Pengantar:Tulisan yang sedang Eduers baca adalah bagian dari naskah pidato yang disampaikan oleh Jovanka Kezia Nathania murid kelas XI SMA Candle Tree yangmenjadi inpektur upacara pada upacara bendera memperingati Sumpah Pemuda. Silakan membaca dan menilai isi Pidatonya.
Depoedu.com-93 tahun yang lalu, tepatnya 28 Oktober 1928 para pemuda berani bersumpah untuk bersatu. Bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, Bahasa Indonesia.
Pada waktu itu, para pemuda menyadari bahwa penjajahan di bumi Indonesia yang sudah terjadi berabad-abad lamanya telah membawa penderitaan untuk semua rakyatnya. Mereka tidak mau terus dijajah. Dengan semangat kebangkitan, mereka berjuang melawan penjajah.
Namun, perjuangan mereka pada saat itu masih bersifat kedaerahan, mereka masih berjuang sendiri-sendiri. Para pemuda menyadari bahwa untuk menang terhadap penjajah, untuk bisa mengusir para penjajah dari tanah air kita, kita semua harus bersatu.
Bagaimana mungkin kaum muda waktu itu bisa bersatu, sementara negri ini terdiri dari 17.000 pulau? Bagaimana mungkin mereka mengaku sebagai satu tanah air di wilayah seluas ini, tanpa mengetahui batas yang jelas pada waktu itu.
Bagaimana mungkin para pemuda bersatu, mengaku sebagai satu bangsa, di negeri yang terdiri dari 1.340 suku? Bagaimana mungkin para pemuda bersatu dan mengakui satu bahasa, sementara di negeri ini kita memiliki 718 bahasa daerah?
Bisa dibayangkan bahwa pada waktu itu para pemuda tidak mengenal satu sama lain, mereka tidak mengenal pulau, suku, dan bahasa lain. Pertanyaannya, mengapa para pemuda itu bisa bersatu? Karena mereka merasa senasib dan sepenanggungan, merasa sama-sama menderita karena penjajahan.
Mereka memiliki tujuan yang sama yaitu mau merdeka, dan mereka mau berjuang mencapai tujuan itu. Mereka bisa mengesampingkan sifat kedaerahan dan kepentingan kesukuan, mengedepankan nasionalisme dan kebangsaan. Mereka mengutamakan semangat persatuan dan kesatuan. Itulah yang membuat mereka bisa merebut kemerdekaan.
Baca Juga : Siapa Sebenarnya Tokoh Pengusul Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Persatuan?
Pada peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta, 28 Oktober 1963 lalu, Bung Karno mengatakan, “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tetapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang kini sudah satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, tapi ini bukan tujuan akhir.”
Untuk itu, Peringatan Hari Sumpah Pemuda ini justru mengingatkan kita bahwa perjuangan kita—khususnya generasi muda—belum usai. Indonesia memang sudah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, tetapi masih banyak hal lain yang harus kita perjuangkan.
Saya meyakini bahwa “lawan” yang kita hadapi saat ini bukanlah penjajah asing seperti dahulu, melainkan diri kita sendiri. Kita memang tidak diminta untuk angkat senjata atau maju ke medan perang, tetapi tentang bagaimana kita bisa memerangi diri kita sendiri, ego kita sendiri, bahkan memerangi kemiskinan, kebodohan dan kemalasan.
Kini setelah merdeka 76 tahun dan setelah 93 tahun merayakan hari Sumpah Pemuda apakah semangat persatuan masih terasa? Apakah semangat Sumpah Pemuda masih harus kita praktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Ya, semangat persatuan dan kesatuan itulah yang menjadi kekuatan kita untuk mempertahankan kemerdekaan dan membangun negara kita. Kita memang sudah mempertahankan kemerdekaan kita, tetapi kita belum sepenuhnya merdeka. Ya, kita memang sudah membangun negeri ini tetapi hasilnya belum bisa dirasakan oleh semua rakyat.
Kalau mau jujur, sebenarnya masih banyak ancaman untuk persatuan dan kesatuan bangsa, masih banyak ancaman disintegrasi di negeri ini. Ancaman terhadap satu tanah air, misalnya masih ada oknum yang kurang bertanggung jawab yang mencoba mengacaukan keamanan di Papua.
Ada orang yang terus menghembuskan propaganda tentang diskriminasi dan ketidakadilan, sehingga sampai sekarang masih saja ada konflik bersenjata yang terus terjadi.
Baca Juga : Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia Secara Virtual Yang Bermakna
Kemudian, berdasarkan riset yang dipublikasikan di Bulletin of Indonesian Economic Studies, tingkat diskriminasi Indonesia cukup tinggi. Di media sosial, ada lebih dari 800.000 situs penyebar hoax berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sejak 2018, Kemenkominfo juga telah menangani 3.640 konten ujaran kebencian berbau SARA di media sosial.
Bahkan, berdasarkan data pada 23 Februari sampai 12 April 2021, sebanyak 329 pengguna media sosial terjaring polisi virtual akibat menyebarkan ujaran kebencian berbau SARA.
Selain ancaman persatuan, masih ada juga ancaman kebangsaan, seperti beberapa kelompok radikal yang terpaksa dibubarkan oleh negara karena berupaya merongrong ideologi Pancasila. Meskipun sudah dibubarkan, tetapi paham radikal itu masih tetap tumbuh subur dalam pikiran para pengikutnya, bahkan mungkin terus berkembang.
Untuk ke depannya pun mungkin akan ada ancaman terhadap bahasa persatuan kita bahasa Indonesia. Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi, masyarakat kita dituntut untuk belajar dan menguasai bahasa asing.
Ada begitu banyak penggunaan istilah bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari, yang membuat siswa-siswi sekarang lebih paham istilah dalam bahasa asing daripada Bahasa Indonesia sendiri.
Di bidang ekonomi dan bidang pendidikan bisa saja terjadi ketidakadilan. Muncul adanya gap antara yang kaya dan miskin, gap antara yang berpendidikan dan yang kurang berpendidikan. Cepat atau lambat kalau tidak diatur dengan bijak bisa menjadi ancaman persatuan dan kesatuan.
Badan Pusat Statistik mencatat persentase kemiskinan di Indonesia mencapai 10,14 persen. Bahkan di dunia pendidikan, Indonesia berada di peringkat bawah pada riset-riset pendidikan di bidang matematika, sains, dan membaca.
Baca Juga : Media Sosial Berpengaruh Buruk Terhadap Pengguna ?
Hal-hal seperti itulah yang pada akhirnya akan membuat api Sumpah Pemuda padam jika terus dibiarkan. Inilah warisan abu Sumpah Pemuda yang kita terima sekarang.
Kerap kali, bangsa kita gampang terpecah belah karena hal-hal yang dipicu oleh rendahnya pemahaman terhadap peristiwa tertentu, atau bahkan dengan alasan sekadar ikut-ikutan, tanpa berpikir panjang dampak yang ditimbulkan setelahnya.
Kita sering kali lupa bahwa bangsa dan negara ini dibentuk atas dasar persatuan dan kesatuan, sehingga saat ini kita hidup sesuka hati, tanpa memikirkan keberlangsungan bangsa dan negara ini 30, 50, atau 100 tahun mendatang.
Ditambah lagi, di era yang serba high technology ini, semakin banyak pengaruh negatif yang kita rasakan. Apa yang kita dengar, yang kita baca, yang kita tonton, dan yang kita bicarakan setiap harinya sedikit banyak akan memengaruhi perubahan karakter kita.
Jika sebagai generasi muda di Indonesia kita tidak dibekali dengan mindset, worldview, serta prinsip-prinsip yang benar, maka kita akan sangat mudah untuk diadu domba dan terpecah belah. Kita juga jadi sulit membedakan mana yang baik dan yang buruk, serta sangat berpotensi mengambil keputusan yang salah
Jika kita ingin menjadi generasi muda yang memiliki semangat api Sumpah Pemuda, mari tinggalkan sifat-sifat individualistis, apatis, egosentris, pesimis, dan hal-hal negatif lainnya.
Mari kita gantikan dengan semangat kerja sama yang solid, peduli dan peka bagi mereka yang membutuhkan, dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Ini adalah tugas kita sebagai generasi muda. Jangan lupa teman-teman,Sumpah Pemuda dulu diikrarkan oleh orang-orang muda yang memiliki semangat persatuan.
Baca Juga : Seminar Gerakan Literasi Digital Nasional 2021
Maka sebagai generasi muda Indonesia di zaman ini, sudah menjadi amanat bagi kita untuk meneruskan api semangat Sumpah Pemuda agar Indonesia menjadi negara yang kita idam-idamkan bersama.
Semangat persatuan dan kesatuan bisa kita mulai dari lingkungan terdekat kita, bersama teman-teman di sekolah misalnya, kita belajar untuk membantu teman yang terlihat kesusahan dalam memahami pembelajaran.
Lalu, di lingkungan rumah, kita bisa bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah, menghormati orang tua, dan menyayangi seluruh anggota keluarga. Di lingkungan masyarakat, kita bisa menghargai orang lain tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, atau status sosial mereka.
Selain itu, kita juga bisa melakukan hal-hal positif dan produktif di tengah masa pandemi ini, misalnya dengan menekuni atau mempelajari skills baru, sehingga manfaatnya bisa kita rasakan, baik saat ini maupun masa depan kita. Intinya, kita semua harus mau dan harus menjadi pribadi yang lebih baik dari hari sebelumnya.
Biarlah peringatan Hari Sumpah Pemuda ini membawa refleksi tersendiri bagi kita untuk semakin menumbuhkan semangat persatuan demi kemajuan diri kita, keluarga kita, sekolah kita, bahkan bangsa dan negara kita tercinta, Indonesia. Mari warisi dan kobarkan api semangat Sumpah Pemuda di mana pun kita berada dan dengan siapa pun kita bertemu.
Izinkan saya menutup dengan sebuah pertanyaan. Bersediakah kita untuk mengobarkan api Sumpah Pemuda? Sebab, kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-93, putra-putri kebanggaan bangsa. Ingat, masa depan Indonesia ada di pundak kita. Salam persatuan dan kesatuan. Sekian dan terima kasih, Tuhan Yesus memberkati.
Penulis adalah Murid kelas XI IPA 1, dan Wakil Ketua OSIS SMA Candle Tree