Depoedu.com – Baru-baru ini, bertempat di Istana Negara, Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan presiden tentang pendidikan karakter. Perpres tersebut sudah menunjukkan kemajuan karena telah memanfaatkan peran tidak hanya sekolah sebagai area penting tetapi juga lembaga pendidikan non-formal
Perpres tersebut dimaksudkan untuk memperkuat pendidikan karakter. Nampaknya pemerintah menyadari bahwa selama ini pendidikan karakter telah didorong pelaksanaannya di sekolah – sekolah. Mudah – mudahan kehadiran perpres ini akan membuat praktek pendidikan karakter jadi lebih terarah.
Namun, jika proses pendidikan karakter hanya melibatkan pendidikan formal dan non formal, efektivitasnya tidak akan terjamin dengan baik. Karena sekolah hanya melanjutkan proses pendidikan karakter yang harusnya sudah dilakukan pada area lembaga pendidikan keluarga, dengan orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama. Sebelum pendidikan karakter digarap oleh keluarga dengan baik, usulan penguatan pendidikan karakter tidak akan sangat efektif. Lihat saja, sekolah-sekolah yang siswanya berasal dari keluarga yang tahu cara mendidik anaknya dengan baik, mereka lebih berhasil menyelenggarakan pendidikan karakter bagi murid-murid mereka.
Maka efektivitas pelaksanaan pendidikan karakter harusnya berangkat dari bagaimana kita sebagai bangsa menyelesaikan masalah berkaitan dengan keluarga sebagai lembaga inti dan penting dalam negara, juga peletak dasar pembentukan karakter.
Belajar dari Finlandia
Negara dengan indeks pembangunan manusia tertinggi seperti Finlandia, memberi perhatian terhadap bagaimana keluarga dibentuk. Di Finlandia, semua pasangan yang hendak menikah diwajibkan mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan selama satu tahun dengan beberapa modul diantaranya bagaimana mendidik anak dan komunikasi antara orang tua dan anak. Setelah pasangan tersebut menikah, untuk menangani masa prenatal, bagi ibu hamil, negara memberikan subsidi agar selama masa kehamilan, janin mendapat asupan gizi terbaik. Setelah melahirka bagi ibu yang bekerja, negara mewajibkan perusahaan tempat ibu bekerja, memberikan cuti selama enam bulan di luar hari libur, dengan gaji penuh. Suami mendapat hak cuti 18 hari kerja. Sampai anak berusia tiga tahun, jika anak sakit atau ada jadwal ke dokter, Ibu yang bekerja otomatis mendapat cuti dari perusahaan.
Di samping itu, untuk setiap bayi yang lahir, pemerintah memberi dua judul buku yang wajib dibaca oleh ayah dan ibu. Satu judul buku wajib dibacakan untuk anak. Negara melarang anak balita masuk sekolah formal hingga usia tujuh tahun. Proses pendidikan pada usia tersebut, sangat menyangkut pendidikan karakter dan harus dilakukan oleh orang tua.
Beberapa Agenda
Ada banyak persoalan pendidikan karakter di sekolah yang akarnya ada di keluarga yang jika tidak di benahi, maka upaya penguatan seperti yang sekarang di lakukan tidak akan efektif di tataran implementasi. Untuk menanganinya, beberapa agenda perlu didorong. Agenda tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Pertama, pemerintah dan aparat terkait harus lebih bertanggung jawab dan proaktif dalam menyiapkan pasangan yang hendak memasuki hidup keluarga. Instrumennya sudah ada. Negara sudah memiliki birokrasi yang terkait dengan keluarga langsung atau tidak langsung. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bisa mengambil peran ini, berkoordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Pendidikan Tinggi. Dalam pelaksanaannya negara juga dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi.
Beberapa model bisa dicoba misalnya melalui lembaga – lembaga keagamaan. Gereja Katolik sejak dahulu menyelenggarakan program Persiapan Perkawinan bagi pasangan muda. Pasangan muda yang hendak menikah secara Katolik, diwajibkan untuk mengikuti program persiapan ini. Lembaga keagamaan yang lain bisa memikirkan format yang sesuai. Ini praktek yang sangat visioner.
Model lain yang bisa dicoba adalah negara mewajibkan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan program persiapan perkawinan bagi lulusannya sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat. Dengan pendekatan ini, semua lulusan perguruan tinggi dipastikan mengikuti kursus ini. Program ini jauh lebih bermanfaat dibandingkan program pengabdian masyarakat yang selama ini diselenggarakan. Jika program ini dilaksanakan dengan baik, kita akan berhasil mengutuhkan pendidikan satu generasi, dan menyiapkan aktor bagi pendidikan generasi berikutnya. Perguruan Tinggi dengan kemampuan sumber daya manusianya, pasti mampu melakukannya.
Kedua, negara perlu melakukan intervensi agar janin yang ada dalam kandungan semua ibu hamil di Indonesia apalagi ibu hamil dari keluarga pra sejahtera, mendapat asupan gizi yang terbaik. Asupan gizi yang terbaik pada periode ini, sangat menentukan kualitas pertumbuhan anak pada tahap selanjutnya. Instrumennya adalah subsidi.
Ketiga, pendidikan karakter yang hakiki itu terjadi pada tahap anak berada di masa balita, dan proses tersebut akan sangat efektif melalui modeling. Model yang dimaksud adalah orang tua anak tersebut, maka negara perlu melakukan intervensi untuk memastikan agar hingga usia lima tahun, ayah dan ibu dari anak tersebut, secara fisik hadir dan menjadi pendidik bagi anak mereka. Oleh karena itu Kementerian tenaga kerja perlu merevisi undang-undang tenaga kerja jika diperlukan, dalam rangka memastikan pada usia balita, orang tua dapat melakukan kewajibannya mendidik anak-anaknya dengan baik. Misalnya memberikan masa cuti lebih lama berkaitan dengan cuti hamil dan melahirkan, dan cuti-cuti pada masa balita. Pemilik usaha yang visioner harusnya mendukung gagasan seperti ini karena berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia bermutu. Mereka kelak adalah pemegang kendali kelangsungan usaha dalam jangka panjang.
Keempat, negara dan aparat terkait, perlu memikirkan bagaimana supaya ada regulasi aturan untuk memastikan, anak dan remaja dapat mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan mereka. Saat ini ada kekosongan produk untuk memenuhi kebutuhan perkembangan intelektual bagi anak dan remaja. Coba saja cari buku anak di toko buku. Kita akan sulit temukan buku bagus untuk anak-anak. Kita pun sulit menjumpai lagu atau tontonan untuk anak-anak. Lomba menulis cerita anak, lomba cipta lagu anak, hendaknya didorong oleh kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan. Hal yang sama bisa juga dilakukan oleh kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Kelima, negara perlu memikirkan cara yang paling efektif untuk membantu orang tua dan guru untuk mendampingi anak mereka di tengah – tengah perkembangan arus informasi dan pengetahuan yang luar biasa dahsyat. Di mana banyak guru dan orang tua bingung dan tergagap-gagap melakukannya. Padahal di tangan mereka, pendidikan karakter satu generasi terselenggara. Jajaran kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kementerian Informasi dan Komunikasi, kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak ditunggu actionnya.
Akhirnya pendidikan karakter hanya efektif jika orang-orang dewasa sanggup menjadi teladan kebaikan bagi anak-anak. Pribadi-pribadi yang dapat menjadi teladan adalah mereka yang telah tumbuh dewasa, utuh sebagai pribadi, yang peletakan dasar pertumbuhannya bahkan harus sudah dilakukan sejak masa prenatal. Maka menerbitkan peraturan presiden cuma langkah kecil. Kita harus melakukan langkah-langkah besar agar mimpi mendidik karakter anak bangsa, sungguh-sungguh bisa kita kerjakan secara efektif.(Oleh: Sipri Peren / Foto: pendidikankarakter.com)