Depoedu.com – Dr. Frans Susilo, ahli Matematika dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengutip ungkapan dari sebuah penelitian yang menurutnya mewakili pengalaman banyak siswa yang menganggap pengajaran Matematika sebagai pengajaran yang sulit, tidak menyenangkan, tidak menarik, membosankan, bahkan momok yang menakutkan. Menurutnya, pengalaman negatif semacam ini akan sangat menghambat para murid untuk mempelajari, apalagi mengapresiasi dan mencintai Matematika.
Anggapan seperti itu dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya mitos tentang pengajaran Matematika. Mitos ini beredar tidak hanya di antara murid tetapi juga di antara guru dan orangtua. Mitos adalah anggapan keliru yang digunakan sebagai pembenaran diri sehingga merasa wajar jika gagal, misalnya dalam konteks belajar Matematika. Padahal jika pembenaran itu tidak terjadi, para murid mungkin akan berusaha lebih maksimal. Ketika ada usaha maksimal, hasil belajarpun akan lebih maksimal. Dr. Frans Susilo mengelompokkan enam mitos tersebut sebagai berikut.
Mitos pertama, diperlukan bakat istimewa untuk mempelajari Matematika. Jika tidak genius, jangan memasang target istimewa dalam belajar Matematika. Padahal, pada dasarnya semua orang dilahirkan dengan membawa bakat Matematika pada taraf tertentu. Dengan demikian setiap orang mempunyai kemampuan untuk mempelajari Matematika dan menggunakan Matematika, paling tidak dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kemampuan berbahasa untuk komunikasi, setiap orang memiliki kemampuan Matematika untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Lebih dari itu, bisa dikatakan bahwa kemampuan Matematika adalah kemampuan kodrati setiap orang, bahkan ciri khas yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya.
Mitos kedua, bahwa Matematika adalah ilmu menghitung. Dalam Matematika, kemampuan menghitung dengan bilangan – bilangan memang tidak dapat dihindari. Namun sebenarnya berhitung hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan Matematika. Selain mengerjakan penghitungan, dalam Matematika orang juga berusaha memahami mengapa penghitungan itu dikerjakan dengan cara – cara tertentu.
Mitos ketiga, bahwa proses dan cara kerja Matematika hanya menggunakkan otak. Aktivitas Matematika menggunakan kecerdasan otak. Namun logika dan kecerdasan saja tidak mencukupi untuk dapat berkembang. Matematika sangat membutuhkan kreativitas dan intuisi manusia seperti halnya sastra dan seni. Kretivitas dalam Matematika, menyangkut akal budi, imajinasi, estetika dan intuisi mengenai hal – hal yang benar. Para Matematikawan biasanya mulai mengerjakan penelitian Matematika dengan menggunakan intuisi dan kemudian membuktikan bahwa intuisi itu benar. Kekaguman pada seni keindahan dan keteraturan seringkali juga menjadi sumber motivasi bagi para Matematikawan untuk menciptakan terobosan baru demi mengembangkan Matematika.
Mitos keempat, bahwa yang penting dalam Matematika adalah jawaban yang benar. Jawaban benar dalam Matematika memang penting dan harus diusahakan. Namun yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana kemampuan bertahan untuk terus berusaha memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain, dalam menyelesaikan persoalan Matematika yang lebih penting adalah proses, pemahaman, penalaran, dan metode yang dipakai untuk menyelesaikan persoalan, sampai akhirnya menghasilkan jawaban yang benar. Maka tanpa daya tahan yang terus menerus, para ahli Matematika tidak mungkin sampai pada jawaban yang benar.
Mitos kelima, bahwa kebenaran Matematika adalah kebenaran mutlak. Padahal kebenaran Matematika sebenarnya bersifat nisbi. Kebenaran Matematika tergantung pada kesepakatan awal yang disetujui bersama, yang disebut “postulat” atau “aksioma”. Bahkan ada anggapan bahwa tidak ada kebenaran dalam Matematika, yang ada hanya keabsahan, yaitu penalaran yang sesuai dengan aturan logika yang dipakai.
Sejak tiga puluh tahun terakhir ini, telah dikembangkan “logika kabur” dengan nilai kebenaran yang tidak hanya benar salah, tetapi yang meliputi tak hingga banyak nilai dalam selang tertutup. Nilai kebenaran suatu pernyataan tidak lagi sesuatu yang dikotomis saja, tetapi sesuatu yang berderajat secara continue mulai dari nilai salah (berderajat kebenaran 0), sampai dengan nilai benar (berderajat kebenaran 1).
Mitos keenam : bahwa pria lebih berbakat belajar Matematika daripada perempuan. Faktanya tidak seperti itu, karena tidak sedikit Matematikawati di dunia, mulai dari Hypatia dari Alexandria (370 – 415) sampai Emmy Noether (1882 – 1935), dan banyak perempuan lain yang berjasa dalam pengembangan Matematika. Bahkan belakangan ini ada kecenderungan siswi dan mahasiswi berprestasi lebih tinggi di bidang Matematika dibandingkan siswa dan mahasiswa.
Bahkan ada pendapat yang lebih bias gender dan tidak beralasan yang mengatakan bahwa perempuan ahli Matematika biasanya menjadi kurang feminin. Pendapat ini dibantah oleh sebuah hasil penelitian beberapa tahun yang lalu yang membuktikan bahwa Matematikawati pada umumnya justru sedikit lebih feminin dibandingkan dengan rekan perempuan yang bukan ahli Matematika.
Di satu sisi, sebagaimana bidang ilmu pengetahuan lainnya, Matematika dengan segala kekhasannya secara objektif bisa dan perlu dipelajari, mengingat kebermanfaatannya bagi kehidupan manusia. Tak heran bila dalam kurikulum pendidikan formal di banyak negara, Matematika menjadi salah satu muatan substansial, bahkan sejak jenjang pendidikan dasar. Di sisi lain, fakta bahwa Matematika berurusan dengan berbagai simbol dan konsep-konsep abstrak, menjadikannya berjarak dari realita hidup, dan memunculkan kesan sulit, bahkan sangat sulit dikuasai. Mitos-mitos tentang Matematika kemudian dikembangkan sebagai reaksi terhadap fakta tersebut, dan diyakini sebagai kebenaran untuk membangun pemakluman, saat dialami kegagalan dalam proses penguasaanya.
Penemuan terhadap mitos-mitos tentang Matematika, berikut sanggahan ilmiah yang dikemukakan Dr. Frans Susilo dalam ulasan ini mengembalikan Matematika pada posisinya sebagai ilmu yang netral, dan dapat dipelajari. Pada saat yang sama, ia juga membongkar bangunan pemikiran rasionalisasi yang menjadi tempat persembunyian dari keharusan berpikir keras, tekun, dan disiplin yang menjadi syarat penguasaan bidang ini.