Surat dari Adonara, Januari 2019, “Apakah Moderenitas Membuat Kita Terasing”?

Family Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Anakku, kesayangan ayah. Selamat tahun baru. Ayah berharap kita semua sehat. Di tahun yang baru ini.

Tahun baru di kampung, sama seperti biasanya.  Semua lebih tertarik hingar bingar, dari pada berefleksi. Suara musik beradu keras. Gelegar petasan memekakan telinga. Tenda pesta digelar di hampir semua penjuru kampung.  Disaat ayah seusiamu anakku, semua hal itu menjadi biasa. Siapa yang peduli? Semua bergembira. Melepas tahun yang lama. Menyambut tahun baru. Menjadi rutinitas biasa. Sekali setahun.

Tahun baru, di era ‘turbulensi’ informasi ini, harus berarti sesuatu yang baru. Perubahan. Menjadi lebih baik. Tahun berganti. Segala hal berubah. Ada yang sedemikian cepat. Teknologi bergerak membaru. Para penggunanya menyesuaikan diri. Kebaruan yang dibawa oleh zaman hari ini, terutama teknologi informasi , merubah sedemikian signifikan perilaku para ‘pemuja’ teknologi itu. Tak terhindarkan. Suka atau tidak suka, harus diterima.

Anakku.

Ayah kaget hari ini. Membaca berita detik.com (28.01.2019). Adalah Danny Reagan, kini remaja 16 tahun, asal Ohio – Amerika Serikat, dulu pernah mengalami gejalah-gejalah yang oleh para dokter diasosiasikan sebagai efek kecanduan narkoba. Ketika berumur 13 tahun, Danny menjadi gelisah, tertutup dan menjauh dari teman-temannya. Ia tidak mau mandi. Berhenti mengerjakan tugas sekola. Keluar dari kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Walaupun tidak menggunakan narkoba, ketika itu, Danny sudah sedemikian terikat dengan video gim dan youtube sampai pada titik ia tidak ingin melakukan hal-hal lainnya. Oleh dokter, Danny kecanduan internet.

Tidak hanya Danny, anakku. Kita semua sebenarnya ketagihan internet.  Chris Tuell, yang punya program terapi untuk mengatasi kecanduan orang-orang seperti Danny, mengatakan bahwa internet memiliki kesamaan dengan alcohol dan narkoba dalam mempengaruhi otak. Internet bisa memicu otak melepaskan hormone pembawa rasa senang, endorphin, dan membuat pemakainya merasa senang.

Lantas apa hubungannya dengan moderenitas? Apa sebab sampai membuat kita terasing?

Anakku.

Ayah ingin cerita sekian puluh tahun lalu, ketika ayah di Jogja. Menimba ilmu. Waktu itu, teman-teman seangkatan ayah hanya segelintir orang. Jumlahnya tidak lebih banyak dari jemari tangan. Tinggalnya tersebar pencar. Saling berjauhan. Sepeda motor hanya segelintir yang punya. Hp belum ada. Bisakah dibayangkan ketika akan ada kegiatan bersama? Naik turun angkot menyebar undangan. Sebelum itu ‘ngrental’ komputer. Tidak semudah saat ini, dalam ukuran ayah, melihat segala fasilitas yang kalian miliki.

Saat ayah sekolah dulu fasilitas tidak sebanyak dan selengkap angkatanmu sekarang. Hampir semua punya HP. Punya leptop. Punya motor. Kendaraan umum lebih beragam. Menjangkau lebih kepelosok. Dulu untuk mengantar undangan harus jalan kakiatau naik turun angkot. Sekarang tinggal SMS atau lewat pesan instan di WhatsApp. Atau disebar di group Facebook. Yang hari ini semua punya akunnya.

Anakku.

Tahun lalu, kami di kampung mendapat bantuan tenda jadi dari pemerintah.  Diberi melalui anggota DPRD. Semua senang. Karen bisa disewakan, banyak juga yang membeli. Tenda jadi menjamur. Walau sewanya sedikit mahal, dari ukuran serba terbatasnya ayah, pemilik tenda jadi menyebar hampir dipenjuru kampung.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah fasilitas yang seadanya membawa akibat yang berbeda bagi seseorang atau bagi bagi komunitas, dibandingkan jika memiliki fasilitas yang serba lengkap? Apa bedanya?

Jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak bisa serta merta. Butuh diteliti lebih.

Jika ayah boleh jujur, anakku. Dari uang 100 juta, antara membeli tenda jadi dengan membeli  peralatan produksi minyak kelapa,  mana yang lebih menguntungkan? Tenda jadi bisa disewa. Produktif. Mendatangkan keuntungan. Pun demikian dengan peralatan produksi minyak kelapa. Tenda jadi membuat orang konsumtif. Membayar lebih mahal. Minyak kelapa membantu orang lebih sehat. Menggeser minyak sawit dari warung-warung di kampung kita.

Anakku.

Moderenitas tentu baik. Teknologi komunikasi tentu membantu. Orang bisa terhubung tanpa jarak. Mendengar suara. Melihat rupa. Toko-toko online menjamur. Usaha-usaha bisnis  berbasisi internet berkembang pesat. Semakin beragam. Menjangkau pasar tanpa batas.

Tapi Anakku.

Hari-hari ini, begitu jamak kita lihat. Orang-orang berada di satu meja makan, dengan masing-masing memegang HPnya. Mereka terlihat mengobrol. Namun tidak saling berbagi tatapan. Tidak hanya itu. Menjadi kebiasaan yang sering dijumpai. Orang dengan nyaman menerima telepon dari seseorang yang entah berada sekian jauh jaraknya, ketika sedang terlibat bicara dengan seseorang di hadapannya.

Kadang di rumahpun, kami orang tuamu melakukan hal yang sama. Lebih tertarik memeriksa HP, alih-alih bermain bersama adikmu. Tidak jarang mengabaikan panggilan adikmu yang minta perhatian, karena lebih ‘asik’ membalas chating dengan orang yang entah beribu kilo meter jauhnya. Bahkan kadang sambil ngobrol sesuatu yang serius pun, kami, ayah dan ibumu, masih tidak melepaskan HP dari genggaman.

Anakku.

Hp dan tenda jadi adalah produk modern saat ini. Ketika benda modern ini digunakan, perilaku penggunanya ternyata mengalami penyesuaian. HP dan peralatan komunikasi lain, benar, mendekatkan yang jauh. Tapi HP juga ternyata menjauhkan yang dekat.

Keterbatasan fasilitas saat ayah kuliah di Jogja, memaksa kami untuk lebih saling berkunjung satu-sama lain. Saling mengenal. Ayah tidak kaget, ketika hari ini, menyaksikan dua orang mantan mahasiswa Adonara di Yogyakarta, yang baru bertemu dan berjabat tangan, di Jakarta, setelah mereka sama-sama selesai kuliah.

Bedanya, angkatan ayah, ada ikatan batin yang kuat, ada perasaan saling memiliki, saling mengenal dan menerima sebagai satu keluarga karena intensitas bertemu dan berbagi cerita. Kami saling mengenal satu sama lain dan memiliki banyak kisa bersama untuk diceritakan setiap kesempatan bertemu.

Ada alasan yang dikemukakan. Belasan tahun lalu, mahasiswa Adonara di Jogja hanya hitungan jari tangan. Wajarlah jika saling kenal. Bandingkan sekarang. Yang ratusan jumlahnya. Bagaiman bisa mengenal sedemikian banyak orang?

Anakku. ini bukan soal jumlah. Ini tentang intensitas bertemu. Tentang membangun hubungan lebih dekat dengan lebih banyak orang. Dan dalam intensitas itu, pasti ada kedekatan psikologis yang erat jika dibanding saling sapa lewat media social seberapa pun seringnya.

Anakku.

Ayah takut membayangkan, akibat ikutan dari tenda jadi bagi kita di Adonara. Hari ini masih banyak, ketika orang menggelar hajatan, atau ada kedukaan, tanpa diminta, semua orang dengan rela datang. Membawa bambu untuk tiang tenda dari pinggir kampung. Atau melipat daun kelapa untuk atap. Membangun tenda. Mengangkat kursi. Semua membantu. Diikat oleh rasa memiliki.  Tidak lama lagi, perasaan saling memiliki, ikatan kekeluargaan yang besar itu, akan diambil alih oleh pengusaha-pengusaha tenda jadi. Dari “ata diken gelekat ata diken”, bisa menjadi “ata diken gelekat nala doi”. Lebih eksrtim, “doi nai gelekat ata.”

Kemajuan teknologi, moderenitas, bisa membuat orang menjadi sangat individualistis. Orang merasa dengan segala kemajuan teknologi yang dimilikinya dan uang ditangannya, segala kebutuhannya bisa tercukupi. Tanpa bantuan orang lain. Kalau saya bisa mencukupi segala kebutuhan dan kesenanganku sendiri, kenapa butuh orang lain? Pada tingkat ini, eksistensi manusia sebagai makluk social dalam tingkatan tertentu dipertanyakan. Manusia bisa menjadi sangat terasing dari dan di antara sesama yang lain. (Oleh: Senuken / Foto: ekspektasia.com)

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback
2 years ago

Such great website

Amazing blog thanks for sharing today on this blog