Depoedu.com – Di manakah letak kunci keberhasilan seseorang? Kapankah seseorang bisa dinyatakan mencapai sukses? Faktor apakah yang menjadi penentu kesuksesan seseorang? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kerap muncul di tengah proses perjuangan hidup. Sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa kemampuan intelektual yang cenderung berperan besar dalam masa sekolah, tidak selalu bisa menjamin tercapainya kesuksesan. Dengan merumuskan kembali makna kesuksesan sebagai tingkat di mana seseorang bergerak ke depan dan ke atas, terus maju dalam menjalani hidupnya kendati terdapat berbagai rintangan, ditegaskan bahwa penentu pencapaian sukses dalam hidup adalah daya tahan atau daya juang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup.
Mengambil ilustrasi kisah nyata pendakian Mount Everest pada tanggal 10 Mei 1996, fakta tentang kemampuan seorang pendaki bertahan hidup dalam badai yang menewaskan lebih dari 20 orang rekannya, memberikan gambaran nyata akan kesuksesan dalam makna ini. Faktor ini diperkenalkan sebagai Adversity Quotient (AQ). Bertolak dari kisah pendakian, digunakan tiga istilah untuk mengelompokkan daya juang seseorang dalam tiga kategori yakni Quitters (mereka yang berhenti), Campers (mereka yang berkemah), serta Climbers (para pendaki).
Tingkat kepemilikan modal utama ini dalam diri setiap orang dapat diukur dengan menggunakan Adversity Response Profile (ARP). Alat ukur yang teruji validitas dan reliabilitasnya ini dikembangkan lengkap dengan proses pengukuran dan sistem skoringnya, serta penafsiran terhadap hasilnya. Mengikuti panduan dari ARP, seseorang dapat mengenali potensi daya juang dalam diri mereka atau sejauh mana mereka memiliki ‘kemampuan mendaki’, ungkapan khas yang digunakan penulis dalam hal ini. Setelah skor AQ dikenali, lebih jauh bisa diketahui pula upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki AQ pribadi, membantu orang lain memperbaiki AQ mereka, bahkan mempertinggi AQ organisasi dengan menciptakan ‘budaya mendaki’ dalam perusahaan.
Keyakinan sepanjang sejarah akan peran penting IQ bagi keberhasilan studi dan kesuksesan karir juga bahwa potensi ini bersifat bawaan dan cenderung menetap, telah melemahkan impian sejumlah pribadi yang mengenali keterbatasan skor IQ mereka. Lahirnya konsep emotional intelligence di awal tahun 90-an kemudian menumbuhkan harapan baru pada banyak pihak. Ada aspek kecerdasan lain yang bahkan berperan dalam prosentase lebih besar terhadap kesuksesan, dibandingkan peran IQ. Terlebih lagi, dengan penjelasan yang sangat ilmiah ditegaskan bahwa kecerdasan emosi ini bisa dikembangkan sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
Betapapun demikian, perkembangan yang luar biasa pada berbagai aspek dalam hidup kemudian mengarah pada kebutuhan untuk mendefinisikan kembali makna sukses dan keberhasilan. Pada titik tertentu, disadari bahwa pemilikan terhadap kelima faktor pembangun kecerdasan emosi yakni kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina relasi dengan orang lain, masih belum memadai. Lebih dari sebatas memotivasi diri, yang memuat ketekunan dan pengendalian diri, situasi hidup tertentu membutuhkan kebertahanan, ketangguhan, kemampuan untuk tetap berjalan saat situasi mendesak untuk berhenti.
Konsep Adversity Quotient menjawab kebutuhan ini. Tertarik mendalami konsep tersebut? Eduers dapat membaca buku ADVERSITY QUOTIENT – Mengubah Tantangan menjadi Peluang, yang ditulis oleh Paul G. Stoltz, PhD. Berbagai peristiwa nyata yang dikisahkan untuk memberi ilustrasi sepanjang paparan buku ini menunjukkan betapa keajaiban hidup dapat terjadi pada saat dan tempat yang tak terduga, serta bahwa orang-orang yang tidak bertahan, tidak akan pernah menemukan keajaiban sebagai bagian dari pengalaman hidup mereka. Para pendaki serta kemampuan untuk mendaki adalah analogi yang sangat memadai untuk menggambarkan syarat bagi keajaiban hidup tersebut. Mereka adalah orang yang mengubah setiap hambatan menjadi peluang.
Tidak hanya itu, paparan detail tentang unsur-unsur pembangun AQ dan bagaimana kadar setiap unsur itu pada diri seseorang dapat diukur, ditafsirkan, dan dipahami, menjadi keunggulan lain dibandingkan kecerdasan emosi yang belum memiliki alat ukur pasti. Selanjutnya, ulasan tentang teknik-teknik mengembangkan AQ baik dalam diri sendiri, dalam diri orang lain maupun dalam komunitas kerja, melengkapi keunggulan buku ini sebagai panduan bagi siapapun yang hendak memaknai hidupnya secara istimewa.
Sebagai buah dari upaya penelitian, buku tersebut tidak saja berbicara tentang temuan penting bagi hidup di era ini, tetapi juga memperlihatkan ‘cara berbicara’ yang tepat untuk konteks zaman ini. Arus kemajuan teknologi yang mendewakan kenyamanan dan kemudahan kadang-kadang terasa begitu deras dan berada begitu jauh di seberang penghormatan terhadap daya juang manusia. Pribadi yang berjuang justru secara keliru dinilai sebagai tidak berada dalam rel kemajuan dan modernisasi.
Oleh karena itu, buku ini selayaknya menjadi bacaan bagi para remaja yang kerap menjadi umpan empuk pemasaran produk kenyamanan dan kemudahan. Diharapkan, informasi pasar yang mereka terima dapat diimbangi dengan kajian mendalam tentang hakikat hidup sejati serta keberhargaan setiap manusia sebagai pribadi. Para orang tua yang concern dengan perkembangan pribadi buah hati mereka, para pendidik remaja, maupun setiap pribadi dewasa yang senantiasa hendak mempertinggi kualitas hidup, dapat menggali banyak inspirasi maupun tuntunan teknis dari buku ini. (Oleh: Josybahi)