Depoedu.com – Benarkah bahwa masyarakat Adonara menghormati perempuan dalam kesehariannya? Bagaimana dengan KDRT dimana perempuan sebagai korban?
Anakku.
Ayah sungguh gelisah ketika membaca data tentang kekerasan dalam rumahtangga (KDRT). Dari tahun 2002 hingga 2017, anakku, seperti yang ditulis liputan6 dot kom, terdapat 3.621 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di NTT. Bahkan data yang dikeluarkan oleh Rumah Perempuan Kupang, pada tahun 2017 terdapat 320 kasus KDRT. Kekerasan terhadap perempuan terjadi hampir setiap hari di tahun 2017 kemarin.
Apa yang salah tentang ini anakku? Beliskah? Barangkali ada suami membenarkan diri melakukan tindakan kekerasan terhadap istri – ibu anaknya – karna merasa telah ‘membeli’ sang istri dengan belis kepada keluarga istrinya. Karenanya ia ‘boleh’ memperlakukan istrinya sekehendak hatinya. Namun hal ini juga tidak bisa diterima toh di India misalnya, jamak terdapat suami yang melakukan kekerasan terhadap istri karena istri belum atau terlalu sedikit membayar belis kepada keluarga laki-laki calon suaminya. Dengan demikian menurut ayah, belis – baik jumlah ataupun siapa yang membayar – bukan merupakan sumber satu-satunya yang dijadikan pembenaran diri seseorang pria melakukan tindakan kekerasan terhadap istrinya.
Anakku.
Benar adanya, bahwa manusia cendrung membentengi diri dengan berbagai alasan ketika melakukan perbuatan tercela. Dalam hal KDRT seorang suami cendrung menggunakan berbagai alasan pembenaran diri selain belis. Marjinalisasi, subordinasi dan stereotype terhadap perempuan adalah rasionalisasi-rasionalisasi lainnya. Bahkan hal-hal ini kadang dianggap lumrah oleh masyarakat. Perempuan makan setelah laki-laki. Perempuan tidak harus sekolah tinggi toh nanti tempatnya di dapur. Perempuan tugasnya melayani, hamil, melahirkan dan merawat anak-anak suaminya. Bahwa laki-laki yang perkasa itu bekerja untuk menghidupi istri dan keluarga, bahwa perempuan tidak tahu apa-apa sedangkan laki-laki tahu segalahnya, bahwa perempuan harus selalu mendahulukan laki-laki dalam segala hal, bahwa seorang istri yang baik adalah yang diam penurut tanpa protes terhadapa suami, bahwa perempuan lah yang salah mau menikahi laki-laki beringas, seolah karena hal-hal ini maka seorang suami boleh melakukan apapun kepada istrinya.
Anakku. kesayangan ayah!
Sekali lagi ayah jujur kepadamu. Dengan ego laki-laki dan suami, dalam tingkatan tertentu ayah membenarkan alasan-alasan itu. Tapi ayah jelas menolak bahwa hal-hal ini menjadi sumber masalah KDRT.
Ayah akui masih sangat sering menyalahkan ibumu atas banyak hal, bahkan sekedar mood ayah yang lagi jelek sementara ayah tidak tahu apa penyebabnya. Ayah merasa telah menjadi pribadi yang sungguh memahami ibumu, kemudian karenanya mengharuskan ibumu berlaku demikian juga terhadap ayah.
Ayah minta maaf padamu juga kepada adik-adikmu, ayah cendrung menjadikan rumah menjadi tempat paling aman bagi ayah untuk melepaskan berbagai tekanan yang ayah terima. Kemarahan-kemarahan ayah bahkan hanya karena hal-hal sepeleh tentu membuat seisi rumah, ibumu, kamu dan adik-adikmu, tidak nyaman.
Diusia senja inipun, ibumu masih saja cemburu buta. Menurut ayah itu mengganggu dan keterlaluan. Tapi, tahukah kau anakku? Bahkan seorang Eva ditaman itu setiap pagi menghitung tulang rusuk Adam suaminya, cemburu buta kalau tau-tau hilang satu diambih Penciptanya untuk menjadikan seorang perempuan, pasangan lain Adam suaminya? Hahaha, soal ini ayah bercanda.
Anakku
Maka menurut ayah, anakku, tindakan apapun yang dilakukan oleh setiap orang adalah pilihan sadar. Dalam hal KDRT setiap anggota keluarga bisa memilih untuk tidak menjadi pelaku bahkan juga bisa memilih untuk tidak lagi menjadi korban.
Seorang suami pelaku KDRT harus sadar bahwa pasangannya bukan orang lain. Pasangannya adalah dirinya yang lain, belahan jiwanya. Bukan dari tulang kaki di bawah sana untuk diinjak-injak juga bukan dari tempurung kepala agar disembah melainkan pasangannya diciptakan dari tulang rusuknya, untuk menjaga ‘jantung hatinya’. Maka seterang apapun alasannya, sebesar apapun amarahnya ia pasti bisa mengambil jedah untuk menenangkan diri, kemudian membuka sikap dialog, mau mendengarkan tanpa menghakimi. Nuan gahin, ake maan numan nelin, anakku!
Masyarakat kita masih sangat permisif memandang KDRT sebagai urusan pribadi ‘dalam rumah’. Karenanya korban cendrung terlambat ditangani. Ketika sudah sangat parah barulah korban membuka diri. Seperti yang ayah katakan pilihan untuk tidak lagi menjadi korban adalah ketika mau membuka diri mencari pertolongan. Bukan dalam rangka menumbar ‘aib’ rumahtangganya, membuka diri mecari pertolongan kepada orang yang tepat adalah cara memutus tindakan kekerasan yang dialaminya.
Ama Tuan Kopong MSF menulis status facebooknya (27.10.2018) bahwa gengsi, merasa paling kuat dan mau didengar adalah bentuk ketidakdewasaan seorang suami. “Kelemahan dan kekalahan terbesar seorang suami meski kelihatan kekar adalah ketika tidak mampu mengubah kemarahan dan emosi negatif menjadi penerimaan dan kemauan untuk mendengarkan sebagai ungkapan kerendahan hati” (kata dalam huruf miring ditambahkan).
Anakku.
Apakah aku, ayahmu yang menulis ini sudah adalah ayah nomor satu paling hebat? Apakah aku ayahmu sudah selesai dengan ego? Sudah sanggup mengolah amarah? Tidak anakku. Masih ada daging manusiawi yang melekat pada tulang belulang ayah. Untuk itu anandaku, mohon doakan ayah. Aku, ayahmu ini, saban pagi berdoa, “bau lolon – lolon goka wurhan wreto – leta neten perudut peroin” semoga Allah Tuhan – Rerawulan Tanahekan – memberi kekuatan yang lebih besar dari segala kecemasan, memberi hati lebih lapang bagi ayah. Dalam doa-doa ini ayah sekaligus mengingatkan diri untuk menjagalindungi hal-hal yang berharga dalam hidup ayah; kamu, adik-adikmu, ibumu.
Anakku.
Ketika seorang istri memanggil ibu mertuanya dengan sapaan “kakak”, itu menegaskan penghormatan seorang suami kepada istrinya setara kepada ibu kandungnya sendiri. Ini adalah nilai-nilai luhur warisan budaya kita.
Anakku.
Sama seperti kakekmu menutur-wariskan banyak nilai kepada ayah, begitu juga ayah kepadamu lewat surat-surat ayah. Kita orang Adonara, “Mean Berekete” itu bukan soal agresif menyerang. Mean Bereketen adalah kesediaan untuk memberi perlindungan. Melindungi setiap hal yang berharga dalam hidup. Melindungi nilai-nilai luhur budaya dengan mewujudnyatakannya dalam perilaku sehari-hari kita. (Oleh: Senuken / Foto: ekspektasia.com)