Depoedu.com-Dalam sebuah tulisannya yang tayang di media ini beberapa hari lalu, Kepala Perwakilan Ombudsman NTT Darius Beda Daton memaparkan bahwa tata kelola dana desa masih akrab dengan korupsi. Bahkan tren korupsi dana desa cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
“Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak tahun 2015-2020 sebanyak 676 terdakwa kasus korupsi berasal dari perangkat desa. Semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi. Dari segi pelaku, kepala desa adalah yang terbanyak menjadi pelaku korupsi,” tulis Beda Daton.
Darius Beda Daton kemudian mengidentifikasi bahwa penyebab korupsi dana desa adalah karena minimnya kompetensi aparat desa, tidak adanya transparansi dan kurangnya pengawasan pemerintah dan masyarakat serta adanya intervensi atasan dalam pelaksanaan kegiatan fisik yang tak sesuai perencanaan.
Senada dengan Darius Beda Daton, Pastor Yohanes Kopong Tuan MSF dalam sebuah diskusi di salah satu group WA mengatakan bahwa pendidikan politiklah yang menjadi salah satu tolak ukur hadirnya aparat desa yang kompeten.
Aparat desa yang kompeten pasti dipilih dari para pemilih yang terdidik secara politik. Para pemilih yang terdidik pasti mencari figur terbaik diantara para orang-orang baik calon pemimpin publik.
Maka pemimpin yang lahir dari pemilih yang memahami dengan bak politik, pasti sudah terseleksi, dengan pertimbangan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan, dan sistem meritokrasi ini tentu melahirkan pemimpin yang tahu dengan persis apa yang harus ia lakukan.
Baca juga : Maju Bersama Mewujudkan Generasi Z Berkompetensi Dan Berkarakter
Hal lainnya adalah masyarakat yang terdidik secara politik pasti memiliki kepekaan atas jalannya roda pemerintahan desa, sehingga tepat mengidentifikasi potensi kecurangan, sekaligus bisa mengawasi secara ketat penggunaan semua dana pembangunan desa.
Sedangkan pemimpin desa yang terdidik baik, tentu setia pada masyarakat desa pemilihnya. Ia tentu tidak mau dimanfaatkan untuk kepentingan politik, oleh para politisi di tingkatan di atasnya.
Jika seorang pemimpin desa memahami dengan baik akan apa yang ia lakukan dan mendorong kemajuan bagi desanya, maka secara politis ia pasti akan mendapat dukungan dari masyarakat di desanya untuk bisa mengakses jalur politik pada tingkatan yang lebih tinggi.
Lantas bagaimana cara mendorong tingkat melek politik yang lebih baik di desa-desa?
Pertama, Melalui pendidikan formal. Kurikulum sekolah kita harus lebih familiar dengan politik. Walaupun anak-anak usia sekolah wajib jauh dari setiap kegiatan praktis pemilu, namun mereka tetap harus dikenalkan dengan dunia politik.
Terutama pada dunia politik kontekstual, yaitu politik yang terjadi atau jenjang politik tingkat paling dasar. Jika di RT tempat tinggalnya ada pemilihan ketua RT secara demokratis maka proses ini sedapat mungkin menjadi proyek pembelajaran yang menarik bagi siswa.
Baca juga : Bagaimana Guru Matematika Singapura, Sukses Mengajar Mata Pelajaran Matematika?
Memperkenalkan proses-proses politik untuk melahirkan calon pemimpin yang demokratis, bukan pada bagaimana sebuah kerja politik dilakukan untuk memenangkan seorang calon, melaikan membuat sebuah panduan yang lengkap akan tugas dan tanggung jawab warga masyarakat dan calon pemimpin.
Memulai dari bangku sekolah dan dilakukan selama usia belajar seseorang agar ketika ia sudah cukup umur ia terlibat dalam politik praktis, ia sudah sangat tahu hak dan kewajiban politiknya.
Tidak hanya soal bagaimana mereka menjalankan hak-hak politiknya dengan baik, pendidikan politik dalam sekolah-sekolah formal tentu melahirkan para politisi yang diharapkan berperilaku baik, penuh integritas dan tahu bagaimana menjalankan amanah kepemimpinannya dengan baik.
Kedua, Desa secara berkala dan intens melakukan pendidikan politik. Tidak cukup di dalam kelas. Desa harus secara sengaja membangun program untuk pendidikan politik bagi semua warga masyarakatnya
Ukuran keberhasilan pendidikan politik adalah ketika masyarakat luas di desa memahami betul akan hak dan kewajibannya dalam berpolitik.
Masyarakat yang terdidik secara politik, akan menolak imbal jasa dalam bentuk apapun sebagai bentuk transaksi dagang dalam pemilu. Ia pasti menolak dengan tegas “serangan fajar”.
Masyarakat yang berpendidikan politik baik pasti akan terlibat aktif dalam berbagai hajatan politik di desanya. Tingkat partisipasi yang tinggi ini akan sangat membantu para dalam mengawasi setiap deru pembangunan desa.
Ketiga, perlu para tokoh masyarakat di desa sebagai contoh politik yang sehat. Entah ketokohannya datang karena ia pengurus RT atau RW, aparatur desa, pemimpin kultural lokal, tokoh agama, atau tokoh masyarakat lainnya menjadi agen yang mempromosikan politik sehat.
Suri teladan yang diberikan oleh para tokoh masyarakat ini menjadi patokan bagi anak-anak usia sekolah untuk melihat dan belajar dari para tokoh ini mengenai praktik politik sehat.
Dana Desa dikorupsi karena masyarakat sengaja tidak diberi akses informasi yang memadai mengenai perencanaan dan realisasi penggunaan anggaran pembangunan desa. Keterbatasan informasi inilah yang berpotensi menghadirkan perilaku-perilaku korup para aparatur desa.
Tidak hanya mencegah korupsi dana desa, masyarakat yang terdidik dalam politik dapat menghindarkan desa terutama para aparaturnya dari tarik kepentingan politik para politisi baik lokal maupun nasional.
Benar ada kata-kata bijak “Pemimpin hebat selalu datang dari para pemilih hebat.” Dan menjadikan para pemilih hebat, merupakan tugas dan tanggung jawab kita bersama.
Foto: ICW
Tulisan ini pernah tayang di eposdigi.com, ditayangkan kembali atas izin penulis.