Depoedu.com – Selamat Natal, ananda. Seharusnya liburan ini, kita berkumpul bersama di rumah. Kakek nenekmu gelisah menanyakanmu. Seperti biasa, ayah berdalih tentang kesibukan kuliahmu. Terima kasih karena memaklumi keterbatasan kami tidak bisa mengirimimu uang tiket untuk liburan akhir tahun ini.
Kami, ayah dan ibumu senang mendengar cerita Natalmu. Natal adalah wujud solidaritas. Dan Solidaritas harus terbangun dari kerendahan hati. Kita mengimani Natal sebagai wujud nyata solidaritas dan kasih Allah sendiri. Allah yang karena cintaNya kepada manusia rela lahir dan mengambil rupa manusia.
Anakku.
Konon, dalam tradisi Palestina zaman dahulu, kandang ternak dibuat lebih kecil, dengan atap lebih rendah. Allah yang hadir sebagai manusia dalam pribadi Yesus lahir di kandang adalah symbol bahwa kita yang datang menyembahNya pun harus menundukan kepala kemudian agar dapat memandang Dia yang dibaringkan di palungan.
Di zaman ini, anakku, agar hati kita layak jadi palungan harus ada kerelaan dan kesadaran untuk menjadi rendah hati. Dengan kerendahan hati dan penyangkalan diri, hati sanubari kita baru layak menerima kehadiran Allah yang diwujudnyatakan lewat sikap dan perbuatan, tutur sapa yang penuh dengan kedamaian, persahabatan dan persaudaraan sejati dengan seluruh umat manusia tanpa kecuali. Natal seperti inilah yang harus kita rayakan.
Anakku.
Seperti sering keluhanmu, kalau untuk urusan adat, utang pun harus, sementara kalau untuk sekolah yang ada selalu alasan. Itu benar. Dan ayah mengakuinya. Ayah tidak ingin memberimu alasan, kemudian alasan-demi alasan muncul secara otomatis menyertai setiap alasan itu.
Ayah haya mencoba menyampaikan isi kepala ayah, semoga bukan rasionalisasi, juga semoga tidak mewakili isi kepala kebanyakan kita di Adonara.
Anakku.
Zaman kami barangkali orang memiliki alasan yang berbeda dengan kebanyakan orang saat ini. Ritual adat yang menyertai setiap siklus alamiah kehidupan kita di Adonara, mulai dari kelahiran hingga kematian seseorang semata-mata untuk kebaikan, sebagai bentuk solidaritas dari semua orang yang meyakini setiap ritual itu.
Namun, anakku, karena alasan yang berbeda itulah ritual-ritual itu kemudian menjadi semakin mahal yang pada gilirannya membebani secara ekonomi. Terutama ritual-ritual yang pada setiap upacara kematian, saat ini semakin berat saja secara ekonomi. Apa masalahnya? Ritualnya kah? Atau orang-orangnya?
Anakku.
Sekali lagi ayah mengingatkanmu. Ritual-ritual pada upacara kematian selalu menjadi symbol bahwa sebuah peristiwa kematian tidak serta merta memutus ikatan kekerabatan, ikatan persaudaraan orang yang meninggal dengan keluarga besarnya. Kematian dalam kepercayaan kita di Adonara, yang disimbolkan oleh ritual-ritual itu adalah titik dimana ikatan kekeluargaan semakin erat mempersatukan.
Ritual Bala Rarane atau kadang hanya dikenal sebagai rarane saja, sebagaimana yang sudah ayah sampaikan pada surat-surat sebelumnya mengikat semakin erat ikatan kekeluargaan yang ditimbulkan oleh adanya perpindahan Bala -Gading- sebagai mas kawin –belis– kita di Adonara.
Ritual yang bernama rarane ini, bahkan diulang sebanyak empat kali kematian untuk satu kali perpindahan atau perjalanan gading.
Anakku. martabat manusia dan hubungan kekerabatan, kekeluargaan kita di Adonara sebegitu pentingnya, sesuatu yang masih kita temu-alami hingga hari ini, sehingga hanya untuk satu kali peristiwa perpindahan bala –gading- butuh diikat kembali sebanyak empat kali peristiwa kematian.
Keluarga besar orang yang meninggal hanya menjadi perantara bagi keluarga darimana sebuah gading berasal dengan keluarga besar yang menerima gading-sebagai mas kawin –belis– dari keluarga yang meninggal.
Anakku.
Belis atau mas kawin dalam setiap pernikahan orang Adonara adalah pemberian timbal balik yang sepadan. Sehingga sangat jauh dari kesan bahwa gading gajah semata-mata hanya digunakan untuk ‘membeli’ seorang gadis sebuah keluarga untuk dinikahi. Gading gajah dari keluarga pengantin pria ditimbang dengan harga yang sepadan dengan kain sarung, kewatek, nowin, lipa, labu, dari keluarga perempuan yang menerima gading.
Tidak hanya pada saat menerima gading, keluarga besar perempuan penerima gading masih harus memiliki kewajiban yaitu rarane sebanyak empat kali. Keluarga besar penerima gading wajib memberi rarane pada saat kematian saudari mereka, suaminya, ayah dan ibu mertuanya. Dan rarane yang sebanyak empat kali ini kemudian diambil oleh keluarga besar pemberi gading kepada keluarga yang meninggal.
Ritual lainnya adalah ohon hebo opu bailake. Ritual ini sebagai symbol mempersiapkan jalan bagi orang yang meninggal menuju koda kewokot lewo muren -hidup yang sebenarnya setelah kematian. Namun ritual ini juga adalah symbol dari ikatan yang erat antara keluarga yang meninggal dengan keluarga naan ama atau opu nana dari yang meninggal.
Kematian adalah kepastian dari setiap yang hidup. Sementara yang pasti ini tidak seorang pun tahu kapan dan bagaimana kematian terjadi. Karenanya tak seorangpun merencanakannya, maka segala konsekuensi dari sebuah peristiwa kematian juga tidak dipersiapkan dengan semestinya.
Anakku
Dulu untuk ritual ohon hebo – bailake selain muko tapo, naan ama atau opu nana hanya membawa kapek kenuma nubene noon mitene. (Kapas yang sudah dipintal dan diwarnai namun belum digulung, berwarna coklat dan hitam). Dan ketika pulang keluarga yang meninggal hanya memberi satu ekor hewan ternak. ‘Ape nuhun’ yang seekor ini hanya bermaksud sebagai teman perjalanan yang kemudian langsung di bagi dagingnya di antara mereka rombongan bai lake tersebut. Makene (ungkapan) Ape nuhun ini kadang juga diikuti oleh makene “taran take tilun amu” taan gewarawe limaka.
Begitu juga dengan bala rarane. Dulu jika yang meninggal adalah perempuan maka rarane hanya berupa 2 lembar kewatek, dan deko tou noon lipa tou jika yang meninggal laki-laki.
Kemudian, ritual soga madak pun tidak langsung diadakan setelah seseorang meninggal. Makene “tian tuak menoto tou dipeno, manuk kubu tou di peno ki” baru ritual soga madak dilakukan. Sehingga bisa sekaligus dilakukan bagi beberapa orang yang telah meninggal. Pada saat soga madak inilah naan ama atau opu bailake dikasih lagi satu ekor hewan ternak sebagai ungkapan terima kasih atas kedatangan dan keikutsertaan mereka dalam ritual soga madak ini. Sementara itu yang digunakan dalam ritual soga madak hanyalah seekor ayam jantan bukan hewan ternak.
Anakku
Hari ini, soron naan ama, opu nana bailake harus taran bala, kenasi telo lema atau pito hiwa. Begitu juga dengan rarane. Hari ini rarane juga dihitung dengan tenowhe, yang jika ditotal tidak kurang dari 20 potong kewatek, nowin, lipa, labu. Begitu juga dengan ritual soga madak yang hanya mensyaratkan seekor ayam jantan namun kemudian ditambah witi dan wawe.
Anakku
Taran bala dan kenasin telo lema, pito hiwa untuk soron naan ama, opu nana bailake inilah yang pasti sangat memberatkan. Begitu juga dengan rarane yang seharusnya 2 helai kain sarung ataupun deko tou lipa tou menjadi 20 helai ini menjadi tidak ringan bagi kebanyakan orang. Begitu juga dengan tambahan witi dan wawe untuk soga madak, mungkin bagi beberapa orang ini bukan sesuatu. Tapi bagi kebanyakan orang Adonara tentu ini sangat berat.
Anakku.
Sebagai bagian dari masyarakat maka ‘tulun tali’ atau talin dalam kebudayaan masyarakat kita menjadi sebuah modal social yang kaya. Talin menjadi arisan yang bisa sangat membantu keluarga besar yang meninggal. “Ata di beto si tite kae, jadi mian ata maran horan di tite tai geniku ata”. Menjadi persoalan jika saat ata beto maran horan, sita be mega, waha be lima tou di silimaket take. Maka kemudian yang ada adalah “naben one, ele dap ki di melan”
Anakku.
“Tempus mutantur et nos mutamur in illud”. Ya! Waktu berputar dan kita pun diubah olehnya.
Beda zaman beda alasan. Bagi sebagian orang, sewa tenda jadi pada saat kematian pun mungkin bukan persoalan berarti kalau doi si limaka noone. Mengurai hal ini tentu tidak mudah. Butuh kerendahan hati dan ketulusaan untuk menelaah hal ini kemudian secara jujur mengakui bahwa hari ini ritual-ritual adat sudah mengalami pergeseran. Yang syarat sudah berubah menjadi adu gengsi dan pela isa kewasa. Jika demikian maka ritual tidak lagi menjadi bahasa symbol keselamatan, persaudaraan dan kekeluargaan, ritual bisa menjadi bencana yang memakan tidak sedikit korban.
Anakku.
Beberapa yang gelisah seperti ayah menyarankan penyederhanaan. Bagi ayah jika penyederhanaan maka menjadi relative sebab yang sederhana bagi seseorang belum tentu sederhana bagi yang lain. Ayah lebih suka memakai istilah pemurnian. Syarat-syarat dalam ritual-ritual adat itu dimurnikan, dikembalikan ke yang asli. Sebab jika kembali ke yang asli pasti menjadi sederhana bagi semua orang tanpa merubah sedikitpun maksud dan tujuan ritual itu.
”Surat-surat dari Adonara menggunakan banyak ungkapan (makene) dalam bahasa Lamaholot, tidak kami terjemahkan kata demi kata untuk menjaga konteks pesannya”. (Oleh: Senuken / Foto: ntt-traveling.blogspot.com )