Depoedu.com – Sekolah adalah sebuah komunitas manusia. Bukan yang biasa, karena pada saat yang sama ia adalah arena menajamkan kemanusiaan warganya. Di dalamnya, ada proses menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai utama, sehingga terintegrasi dalam setiap pribadi anggotanya. Dengan bagaimana semestinya komunitas ini dikelola?
Belajar dari Sosok Jokowi
Gegap gempita perayaan demokrasi pemilihan presiden Republik Indonesia tiga tahun silam kini telah mereda. Namun kenangan akan peristiwa ini masih melekat dalam benak segenap warga bangsa. Apa yang membuat peristiwa rutin lima tahunan ini bisa menjadi begitu istimewa? Atau tepatnya, siapa yang mengubah proses ritual formal yang kering dan berjarak dari warga negara ini menjadi rangkaian tahap penentuan pemimpin negeri yang oleh semua kalangan sedemikian dilibati?
Tak bisa diingkari, ada sosok luar biasa yang memukau dan membuat banyak jiwa terkesima. Joko Widodo. Wali kota kebanggaan Solo yang kemudian menjadi Gubernur ‘langka’ di DKI Jakarta itu berada dalam ajang pemilihan presiden kali ini. Kejujuran dan kesederhanaannya menggambarkan kekuatan pribadi yang melampaui tampilan ragawinya. Tindakan nyata dan kerja kerasnya membuat setiap kata ungkapannya begitu bermakna. Revolusi mental yang digaungkannya membangunkan kesadaran setiap insan Indonesia akan keutamaannya sebagai warga bangsa yang bermartabat; menyuarakan kerinduan setiap hati untuk kembali pada panggilan sejati : dengan kata dan karya mencintai ibu pertiwi.
Mari simak bersama, apa persisnya yang ia lakukan? Apa yang membedakannya dari sekian banyak ‘pemimpin’ lain? Dari mana datangnya kesimpulan tentang segala keistimewaannya? Mengapa ia bisa menciptakan sesuatu yang tidak bisa diciptakan sosok lain di posisi yang sama dengannya.
Dari sekian banyak jawaban, salah satunya akan berbunyi demikian : ia menghargai setiap manusia sebagai pribadi. Ini tampak dari pilihan sikapnya untuk datang dan menghampiri, caranya menyapa dan berkomunikasi, penentuan prioritasnya, tindakan spontannya. Sedemikian konsisten, seperti sudah terinternalisasi menjadi kecenderungan baku perilakunya. Maka bisa dipastikan bahwa ini bukan strategi untuk membangun simpati (ia bahkan tidak peduli bagaimana ia akan dinilai dan dikomentari). Ini lahir dari ketulusan hati yang dengan teguh diyakini dan dengan sadar dipilih untuk dinyatakan, diungkapkan, dalam setiap interaksi, dengan setiap pribadi.
Lihat yang kemudian terjadi. Pribadi-pribadi papa yang disapa, disentuh, diakui keberadaannya –apa adanya–, diterima sebagai dirinya, kemudian bergerak penuh daya menjadi pendukung utama yang rela memberi segenap diri. Pengalaman dihampiri, didengarkan dan dipenuhi menjadi wujud nyata pengalaman dihargai, dianggap berharga dan boleh jadi utama. Perlakuan manusiawi sederhana ini punya daya luar biasa. Seseorang bisa membangun kembali rasa harga dirinya dan menjadikannya mampu memandang pribadi lain sebagai sesama yang juga berharga, bukan lawan, musuh, ancaman, yang disikapi penuh curiga, sebagaimana kerap terjadi selama ini.
Membangun Budaya Saling Menghargai
Dalam realitas hidup harian, tidakkah kita pun memiliki penghayatan serupa? Kapan kita merasa diri berharga? Apa yang kemudian bergejolak dalam batin kita karenanya? Dan kapan kita merasakan pengalaman sebaliknya? Bagaimana tindakan kita menyikapinya? Bertolak dari sana, dalam relasi dengan sesama, apakah penghargaan sungguh sudah menjadi nilai yang kita bawa? Bila masih belum kentara, apa yang selama ini menghambat kita? Mengingat sekian besar keutamaan yang bisa lahir daripadanya, bagaimana kita bisa berupaya mengaplikasikan nilai ini dalam setiap peristiwa?
Menghargai kerap menjadi konsep yang abstrak, bukan kata kerja operasional. Menghargai pada dasarnya lebih merupakan pilihan sikap yang kemudian akan tampil dalam beragam wujud tindakan konkrit. Setiap pernyataan: “Saya menghargai….” akan berhadapan dengan ujian publik. Tindakan apapun yang tidak sejalan, serta merta akan menggugurkan pernyataan semula. Sebaliknya, tanpa rumusan kata-kata, perlakuan nyata sederhana bisa lebih banyak bicara pada sesama betapa ia berharga. Andai setiap anggota dalam komunitas kita merasa diri berharga dan menjadi bisa menghargai sepenuhnya setiap pribadi sesama anggota, betapa kita semua akan jadi penuh daya.
Ini menjadi sangat mudah dalam kata-kata tetapi mari cermati komunitas kita. Bila belum tampak fenomena serupa setelah kebersamaan sekian lama, menjadi pertanda bahwa ini bukan perkara sederhana. Mari cek relasi antar kita, seperti apa? Bila kita pernah merasa tak nyaman melihat orang lain menerima penghargaan, ini sinyal tentang besarnya kebutuhan kita untuk dihargai. Bila kebutuhan ini sungguh terpenuhi, kita justru bisa ikut merayakan keberhasilan orang lain dengan suka cita sejati. Komunikasi yang menjadi tanda utama kualitas relasi berada di tingkat mana? Sekedar basa-basi atau sungguh komunikasi antar pribadi? Mari kita benahi, mari perbaharui ! (Oleh: Josybahi / Foto:tribunnews.com)