Depoedu.com – Setelah usai dengan berbagai persoalan seperti kurikulum, metodologi dan hal-hal teknis, pendidikan di Indonesia akan dihadapkan pada persoalan kesetiaan pendidik. Gejalanya sudah nampak beberapa tahun terakhir ini di Jakarta. Banyak guru yayasan pendidikan swasta yang eksodus menjadi guru PNS. Karena para eksodan ini adalah guru-guru senior yang handal, maka yayasan yang ditinggalkannya tentu pontang-panting. Mereka eksodus karena penghasilan guru PNS bisa tiga kali lipat guru swasta.
Pada level yang lain, fenomena kesetiaan pendidik bisa ditemukan pada guru-guru muda yang mengawali karir dengan cair,mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan alasan mencari suasana kerja yang enak. Gejala ini relatif baru. Sejauh pengamatan penulis saat ini guru guru muda suka sekali pindah kerja dari satu sekolah ke sekolah lain. Banyak diantara mereka yang alasannya bukan lagi gaji. Beberapa dari mereka adalah guru muda di sekolah yang kaya raya. Namun demikian toh pindah kerja juga.
Meskipun alasan hengkangnya guru eksodan di Jakarta berbeda dengan para guru baru sebagaimana saya ceritakan di atas, ada issu bersama yang pantas kita cermati, apakah makna kesetiaan bagi seorang pendidik?
Duapuluh tahun yang lalu, menjadi pendidik pada umumnya dihayati sebagai sebuah panggilan hidup. Ada nuansa spiritual dalam memaknainya, sehingga ada kecenderungan para pendidik setia pada profesi dan institusi. Sedang hari ini telah terjadi perubahan paradigma, bahwa guru adalah profesi yang (seharusnya) profesional. Dua paradigma itu tentu menghasilan jenis dan tipe kesetiaan yang berbeda.
Adanya standardisasi profesionalitas para pendidik, secara teori, mutasi tenaga pendidik, entah karena pindah tugas atau yang lainnya, tidak akan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar, karena semua guru memiliki kompetensi yang sama dibidang pedagogi, pribadi, sosial dan profesional. Betulkah demikian?
Sayangnya, teori kadang hanya symfoni yang tidak selalu harmoni ketika di putar di luar gedung academia. Standard profesi yang diharapkan mampu menjamin keseragaman kompetensi, terkadang tidak sesuai dengan rancangan semula. Sehingga bagaimanapun juga mutasi yang terjadi karena kepindahan guru guru ini, lebih sering meninggalkan persoalan di sekolah yang ditinggalkannya.
Diskusi tentang kesetiaan pendidik membawa kita pada pertarungan ide antara konservatisme dan modernisme. Kata kesetiaan yang menjadi judul tulisan ini mau tidak mau merepresentasikan romantisme kaum konservatif, sedang profesionalitas merupakan representasi ide modernitas.
Di Jakarta pertarungan romantisme konservatif dengan profesionalisme diantarai oleh sirkus politik yang lintang pukang bak bencana puting beliung. Kita tahu tunjangan profesi yang diberikan oleh pemerintah, sungguhpun itu diikat Undang Undang tetapi dia tidak melekat sebagai hak. Ia adalah sebentuk reinforcement ala Paplov yang secara politis bisa ditarik kapanpun oleh kekuatan politik yang tengah berkuasa. Demikian juga TKPD yang diberikan oleh pemerintah DKI kepada pendidik PNS, meskipun ia diikat oleh Perda, sebagaimana sirkus politik yang lain, ia bisa hilang kapanpun. Produk politik yang rentan semacam itulah yang menjadi pertimbangan sejumlah pendidik senior di Jakarta melakukan eksodus.
Saya mendengar keluh kesah beberapa pengurus yayasan pendidikan di Jakarta, betapa mereka kesulitan untuk menemukan guru pengganti untuk para senior yang kini pada menjadi PNS. Dalam beberapa kasus, nasib para peserta didik menjadi korban atas situasi ini.
Pada kasus yang berbeda, kecenderungan para pendidik muda yang gemar keluar masuk sekolah lebih disebabkan karena akses informasi yang terbuka lebar. Duapuluh tahun yang lalu seorang guru baru tidak akan melirik pekerjaan lain karena informasi sangat minim. Akhirnya mereka memilih setia. Tapi apakah itu bermakna sebagai panggilan hidup. Belum tentu juga.
Dari banyak literatur modern kita tahu bahwa bos pendidikan adalah siswa. Kepadanyalah hidup para pendidik diabdikan. Nah jika guru guru melakukan eksodus atas dasar penghasilan lalu sebetulnya siapakah pendidik itu? Atau barangkali hal ini hanya menajamkan para filsuf yang membabtis para guru ini dengan nama baru homo ekonomicus ? Ah entahlah, siapapun jika ditawari pekerjaan yang sama dengan penghasilan tiga kali lipat tentu bisa goyang keteguhannya.
Peran Pemerintah
Maka marilah kita bertanya kepada pemerintah apa peran yang sudah dimainkannya? Kita lihat contoh di DKI. Di sana pemerintah tidak membatasi usia pendidik yang boleh mendaftar menjadi PNS. Apa yang terjadi ? Bahkan guru guru yang berusia 50 tahunpun berbondong bondong masuk PNS. Hal ini sudah terjadi. Mereka meninggalkan sekolah swasta yang sudah dibela puluhan tahun untuk sejumlah pendapatan yang menggiurkan. Mereka meninggalkan siswa siswi yang oleh karena jadwal pra jabatan PNS harus ditinggalkannya entah bersama siapa. Salahkah para eksodan ini? Tentu jawabannya tidak segampang membedakan hitam putih. Tetapi seandainya negara sedikit bijak dengan membuat pembatasan maka efek eksodus ini bisa diminimalisir.
Apa yang dapat kita baca dari fenomena ini. Bahwa pemerintah egois, hanya berpihak pada sekolah negeri saja. Kurang memperhatikan kesulitan penyelenggara pendidikan swasta yang selama ini menjadi mitra negara dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional. Seolah olah pemerintah tidak menjadikan lembaga pendidikan swasta sebagai bagian dari missi edukasi bangsa ini. Sehingga dalam kasus kasus eksodus semacam ini pemerintah tidak ambil pusing terhadap pontang pantingnya sejumlah yayasan swasta yang kehilangan guru guru seniornya. Akhirnya bisa dikatakan ketidak setiaan para pendidik inipun hasil rancangan pemerintah.
Pendidik Pemula
Bagaimana dengan pendidik pemula yang gemar pindah kerja dari satu tempat ke tempat lainnya. Apakah mereka ini juga bisa dikategorikan sebagai ketidaksetiaan? Nanti dulu, mari kita cermati dengan arif.
Perlu dipahami bahwa para pendidik baru ini termasuk dalam golongan generasi milenial. Tabiat mereka tidak bisa dipisahkan dari jamannya, meskipun mereka adalah pendidik. Kepada merekalah estafet kependidikan akan kitaserahkan kelak.
Generasi milenial adalah generasi yang sungguh bergegas gegas. Generasi yang hidup dipermukaan, oleh karenanya mereka bertindak super cepat. Mereka diliputi segudang data, sehingga keputusan keputusan dibuat dengan mudah karena didukung oleh data. Mereka adalah generasi yang terhubung satu sama lain dalam jejaring teknologi yang super rumit. Mereka adalah generasi yang bekerjasama, bukan bersaing.
Untuk bisa hidup dalam jamannya mereka butuh daya dukung lingkungan yang sesuai. Mereka tidak bisa hidup dalam kultur yang kuno. Jika mereka bekerja pada sebuah sistem yang kuno, pantatnya panas dan ingin segera ingin pergi. Jadi jika guru di yayasan Anda keluar masuknya cukup tinggi, jangan lihat gurunya, lihatlah sistemnya, apakah sudah cukup memberi ruang yang nyaman atau belum kepada guru guru milenial ini. Jika belum pelajari kembali apa apa yang mengalami disrupsi dalam kehidupan modern ini.
Penutup
Sesuai dengan judulnya, tulisan ini menggugat kesetiaan para pendidik dalam menjawab panggilan pendidikannya. Penulis mengambil dua contoh. Contoh pertama para eksodan pendidik swasta di Jakarta. Contoh kedua memotret “ketidak setiaan” guru-guru muda zaman now yang sering berpindah pindah kerja. Pada contoh pertama “ketidak setiaan” para guru senior ini disebabkan pemerintah kurang teliti dalam membuat kebijakan. Pada contoh kedua “ketidaksetiaan” para pendidik muda ini lebih disebabkan karena tidak tersedianya daya dukung lingkungan bagi mereka untuk berbuat sesuai jamannya. Keduanya adalah tantangan di dunia pendidikan kita
Tulisan ini mengajak para pembuat keputusan agar setiap kebijakan yang dibuat tidak merugikan sekolah sekolah swasta yang selama ini menjadi rekanan pemerintah dalam menyeleggarakan Pendidikan Nasional. Selain itu juga mengajak para penyelenggara pendidikan swasta untuk mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan jamannya, karena tongkat estafet pendidikan akan segera kita berikan kepada pendidik milenial yang sekarang suka berpindah pindah kerja itu.
( R Budi Sarwono, Dosen Universitas Sanata Dharma, Mahasiswa Program Doktor Bimbingan Konseling, Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang )
Foto: jurnalasia.com