Depoedu.com – Pemerintah Republik Indonesia dewasa ini sangat memerhatikan kesejahteraan guru, oleh karena itu kinerja guru sangat diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu melalui proses belajar mengajar di sekolah. Agar proses belajar mengajar berjalan dengan efektif dan efisien maka seorang guru harus mampu memilih strategi pembelajaran yang tepat untuk materi yang diajarkan. Dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat, diharapkan guru mampu meningkatkan efektivitas pembelajarannya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan efektivitas pembelajarannya adalah dengan menggunakan strategi POE (White & Gunstone, 1992). Strategi POE terdiri atas tiga tahap, yaitu predict (memprediksi), observe (mengamati), dan explain (menjelaskan). Melalui kegiatan predict (memprediksi), siswa diharapkan mengungkap miskonsepsinya. Dengan kegiatan observe (mengamati), diharapkan timbul ketidakpuasan di dalam benak siswa (Posner et al, 1982). Ketidakpuasan terjadi ketika apa yang diamati, berbeda dengan prediksinya (Costu et al, 2012). Melalui kegiatan explain (menjelaskan), kemudian diskusi interaktif, ketidakcocokan prediksi dan hasil pengamatan menciptakan konsep baru (Costu et al, 2012). Agar siswa menerima konsep baru, maka konsep ini mestinya mudah dipahami, masuk akal, dan berguna (Posner et al, 1982).
Apakah strategi Predict-Observe-Explain (POE) dapat menjadi strategi alternatif bagi guru dalam mendesain sebuah pembelajaran? Tulisan ini merupakan kajian teoritis mengenai strategi POE yang kiranya berguna bagi guru.
Pendekatan POE sebagai Strategi Alternatif
Strategi pembelajaran predict-observe-explain (POE) pertama kali diperkenalkan oleh White & Gunstone (1992). Menurut White & Gunstone (1992), strategi POE lahir dari teori konstruktivisme. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa bukanlah bejana kosong yang siap diisi dengan sejumlah pengetahuan. Artinya, siswa telah memiliki sejumlah ide-ide terkait konsep tertentu sebelum masuk ke kelas. Oleh karena itu, pengetahuan sedapat mungkin tidak ditransfer secara langsung dari guru ke siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus menemukan dan membangun pengetahuannya (Kolari &Savander-Ranne, 2004). Agar siswa menemukan dan membangun pengetahuannya maka guru harus aktif mencari cara-cara untuk memahami konsepsi siswa, menyarankan konsepsi alternatif, menstimulasi keheranan diantara para siswa, dan mengembangkan tugas-tugas kelas yang mengarah pada konstruksi pengetahuan (Duckworth, 1986).
Menurut Suparno (1997), secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri, (3) siswa aktif mengonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta, sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus. Oleh sebab itu, siswa perlu diberi kesempatan untuk menguji ide-ide mereka dengan pengetahuan baru (Bilen et al, 2016). Adapun aktivitas-aktivitas pembelajaran konstruktivis meliputi mengamati fenomena-fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan masalah, dan menguji hipotesis-hipotesis, dan bekerja sama dengan orang lain (Schunk, 2012). Sehingga, kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif, dimana siswa sadar dan bertanggungjawab atas proses belajar mereka sendiri dengan memerhatikan bimbingan guru dan kerjasama dengan teman-teman sekelas (Dahar, 2011). Siswa perlu berusaha mengonstruksi kebermaknaan tentang hal yang sedang mereka pelajari. Hal mana sangat dipengaruhi oleh apa yang telah diketahuinya dan interaksinya dengan lingkungannya (Kearney, Treagust, Yeo, & Zadnik, 2001).
Selain bersumber dari teori konstruktivisme, POE juga didasarkan pada model perubahan konseptual yang diusulkan Posner et al (1982).Menurut Posner et al (1982), diperlukan empat kondisi agar siswa dapat membangun konsepsinya menjadi ilmiah, yaitu: (1) ketidakpuasan siswa (dissatisfied) terhadap konsepsi yang telah ada, (2) konsepsi baru harus dapat dimengerti (intelligible), (3) konsepsi baru harus masuk akal (plausible), (4) konsepsi baru harus bermanfaat (fruitful). Pembelajaran yang didasarkan pada model ini memberikan waktu kepada siswa untuk mengidentifikasi konsepsinya yang keliru (Costu, Ayas, Niaz, Ünal & Calik, 2007). Dari empat kondisi tersebut, segi kegunaan atau fruitfulness yang paling menentukan terjadinya konsepsi ilmiah (Dahar, 2011).
Strategi pembelajaran POE sangat berguna untuk menyelidiki pemahaman siswa dan membantu guru mengidentifikasi miskonsepsi siswa (Yin et al, 2008; Bilen et al, 2016). Pembelajaran dengan strategi POE mampu menciptakan konflik di benak siswa dan bermanfaat untuk menghilangkan miskonsepsinya (Costu, 2008; Radovanovic & Slisko, 2013). Menurut Assessment Resource Banks (2007) kelebihan pembelajaran dengan strategi POE, yaitu: (1) dapat digunakan untuk menemukan ide-ide awal siswa, (2) memberikan informasi kepada guru tentang pemikiran siswa, (3) menciptakan diskusi, (4) memotivasi siswa agar memiliki kemauan untuk mengeksplorasi konsep, dan (5) membangkitkan keinginan untuk menyelidiki.
Warsono dan Hariyanto (2012), memberikan asumsi-asumsi dasar yang melandasi implementasi strategi POE. Pertama, jika siswa sejak awal diminta untuk memprediksi apa yang akan terjadi, mereka akan berusaha melakukan observasi dengan cermat. Kedua, dengan menuliskan prediksinya terlebih dahulu, siswa akan termotivasi untuk mengetahui apa jawaban sesungguhnya dari fenomena yang diamati. Ketiga, dengan meminta siswa menjelaskan alasan prediksinya, guru dapat mengetahui kemampuan teoritis siswa. Hal mana bermanfaat untuk mengetahui miskonsepsi siswa yang bersangkutan. Keempat, dengan menjelaskan dan melakukan evaluasi terhadap prediksinya sendiri serta penjelasan temannya, siswa dapat menilai sendiri pembelajarannya dan mengonstruksi makna baru.
Tahap-tahap strategi POE
Predict Pada tahap predict (memprediksi), siswa diminta secara individual atau kelompok untuk membuat dugaan/ perkiraan terhadap suatu fenomena yang akan terjadi. Di sini, siswa menuliskan prediksi mereka tentang apa yang akan terjadi, apa yang siswa pikirkan, dan memikirkan alasan dari prediksi yang dibuatnya (Assessment Resource Banks, 2007). Setelah memberikan prediksi, siswa berdiskusi, berbagi ide, dan mempertimbangkan prediksi dan alasan yang tepat atas fenomena yang diprediksi dalam diskusi kelas. Diskusi yang dilaksanakan ketika membandingkan prediksi satu siswa dengan siswa lain meningkatkan kemampuan berpikir logis siswa, meningkatkan kemampuan kognitif, dan mendorong siswa untuk menghubungkan dan mengorganisasi ide-ide mereka (Lavoie, 1999).
Beberapa manfaat dapat diperoleh siswa dan guru ketika melakukan prediksi. Pertama, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyusun dugaan dan alasan sebanyak-banyaknya. Di sini siswa menggali kembali pengetahuan awalnya yang berhubungan dengan fenomena yang akan diuji (Kearney, 2004). Kedua, guru dapat mengetahui konsepsi siswa terkait fenomena yang dihadirkan (Suparno, 2013). Ketiga, membuat siswa tertantang untuk melakukan observasi melalui eksperimen dengan sebaik-baiknya agar memperoleh hasil yang sesuai dengan prediksinya (Rahayu, Widodo, & Sudarmin, 2013).
Observe Tahap observe (mengamati) merupakan tahap antara memprediksi dan tahap menjelaskan (Kearney et al, 2001). Pada tahap observe (mengamati) siswa diajak menguji kebenaran prediksi mereka. Pada tahap ini siswa menggunakan indera mereka untuk mengumpulkan informasi terkait fenomena dengan melaksanakan kegiatan demonstrasi (Assessment Resource Banks, 2007) dan medeskripsikan apa yang terjadi (Costu et al, 2012).
Pada tahap mengamati, beberapa beberapa manfaat dapat diperoleh siswa. Pertama, siswa mendapatkan pengalaman langsung ketika mereka menguji prediksinya. Pengalaman langsung yang diperoleh siswa menyebabkan pemahaman mereka meningkat (Rahayu et al, 2013). Kedua, observasi yang dilakukan siswa dapat membantu siswa membangun kemampuan retensinya (Kolari &Savender-Ranne, 2004). Ketiga, tahap mengamati menciptakan ketidakpuasan terhadap pengetahuan yang telah ada pada siswa sehingga mereka menginginkan penjelasan yang lebih baik terhadap masalah yang ada (Costu, 2008; Costu, Ayaz & Niaz, 2010; Costu et al,2012).
Salah satu cara memicu siswa melakukan pengamatan adalah dengan kegiatan eksperimen. Kegiatan eksperimen membuat siswa aktif dalam membuktikan prediksi berdasarkan pengamatan dan analisis data yang mereka lakukan sendiri (Ma’rifatun, Kus & Suryadi, 2014). Dengan usaha sendiri, siswa terlibat langsung dalam mencari jawaban berdasarkan data-data yang benar (Otaviastuti & Anggrayni, 2014). Sehingga, pengetahuan yang diperoleh siswa menjadi lebih bermakna (Rahayu et al, 2015). Di samping itu, kegiatan eksperimen meningkatkan kemampuan identifikasi siswa terhadap konsep-konsep dan meningkatkan minat siswa terhadap pengetahuan yang baru (Marusic & Slisko, 2012).
Explain Pada tahap explain (menjelaskan), siswa diminta untuk membuat penjelasan terhadap kesesuaian prediksi yang telah dibuat dengan apa yang mereka amati. Selain itu, siswa dapat memperbaiki atau menambahkan penjelasan pada hasil observasinya (Warsono & Hariyanto, 2012). Apabila prediksi siswa sama dengan yang hasil eksperimennya, maka mereka akan semakin yakin dengan konsepsinya. Namun, jika prediksinya tidak sesuai dengan apa yang diamati pada kegiatan eksperimen, maka mereka mencari penjelasan-penjelasan tentang mengapa prediksinya salah (Suparno, 2013). Pada tahap ini, siswa mencari solusi terhadap setiap perbedaan antara prediksi dan observasinya (Costu et al, 2012).
Beberapa manfaat dapat diperoleh siswa setelah melewati tahap menjelaskan. Pertama, meningkatkan ketekunan dan respek terhadap data atau fakta (Puriyandari, Saputro, & Masykuri, 2014). Kedua, membangun rasa percaya diri siswa ketika mereka menjelaskan hasil observasi dan prediksinya (Ma’rifatun et al, 2014).
Beberapa hal perlu dikemukakan terkait pentingnya strategi POE terhadap peningkatan pemahaman konsep siswa. Pertama, siswa belum memahami konsep-konsep pada materi dengan baik sehingga diperlukan upaya guru untuk mengungkap miskonsepsi siswa, yang mana strategi POE ditengarai mampu menjembatani maksud tersebut. Kedua, dengan mengetahui miskonsepsi yang dimiliki siswa, guru dapat menggunakan strategi POE untuk mengatasinya. Ketiga, dengan mengetahui ketidaksesuaian antara prediksi dan hasil pengamatannya, siswa tertantang untuk menggali lebih dalam kebenaran jawabannya. Hal mana merupakan filosofi dasar teori konstruktivisme. Akhirnya, keutamaan-keutamaan ini kiranya menjadi salah satu alasan guru untuk memilih POE sebagai salah satu alternatif strategi dalam meningkatkan kualitas pembelajarannya. (Foto: Biologimu.com)
*Penulis adalah Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Cabang Flores Timur