dengan kasus ini, paling tidak krisis terjadi dalam dua hal.
Pertama, banyak sekolah tidak menyiapkan muridnya untuk hidup, namun hanya menyiapkan murid untuk mengikuti ujian. Maka aspek yang digarap semata-mata aspek pengajaran. Itu pun bukan pengajaran tingkat tinggi yang membentuk wawasan menyeluruh para murid.
Maka yang berperan adalah guru-guru bidang studi. Pendidik lain seperti guru Bimbingan dan Konseling dianggap tidak penting. Bidang-bidang pengajaran terkait karakter, kurang dapat perhatian karena bidang-bidang itu tidak diujikan secara nasional.
Kedua, hingga saat ini, kita masih sulit menemukan Guru Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar, karena pemerintah dan pengelola pendidikan, masih melihat anak SD sebagai anak kecil yang belum memiliki masalah psikis yang rumit.
Tampaknya pandangan ini perlu direvisi, karena akses mereka yang terbuka terhadap media masa membuat mereka sangat rentan terhadap berbagai masalah, termasuk masalah seksual. Sementara, Guru Bimbingan dan Konseling di SMP dan SMA lebih cenderung menggunakan pendekatan kuratif, bukan pendekatan preventif.
Karena itu, yang umum dikenal adalah program seperti konseling, bukan program preventif seperti seminar tentang seksualitas. Melalui program preventif, murid dilatih untuk menghadapi masalah sebelum masalah datang.
Krisis ini membuat sekolah dan keluarga selalu terlambat menangani banyak masalah murid. Murid harus dilatih untuk membuat pilihan yang benar di tengah terpaan informasi dan pengaruh media massa.
Maka dua lembaga penting ini harus diurus dengan baik oleh pemerintah agar banyak anak muda tidak terus-terusan dirundung oleh masalah. ( Foto: harianforum.com)
Ini adalah salah satu kasus kemerosotan pribadi dan akhlak anak bangsa. Kasus seperti diatas, lembaga pendidikan bukan menjadi satu-satunya target utama dalam halnya kita mengkritisi. Peran orang tua bisa kita tarik masuk di dalamnya. Karena waktu yang paling lama dari seorang anak ada bersama orang tua. Untuk itu, diharapkan kontribusi serta bimbingan orang tua terhadap anak-anaknya. Ini dibutuhkan sinergitas yang energik antara orang tua dan guru untuk mendidiik seorang anak menjadi pribadi yang baik.
Betul Pak. Banyak orang tua belum melakukan perannya karena wawasannya terbatas. Orang tua dengan wawasan terbatas merasa sudah melakukan banyak hal pada hal masi jauh dari harapan anak.