Depoedu.com – Ayah dan Ibu, rasanya kita bisa sepakat dengan pernyataan bahwa menjadi orang tua pada masa ini adalah tantangan yang luar biasa. Bersama dengan rasa syukur, kebanggaan, dan kebahagiaan yang bisa dinikmati dari peran itu, terdapat tanggung jawab besar dengan prosedur kerja yang kerap kali anomali dan tak terprediksi. Setiap dari kita pasti punya cerita tentang bagaimana para buah hati beraksi. Mulai dari rasa sedih dan haru, bahagia, kadang diseling rasa geli, atau bahkan geram dalam hati, kita alami karena mereka. Betapapun mereka lahir dari kita, banyak kali kita tak bisa mengukur mereka menggunakan ukuran kita.
Sementara pada saat yang sama, banyak dari kita punya peran ekstra, menjadi pekerja. Entah itu penguasa ataupun karyawan biasa, entah itu pemilik ataupun pelaksana usaha, tak ada yang bisa terselenggara tanpa tanggung jawab serupa, mungkin yang berbeda hanya kadar dan porsinya. Lalu cerita tentang peran ganda ini pun ada banyak versinya, dengan nuansa agak senada, bahwa ini bisa sungguh menguras tenaga.
Belum lagi bila sang buah hati beranjak remaja. Ia sendiri tengah alami periode mencari eksistensi yang ia geluti dengan fluktuasi emosi. Seberapa siap kita jalani peran mendampingi tanpa tergerus oleh emosi kita sendiri? Seberapa banyak alternatif solusi bisa kita ciptakan untuk persoalan yang kadang terasa bertubi-tubi? Mari simak bersama, ungkapan berikut mungkin menyuarakan kondisi kita.
Saya ibu dua orang anak, bekerja sebagai karyawati swasta di Jakarta, sedangkan suami dinas di luar kota, dengan kesempatan pulang hanya satu dua kali dalam sebulan. Putra bungsu kami kelas satu SMP, mulai tahun lalu mengenal game on line (lewat laptop hadiah kelulusan) dan asyik mengisi waktu luangnya dengan itu. Semula kami tidak melarangnya karena kami tidak bisa sediakan hiburan lain untuk dia, apalagi kakak perempuannya saat itu mulai kuliah, tinggal di kost dan baru pulang akhir minggu. Namun belakangan dia seperti ketagihan. Waktu laptopnya rusak dan sengaja tidak kami perbaiki, ia lari ke tempat persewaan dekat rumah.Uang saku mingguan yang kami beri habis dalam dua tiga hari. Padahal kami tidak punya pembantu lagi sejak lebaran lalu, praktis tidak ada yang mengawasinya di rumah. Saya hanya bisa menelpon dari kantor, mengingatkannya untuk buat PR dan belajar, tetapi pasti itu tidak ia lakukan, buktinya nilai rapornya kemarin sangat menurun. Oleh karena itu saya dan suami berencana membawa dia ke rumah neneknya. Ibu saya mantan seorang guru SMP di daerah, kami yakin bersama neneknya ia akan lebih terawasi, bisa berhenti bermain game on line dan bisa memperbaiki prestasi belajarnya. Bagaimana sebaiknya cara kami menyampaikan ini kepadanya supaya ia bisa kooperatif dan tidak menolak rencana kami untuk kebaikannya ini?
Betapa konkrit dan familiarnya dilema ini. Namun tetap saja tidak sederhana dan tidak mudah. Betapa sangat bisa dipahaminya kelelahan orang tua dalam pergumulan seperti itu. Dengan bagaimana kondisi tersebut mesti disikapi? Bagaimana pertanyaan Ibu si bungsu di atas bisa ditanggapi?
Tanpa mengingkari kesulitan ini, tampaknya kita perlu mulai dengan mencoba mengenali kembali keluhuran panggilan kita sebagai orang tua. Kehadiran anak-anak yang adalah buah cinta kita itulah yang menyempurnakan peran kita. Akan tetapi, situasi hidup masa kini dengan segala tuntutan dan tekanannya kerapkali mendesak kita mengungkapkan cinta semata dalam wujud mengawasi mereka, memastikan mereka melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Kita yakin itu adalah yang terbaik untuk mereka.
Ternyata, betapapun besar muatan cinta dalam tindakan pengawasan kita terhadap anak-anak, remaja kita tidak terutama melihat itu. Yang lebih mudah mereka tangkap adalah bahwa kita hanya mencintai mereka kalau mereka mendengarkan dan mematuhi kita, kalau nilai rapor mereka bagus, kalau mereka berhemat dengan uang yang kita beri, atau kebaikan-kebaikan lain sesuai harapan kita. Perasaan gagal memenuhi harapan kita bisa jadi justru membuat mereka berlari semakin jauh, merasa tidak sebaik yang seharusnya, lalu merasa tidak memenuhi syarat untuk bisa dicintai. Dalam suasana ini, bisa dimengerti bila si bungsu di kisah tadi, akan menganggap kepindahannya ke rumah nenek adalah sebuah sanksi yang harus ia jalani karena kegagalannya itu.
Selain perlu mendapatkan pengawasan lebih ketat, perlu menghentikan aktivitas game on line-nya, dan perlu memperbaiki prestasi belajarnya, bukankah lebih perlu lagi ia mengalami perasaan dicintai oleh Ayah Ibunya? Keterbatasan kehadiran kita baginya secara fisik sama sekali bukan hambatan untuk menunjukkan cinta itu.
Bagaimana bila telpon Ibu dari kantor bukan untuk mengingatkan tugas belajarnya melainkan untuk menyampaikan bahwa Ibu merindukan dia hari itu? bahwa Ibu sangat menyayanginya dan akan pulang membawa makanan kesukaannya ? Bagaimana bila Ayah menyatakan keingintahuan akan game on line, dan memintanya memperkenalkan itu dengan bermain bersama malam hari sesudah semua PR selesai ia kerjakan ? Untuk itu, bagaimana bila Ayah dan Ibu justru mengungkap rencana memperbaiki laptop di rumah, dan menyatakan padanya kepercayaan Ayah dan Ibu bahwa ia akan berlatih mengendalikan diri?
Mungkin pada awalnya akan tampak janggal dan memunculkan keraguan padanya, namun bila Ayah dan Ibu konsisten, ia akan membangun kembali keyakinannya akan cinta kita baginya. Pengalaman dicintai akan menumbuhkan padanya gerak mencintai yang serupa. Ia akan terdorong untuk belajar memenuhi harapan Ayah dan Ibu, orang – orang yang mencintainya, yang ia cintai.
Andai kemudian ia tampak masih mengalami kesulitan dalam mengendalikan diri, (dalam kesendiriannya di rumah, kesadaran akan tanggung jawab belajarnya hampir selalu kalah oleh dorongan bermain), bisa kita tanyakan padanya bantuan apa yang ia kehendaki dari kita. Didampingi oleh Nenek di daerah bisa menjadi salah satu alternatif yang dimunculkan. Dengan proses ini, berpindah ke rumah nenek akan ia lihat sebagai tawaran bantuan, bukan sebagai pemberian sanksi atau tindakan mengabaikan.
Sesungguhnyalah proses ini memerlukan waktu, memerlukan kesabaran. Cinta yang kita punya untuknya akan membuat kita mampu melakukannya. Percayalah, Ayah, Ibu . . . cinta mungkin tidak bergerak secara efisien, tetapi pasti efektif. (Oleh: Josybahi / Foto: ributrukun.com)
[…] Baca Juga : Menjadi Orang Tua Sepenuhnya Untuk Remaja Kita […]
[…] Baca Juga: Menjadi Orang Tua Sepenuhnya untuk Remaja Kita […]