Depoedu.com – Mengajar seharusnya menjadi aktivitas yang menarik. Selalu ada ‘surprise’ yang membuat suasana kelas menarik. Siswa selalu rindu untuk kembali ke kelas. Di sana selain bertemu dengan teman, juga mengalami sesuatu yang baru dalam pembelajaran. Tetapi mengapa pembelajaran menjadi membosankan? Mengapa kegiatan belajar mengajar menjadi mimpi buruk? Apa sebenarnya yang terjadi?
Kembali ke Otak
Aktivitas mengajar selalu berkaitan dengan otak. Dulu, zaman Aristoteles, dikira jantung yang jadi pusat. Ternyata benda berukuran 1,5 kg ini menjadi penentu kecerdasan. Dia yang menentukan bertahannya sebuah materi yang dipelajari.
Jelasnya, otak memiliki cara kerjanya. Dari segi neutron, terdapat jalinan menarik. Pada usia 3,6 dan 9 bulan terdapat perkembangan dahsyat dari neuron. Semuanya berkembang merangkai. Semakin banyak informasi yang bisa dibuat berkaitan, semakin berbobot otak tersebut.
Pada proses perkembangan itu, terlihat bahwa setiap etapa memiliki kekhasan tersendiri. Bobot pembelajaran yang diberikan pun disesuaikan dengan perkembangan psikologis. Sebaliknya memberikan bobot pelajaran melampaui perkembangan psikologis, akan menyulitkan. Memang hal itu tidak kelihatan, tetapi dengan perjalanan waktu diketahui kekeliruan tersebut.
Dalam proses terjadinya pemahaman, sangat dibutuhkan pasokan oksigen yang memadai. Maksudnya, otak akan bekerja maksimal ketika ditunjang oleh gerak. Mengapa? Ketika terjadi gerakan, adanya sirkulasi oksigen yang membuat otak tetap segar. Dalam konteks ini sangat dianjurkan kegiatan belajar yang aktif karena di sana ada sirkulasi udara.
Dalam perspektif ini, penekanan pembelajaran ilmiah (scientific learning) sangat berhubungan. Di sana siswa dilatih untuk mengamati, melihat, mencoba, menyimpulkan dan sebagainya. Secara tidak langsung yang dimaksud adalah proses gerakan yang menjadi pembelajaran menarik, tetapi juga memungkinkan adanya pemahaman yang baik.
Otak juga akan kian efektif ketika didukung kasih sayang. Metode yang menggunakan kekerasan pada masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang bermanfaat : “di ujung rotan ada emas”, sebuah ungkapan yang seakan mengamini kekerasan. Tetapi kekerasan tersebut sadar atau tidak akan meninggalkan kesan negatif mendalam. Kekerasan juga tidak akan memunculkan kreativitas karena orang selalu ada dalam bayang-bayang ketakutan.
Kasih sayang seperti ini sangat penting ditekankan terutama pada masa ‘golden age’, usia – 6 tahun. Di sana segala sesuatu direkam dalam alam bawah sadar. Dengan demikian ketika kasih sayang itu dirasakan, niscaya akan membangun aneka rasa dan kreativitas.
Nutrisi dan informasi merupakan hal lainnya. Otak akan kian efektif ketika terus dinutrisi baik dengan makanan maupun informasi. Makanan yang cukup dan sehat sangat membantu perkembangan otak. Di sana kebutuhan fisik tidak saja terpenuhi tetapi diberikan dengan kualitas yang memadai.
Sementara informasi menjadi pasukan yang sangat penting. Otak akan lebih efektif dan maksimal ketika digunakan. Sebaliknya, tanpa informasi, otak bahkan mengecil. Hal itu jelas terlihat dari orang yang selama masa remaja dan masa dewasa selalu memenuhi kebutuhan otak denganinformasi yang baik. Hal itu menjaga kesegaran otak, dengan demikian derita pikun sangat jauh.
Disain Kreativitas
Di atas pemahaman tentang otak, seorang guru baru akan melangkah kepada pembelajaran kreatif. Ia menyusun strategi belajar yang berpijak pada realitas otak dan mekanisme kerja otak.
Pertama, mengajar kreatif harus dimaknai sebagai upaya melibatkan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran. Itu berarti siswa harus dilibatkan dengan ‘gerakan’ fisik. Mereka tidak pernah ditempatkan sebagai ‘anak sopan’, yang artinya jauh dari aktivitas gerak. Justru pembelajaran akan menarik ketika siswa dilibatkan dalam proses belajar.
Keterlibatan dengan gerak dalam proses merumuskan masalah, menyusun kerangka berpikir, menyusun hipotesis, melakukan eksperimen, sampai menarik kesimpulan merupakan elemen belajar ilmiah yang tidak bisa dipikirkan tanpa gerak. Dengan proses gerak, siswa merasa bahwa apa yang dipelajari lahir dari keterlibatan langsung. Sementara kesimpulan yang diperoleh tidak terkesan dipaksakan dari luar tetapi merupakan hasil penemuan sendiri.
Kedua, pembelajaran ilmiah hanya akan efektif ketika disesuaikan dengan cara kerja otak. Otak tidak pernah memahami semua dalam keseluruhan tanpa keterkaitan. Sebaliknya upaya mengaitkan informasi dalam satu kesatuan rangkaian adalah jendela masuk kepada pemahaman yang utuh dan bukan fragmentaris.
Model pembelajaran ini sejalan dengan kemauan otak. Jalinan neuron dalam sebuah kerja sama membentuk satu pengertian, menandakan bahwa pembentukan pengertian melalui mind map, adalah cara terbaik dalam menganyam sebuah pemahaman utuh. Guru kreatif ditandai dengan kemauan menyusun secara ringkas dalam mind map kesatuan materi yang berkaitan.
Ketiga, mengajar kreatif tidak bisa dilepaskan dari kasih sayang. Pembelajaran yang mengandalkan otak tidak bisa ditempatkan secara teoritis dan abstrak. Pembelajaran perlu melibatkan seluruh diri. Kondisi psikologis dan situasi yang melingkupi peserta didik mesti disadari dan menjadi prakondisi dalam pembelajaran.
Di sinilah relasi timbal balik yang sejajar antara guru dan siswa tanpa adanya dominasi. Siswa tidak dianggap bak ‘bank’ tempat guru menabung pengetahuan. Yang terjadi, sebuah relasi sejajar yang dirancang dalam proses belajar aktif. Guru hadir tanpa dominasi tetapi memfasilitasi agar siswa dapat diarahkan menemukan pengetahuan yang dimaksud.
Inilah proses mengajar kreatif sebenarnya. Sebuah proses yang berasal dari realitas otak dan dirancang secara kreatif oleh guru dengan mempertimbangkan aneka pengaruh yang ada di sekeliling. Modelnya tentu sangat variatif oleh karena realita yang melingkupinya sangat berbeda, Dari sini terlahir aneka model kreatif.
*Penulis adalah penulis buku CREATIVE TEACHING (Mengajar Mengikuti Kemauan Otak), Penerbit Grasindo, Jakarta, 2018.