Depoedu.com-Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5/11/2024, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sudah mengalami penurunan. Data yang dilansir oleh BPS tersebut menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terbuka sebesar 4,91 persen atau sebesar 7,47 juta orang.
Ini sudah mengalami penurunan, jika dibandingkan dengan data tahun 2023 yakni sebesar 5,32 persen atau sebesar 7,86 juta orang. Namun jumlah ini jika dibandingkan data tahun 2019, angka pengangguran terbuka tahun tersebut masih lebih rendah yakni 7,10 juta orang.
Jika dirinci menurut jenjang pendidikan yang ditamatkan, maka lulusan SMK yang memang disiapkan untuk langsung bekerja justru menduduki peringkat tertinggi yakni sebesar 9,01 persen. Peringkat berikutnya diduduki oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni sebesar 7,05 persen.
Urutan di bawahnya diduduki oleh lulusan sekolah vokasi atau diploma I/II/III yakni sebesar 4,84 persen. Dan urutan di bawahnya lagi ditempati oleh lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), alias SMP lebih kompetitif, yakni 4,11 persen.
Data ini menunjukkan bahwa lulusan lulusan SMK ternyata kalah kompetitif jika dibandingkan dengan lulusan SMA, bahkan lulusan SMP. Lulusan SMK malah menjadi penyumbang tertinggi angka pengangguran di Indonesia. Ada apa dengan data ini?
Baca juga : Mendikdikdasmen Paparkan 6 Program Prioritas Kemendikdasmen dalam Raker dengan Komisi X
SMK yang memang disiapkan untuk langsung bekerja setelah lulus malah kalah bersaing dengan lulusan SMA maupun lulusan SMP. Data ini harus menjadi perhatian Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan para pengelola SMK di Indonesia, termasuk Kepala SMK.
Kenapa lulusan SMK Menganggur?
Menurut Ida Fauziyah, mantan Menteri Tenaga Kerja, keadaan ini terkait dengan fenomena mismatch dalam pengembangan pendidikan vokasi di Indonesia. Menurut Ida, masih terjadi mismatch dalam proses pendidikan vokasi. Oleh karena itu output-nya belum berkesesuaian dengan kebutuhan pasar kerja.
Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi ini, kata Ida, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 68 tahun 2022 tentang revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi yang bertujuan mendorong lembaga pendidikan vokasi menjawab kebutuhan dunia usaha dan industri.
“Hal ini perlu didorong karena selama ini memang jaka sembung. Dilatih, dididik apa kemudian kebutuhan pasar kerjanya seperti apa. Tidak nyambung,” kata Ida seperti dikutip oleh Kompas.com.
Menurut Ida, problem ini mestinya dihadapi bersama, antara Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Pendidikan. Namun dalam kenyataannya sinergitas itu sulit terwujud di antara lembaga-lembaga terkait tersebut.
Baca juga : Inovasi Pembelajaran Berbasis AI dan Pendekatan Individual Pendidikan dan Pengajaran
Di samping masalah mismatch antara proses pendidikan dan kebutuhan pasar kerja, dan problem sinergitas antara Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Pendidikan, menurut Darwanto, dari Asosiasi Pengusaha Indonesia, ada masalah lain yang perlu menjadi perhatian semua pihak.
Dalam merekrut tenaga kerja, pemberi kerja selalu mencari pekerja yang paling kompeten. Menurut Dewanto, terdapat tiga komponen penting yang harus dikuasai calon tenaga kerja yakni harus memiliki skill, pengetahuan dan attitude yang baik.
Sayangnya menurut Dewanto, pada umumnya penyelenggara pendidikan vokasi terlalu berfokus pada pembentukan keterampilan calon tenaga kerja. Mereka kurang memberi perhatian pada penguasaan pengetahuan dan pembentukan sikap.
Mudah-mudahan problem penting ini menjadi perhatian Kemendikdasmen yang menangani Pendidikan vokasi di SMK dan Kementerian Pendidikan Tinggi yang menangani program vokasi di Perguruan Tinggi untuk membenahi ini agar lulusan kita lebih siap memasuki dunia kerja dan tidak menganggur.
Foto: Disway