Depoedu.com-Sepekan yang lalu, mulai Selasa, 8 Oktober 2024 hingga Sabtu, 12 Oktober 2024, Flores Writers Festival (FWF) digelar untuk kali yang keempat sejak pertama kali festival ini diadakan di Ruteng, tahun 2021 yang lalu. Tahun ini, FWF dihelat di Larantuka, Flores Timur, dengan mengusung tema Pana Beto (terj. pergi dan pulang).
Sebagai seorang suku Lamaholot, yang juga menikah dengan seorang Lamaholot, namun sejak lahir hingga hari ini, merantau dan pulang tak pernah menjadi dilema, saya merasa perhelatan FWF kali ini seperti rumah.
Kerangka kuratorial untuk FWF tahun ini yang disusun dengan cermat dan tajam oleh Maria Pankratia, AN Wibisana dan Silvester Hurit, dengan jelas menerjemahkan Pana Beto sebagai sebuah subyek; pengelana, yang menjadi pelakon sosial, yang menggerakkan dan digerakkan, serta mampu memaknai seluruh perjalanan selama pengelanaan.
Tim kurator pun menawarkan beberapa pertanyaan penting seperti karakter atau watak seorang pengelana yang dipakai untuk melihat dan memaknai perjalanan ke dalam dan ke luar konteks sosial tertentu, juga bagaimana seorang pengelana, perantau, menegosiasi nilai-nilai yang telah ia bawa dengan nilai-nilai di tempat rantauan.
Dalam kurang lebih sepekan, saya menyaksikan bagaimana FWF 2024 secara halus menoyor perantau dari Flores yang mungkin belum atau sedang berpikir untuk pulang namun masih ragu-ragu. Sekaligus, melalui rangkaian kelas publik dan forum-forum diskusinya, FWF mengajak kami yang sudah memutuskan pulang setelah merantau, untuk berpikir tentang apa-apa yang bisa dibuat, menavigasikan visi misi dalam kerja-kerja kolaboratif, dan membangunkan jejaring dengan cara keluar dari zona nyaman.
Baca juga : Rawat Budaya, SMA Santo Carolus Surabaya Iringi Misa dengan Gamelan
Secara keseluruhan, ada 6 kelas publik dan 4 telusur kota/kampung yang dilaksanakan selama festival ini. Para narasumber yang mengisi setiap kelas publik, FWF mengundang dan mendatangkan Eka Kurniawan (penulis), Mario F. Lawi (penulis), Yudi Ahmad Tajudin (Sutradara), Dr. Hans Monteiro (Dosen), Shinta Febriany (Penulis & Sutradara), Mona Sylviana (Penulis), Armin Bell (Penulis), Margareth Ratih, Silvy Chipy, dan Rezky Chiki dari Sekolah Pemikiran Perempuan, dan Dr. Bastian Lamahekin (Dosen).
Dalam kelas-kelas publik dan telusur kota/kampung, tema-tema seperti penciptaan karya berbasis kolektif, perjuangan menjalankan tobat ekologis, serta strategi menavigasi aspek estetika dan politik ketika memilah bahan bacaan, dibahas (tak) tuntas, membuat semua peserta yang terlibat berpikir, mengkritisi dan memaknai kembali seluruh perjalanan melalui sastra di konteks masing-masing.
Tak hanya itu, FWF tahun ini juga membuat forum bengkel kepenulisan bagi 10 partisipan dari lingkup Nusa Tenggara Timur yang terbagi menjadi masterclass untuk puisi dan untuk cerpen sebagai salah satu program utamannya. Bahkan secara istimewa, di hari kedua perhelatan FWF tahun ini juga dilaksanakan peluncuran novel Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong Eka Kurniawan dan buku Kumpulan Cerpen Keluarga Oriente Armin Bell.
Program-program dan kegiatan ini bagi saya, dan bisa jadi bagi partisipan lainnya, merupakan sebuah pengalaman yang mengajak saya berpikir, berefleksi, mengkritisi karya dan proses penciptaan sendiri, namun juga sekaligus melihat lagi ke belakang, menguji lagi, apa alasan saya pulang dan bagaimana saya telah pulang.
Di antara cukup banyak program sepanjang pekan, ada sebuat platform yang diinisiasi sebagai bentuk kerjasama Flores Writers Festival dengan Pekan Kebudayaan Nasional, yakni platform Temu Inisiatif Bali-Nusra yang menghadirkan 12 komunitas di Bali-Nusra yang dikurasi, yakni Komunitas Sastra Dusun Flobamora (Kupang-NTT), Komunitas KAHE (Maumere-NTT), Komunitas Mahima (Singaraja-Bali), Komunitas Adat Rafao (TTU-NTT), Remaja Mandiri Community (Detusoko, Ende-NTT), Pasir Putih (Lombok-NTB), Klub Buku Petra (Ruteng-NTT), Tena Pulo (Lembata-NTT), Ana Humba Community (Sumba-NTT), Langit Jingga Films (Lembata-NTT), Fajar Sikka (Maumere-NTT), dan Titik Kumpul (Flores Timur-NTT).
Baca juga : Tradisi Doa Rosario di SD Santo Yosef Tarakanita Surabaya
Platform ini secara khusus mendorong setiap komunitas yang berpartisipasi untuk saling berbagi pengalaman tentang pengelolaan komunitas, visi-misi, juga saling berbagi semangat dan menjalin kerjasama dalam satu visi, yakni meningkatkan kesadaran masyarakat Bali-Nusra untuk merawat dan di saat yang sama juga mengkaji kebudayaan di masing-masing tempat.
Platform ini memberikan kesempatan bagi semua komunitas yang diundang ini untuk bertemu dalam forum selama festival berlangsung. Luarannya adalah sekumpulan ide, gagasan, yang datang dari hasil berbagi dan rembug bersama tiap komunitas dan rencana kerjasama antar komunitas dalam konteks kebudayaan di wilayah masing-masing di lingkup Bali-Nusra.
Melalui platform inilah saya menjadi sadar, bagaimana kerja komunitas baik sastra maupun apa saja, yang menyuarakan sesungguhnya mampu bersuara paling lantang dan membuat aksi paling nyata, namun di saat yang sama menuntut paling banyak.
Dalam perjalanan pulang ke Maumere, setelah festival ini berakhir, saya merenung. Ternyata, seorang perantau yang menghadiri festival seperti ini dan mengambil bagian di dalamnya, bukan hanya untuk bertemu orang hebat dan pemikiran-pemikirannya. Tetapi justru juga sampai pada momen-momen digerakkan dan tergerak, serta (semoga) kelak mampu menggerakkan lebih banyak orang di lebih banyak konteks.
Banyak terima kasih, Flores Writers Festival. Semoga jumpa lagi tahun depan!