Depoedu.com-Hari-hari ini laman media social kita, dibanjiri oleh begitu banyak orang dengan berbagai macam narasi yang mencoba menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi Flores Timur, baru-baru ini.
Saya kemudian menanggapi apa yang dilakukan netizen kita itu dengan membuat postingan di media sosial yang bisa dijangkau, mencoba untuk mengingatkan banyak orang agar peristiwa itu tidak lagi di bagikan ke media social.
Ternyata tanggapan atas postingan tersebut luar biasa. Banyak yang beranggapan bahwa menjadikan peristiwa itu viral agar pemerintah segera menanggapi itu. Ada pula yang mengatakan bahwa peristiwa itu dikabarkan agar siapa saja yang berkepentingan mengetahuinya, akhir menjadi tahu dan turut mendoakan.
Ada pula yang menayangkannya dengan himbauan agar untuk sementara masyarakat pengguna jalan, dapat menghindari sementara ruas jalan yang melewati tempat kejadian.
Ada pula yang membenarkan berbagai macam tayangan itu dengan meminjam tayangan di media lain atau meminjam televisi sebagai tameng. Katanya banyak tayangan kekerasan juga disiarkan di tv jadi di media social tidak masalah.
Namun semua alasan pembenaran ini tidak cukup – menurut saya pribadi – dari sisi etika bermedia sosial.
Saya akhirnya mencoba berdamai dengan diri sendiri bahwa, menjelaskan himbauan agar tidak terus diposting ke media sosial bukan sebuah persoalan yang mudah. Barangkali ini juga sebuah proses bahwa merasionalisasikan himbauan ini butuh energi yang besar.
Saya menyadari persis bahwa upaya ini pasti memerlukan energi yang besar karena merubah pola pikir, dan berusaha menggeser sudut pandang orang lain terhadap sesuatu, itu bukan barang instan.
Media Sebagai Pembentuk Makna
Kita sama-sama tahu, bahwa media sosial bisa dikatakan sebagai alat untuk membentuk makna. Dalam kategori ini, sebuah peristiwa yang ada di media massa bersifat netral.
Ketika peristiwa ini dihantar oleh media ke masyarakat luas, peristiwa yang sebelumnya bisa saja netral ini, akan dimaknai oleh orang-orang secara berbeda. Maka peristiwa tadi kehilangan netralitasnya.
Baca juga : Gelar Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila: Mewujudkan Persaudaraan Sejati
Persepsi yang berbeda, sudut pandang yang berbeda, akan membentuk makna yang berbeda pula atas peristiwa tersebut.
Saya memahami alasan bahwa, seharusnya tidak apa-apa, sebab yang dibagikan tidak secara langsung menayangkan ‘korban’. Saya memahami alasan ini karena kembali lagi, bahwa ini soal sudut pandang.
Dalam perspektif saya yang ditayangkan itu tidak harus korban jiwa, karena yang ditayangkan oleh banyak orang itu adalah korban itu sendiri.
Dalam banyak peristiwa kekerasan di Adonara, saya selalu melihatnya dari perspektif korban. Dan saya menyadari bahwa konsekuensi dari sebuah peristiwa kekerasan bahkan jika sebuah peristiwa biasa yang kemudian diasosiasikan sebagai peristiwa kekerasan pun, kita harus menggunakan perspektif korban sebagai pendekatan untuk memaknai peristiwa tersebut.
Harus disadari sesadar sadarnya bahwa, sebuah peristiwa bahkan jika diasosiasikan sebagai sebuah peristiwa kekerasan, apalagi peristiwa yang banar- benar merupakan peristiwa kekerasan pasti mendatangkan konsekuensi psikologis yang tidak ringan bagi korban.
Efek psikologis terhadap korban inilah yang seharusnya menjadi pintu masuk bagi kita untuk secara etis tidak lagi menjadikan sebuah peristiwa tersebut sebagai konten media sosial yang kemudian dibagikan berkali-kali oleh banyak orang.
Tujuan baik untuk mewartakan, mengajak orang untuk mendoakan, mencari perhatian pemerintah, atau pembenaran diri lainnya, tentu tidak cukup, berdasarkan etika, dari sudut pandang korban.
Standar Moral dan Etika Kita Tidak Sama
Tidak mudah menjelaskan sisi etis ini. Pertama, karena setiap orang tidak memiliki standar moral dan etika yang sama. Sebuah peristiwa bisa dianggap sebagai sebuah peristiwa etika oleh seseorang, pada saat yang sama orang lain bisa saja melihatnya sebagai peristiwa biasa.
Standar etika kita masing-masing tentu dipengaruhi oleh banyak hal. Yang paling dominan adalah pendidikan nilai dan lingkungan tempat kita tumbuh besar tentu menjadikan kita memiliki standar etika tertentu dalam melihat peristiwa.
Sementara itu, media social kita hari ini, menjadi lingkungan yang senyata-nyatanya kita tinggali. Media social telah menjadi tempat tumbuh kembang, tempat belajar, sekaligus tempat dimana sebuah peristiwa tidak lagi menjadi peristiwa netral.
Tanggapan sesame pengguna media social, disadari atau tidak telah mempengaruhi sedemikian rupa cara kita memandang sebuah peristiwa.
Baca juga : Visitasi dan Monitoring Pengurus Yayasan Tarakanita ke Tarakanita Wilayah Bengkulu
Dunia maya, sudah demikian nyata kita hidup. Dunia maya sudah senyata-nyatanya mempengaruhi pola pikir, bahkan standar moral kita.
Orang Berpotensi Memproduksi Tindakan Yang Sama
Peristiwa peristiwa kekerasan yang ditayangkan bisa diakses oleh semua orang tanpa kecuali. Selama ia terhubung dengan internet ia bisa mengakses semua hal tersebut. Sayangnya, tidak semua kita memiliki filter yang pas untuk menyaring dan menyeleksi tayangan-tayangan di media social.
Peristiwa yang ditayangkan yang kemudian diasosiasikan sebagai peristiwa kekerasan bisa saja menjadi sebuah peristiwa biasa ketika mereka yang mengakses peristiwa tersebut tidak mempunyai standar filter tertentu yang melihat peristiwa itu sebagai sesuatu yang luar biasa.
Terutama pada anak-anak. Menayangkan peristiwa kekerasan di media sosial berpotensi akan diakses oleh anak. Dengan filter yang belum memadai, bisa saja peristiwa ini diterima sebagai sebuah peristiwa biasa.
Anak-anak yang belum memiliki filter ini bisa mereproduksinya kembali seolah-olah tindakan-tindakan kekerasan itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Tentu hal yang seperti ini menjadi sebuah konsekuensi yang paling menakutkan.
Stop Posting Untuk Melokalisir Peristiwa
Saya cukup kaget ketika mendapati pertanyaan melalui WA dari keluarga besar istri saya dari daerah Srandakan – Bantul – Yogyakarta yang menanyakan peristiwa ini. Ini adalah gambaran bahwa media social kita telah membebaskan batas-batas ruang peristiwa.
Sekali di posting, tidak hanya menembus batas-batas wilayah, namun jejak digital yang demikian ini pun bisa saja menjadi abadi, ketika tidak ada upaya sengaja untuk menghapusnya.
Melokalisir peristiwa tidak semata-mata persoalan ruang lokus kejadian peristiwa. Himbauan agar tidak lagi diposting di media social juga adalah cara kita melokalisir waktu peristiwa, agar tidak lagi melintasi waktu yang kemudian berpotensi kembali melukai psikologi para korban.
Mari kita sama-sama mendoakan agar peristiwa yang terjadi ini segera menemukan jalan yang paling mendamaikan semua pihak.
Semoga kita bisa menjadikan momen ini untuk mendidik diri sendiri bahwa tidak semua hal harus menjadi konten media sosial. Sekaligus berkomitmen agar demi alasan-alasan etis, peristiwa kekerasan, isu-isu SARA, Hoax, dan lainnya yang berpotensi melukai orang lain hanya berhenti di tangan kita saja.
Foto: Pelita karawang
Tulisan ini pernah tayang di eposdigi.com, ditayangkan kembali dengan seizin penulis.