Depoedu.com-Praktik pengajaran di sekolah, di banyak negara, termasuk Indonesia, dalam jangka waktu yang cukup lama, kira-kira lebih dari dua dekade, hanya merupakan upaya membekali murid dengan sejumlah pengetahuan.
Dalam pengajaran pada periode tersebut, para guru berpedoman pada tujuan instruksional berdasarkan kurikulum yang berlaku, menyiapkan sejumlah informasi dan memberikan kepada murid, tanpa murid harus melakukan serangkaian proses berpikir.
Oleh karena itu, potensi murid yang paling sering dilatih adalah kemampuan mendengarkan. Murid harus mencatat informasi yang disampaikan oleh guru dalam pengajaran, padahal informasi tersebut sudah ada dalam buku pegangan, yang juga dimiliki oleh para murid.
Pengetahuan yang diberikan oleh guru tersebut, pada saat yang lalu merupakan hasil dari upaya menjawab pertanyaan yang muncul dan menggugah rasa ingin tahu para ilmuwan. Sedangkan yang dilakukan oleh murid dalam proses belajar mengajar tersebut adalah hanya menyerap pengetahuan.
Bahkan dalam proses pengajaran tersebut, jika ada murid yang mengajukan pertanyaan, jika pertanyaannya mudah dijawab oleh guru, banyak guru dengan gampang menolak menjawab pertanyaan, misalnya, dengan mengatakan, “pertanyaan seperti begitu saja ditanyakan.”
Atau, jika pertanyaannya sulit dijawab, entah karena tidak siap dengan jawaban, atau tidak dapat menjawab, banyak guru memarahi murid yang mengajukan pertanyaan tersebut. Bahkan murid tersebut dianggap merongrong kewibawaan guru.
Baca juga : Pendidikan Bermutu Dapat Menghantar Masyarakat Melakukan Mobilitas Sosial
Ketika datang saatnya evaluasi di akhir proses belajar mengajar, yang dievaluasi guru adalah ingatan murid akan pengetahuan yang diajarkan oleh guru tersebut di kelas. Jawaban yang benar adalah jawaban yang sesuai dengan apa yang disampaikan guru dalam pengajaran.
Sistem evaluasi tersebut berlangsung hingga ujian akhir, di mana nilainya digunakan untuk menentukan kelulusan, menentukan rekrutmen masuk sekolah pada jenjang berikutnya. Bahkan nilai tersebut digunakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat untuk menentukan mutu sekolah.
Maka sekolah-sekolah melakukan drilling untuk mengupayakan nilai tinggi dalam ujian nasional. Drilling adalah latihan untuk menjawab pertanyaan. Jika para murid telah berhasil memperoleh nilai tinggi, Kepala Sekolah dan guru merasa telah mencapai tingkat pengembangan yang paripurna.
Dan seluruh pengajaran kita adalah upaya untuk menjawab pertanyaan. Bahkan para kepala sekolah dan guru serta seluruh stakeholder pendidikan merasa berada di jalur pengembangan pendidikan dan pengajaran yang benar.
Praktik inilah yang membuat Indonesia bertahun-tahun bahkan hingga sekarang, memperoleh hasil buruk dalam tes kemampuan akademik murid internasional, seperti tes PISA, dalam hal literasi, matematika dan sains.
Pengajaran harusnya untuk melatih murid mengajukan pertanyaan
Pendidikan dan pengajaran di sekolah harusnya mengemban tugas untuk menumbuhkan ingin tahu murid, mengkondisi murid untuk berpikir, menyadari masalah, merumuskan pertanyaan dan pengembangan kreativitas. Proses belajar harusnya dimulai dari sini.
Baca juga :“Membangun Karakter dengan Menumbuhkan Kepedulian Terhadap Lingkungan”
Dari sini murid melakukan proses lain seperti mengumpulkan data dan informasi, menganalisa data, menarik kesimpulan, mengkomunikasikan dan mempertanggungjawabkan kesimpulannya. Sejak dari proses mencari data, murid sudah terkondisi untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
Di sinilah keterampilan berpikir, kreativitas, keterampilan sosial seperti kemampuan komunikasi terlatih. Karena keterampilan-keterampilan ini sangat dibutuhkan oleh para murid untuk menyiapkan mereka menyongsong masa depan mereka.
Tidak hanya itu, perkembangan ilmu pengetahuan selalu dimulai dari kecerdasan manusia untuk menyadari masalah di sekitarnya dan merumuskan pertanyaan terkait permasalahan tersebut. Peradaban manusia dan teknologi yang memudahkan hidup manusia dimulai dari sini.
Oleh karena itu, pengajaran di sekolah seharusnya sedini mungkin menjadi sarana bagi para murid untuk menghidupkan ingin tahu, membantu para murid untuk menyadari masalah, sarana untuk belajar merumuskan pertanyaan dan upaya memecahkan masalah, bahkan melatih kemampuan berinovasi.
Mudah-mudahan landasan yang diletakkan oleh Nadiem Makarim melalui Kurikulum Merdeka, yang mengusung pembelajaran berbasis pendekatan konstruktivisme, menghapus ujian nasional dari sistem evaluasi, yang kompatibel dengan gagasan ini, dilanjutkan oleh menteri pendidikan, pilihan presiden terpilih.
Foto: Kompasiana.com