Depoedu.com – Semasa kecil, ada seorang bapak di kampung saya yang terkenal memiliki kecapakan berkata-kata. Ia akan semakin ‘berkata-kata lincah’ kalau ada ‘air kata-kata’, alias minuman arak dengan tingkatan alcohol yang lumayan.
Terjadi suatu saat, setelah meneguk arak, ia berbicara ‘tak karuan’. Seisi rumah malah para tetangga merasa terganggu dan menegurnya agar tidak ribut seperti itu. Tetapi apa jawabannya? Ia berkata: “Aku ribut bukan angin!” Ia tentu ingin menghindar karena yang sering diidentikkan dengan keributan adalah angin, sementara ia bukan angin.
Kisah ini hadir secara spontan, saat saya memandang gambar Yesus yang memerintahkan badai di Galile untuk menjadi tenang: “Diam, tenanglah!” (Mark 4,39). Dengan segera badai itu menjadi reda. Perahu yang tadinya terombang-ambing, kembali pada posisi nyaman. Para penumpang tentunya tidak panik.
Kisah ini kerap menjadi kontroversi karena kita meyakini bahwa sejak menciptakan manusia dan alam seisinya, Tuhan memberikan otonomi kepada manusia dalam menguasai alam dan seisiNya. Saat menciptakan manusia dan semesta alam, Ia tidak memberikan kebebasan sekadarnya, hanya agar Ia terus mengontrol manusia.
Tuhan justru memberikan otonomi itu baik kepada alam (makrokosmos) maupun manusia (mikrokosmos). Selanjutnya, masa depan alam, akan sangat bergantung pada proses alamiah dan tindakan manusia dalam memperlakukan alam. Kalau terjadi bencana, bukan karena ‘Tuhan menghukum manusia’, tetapi itu adalah akumulasi dari perlakuan manusia pada alam. Sebuah perlakuan yang tidak saja terjadi sekarang tetapi sudah berpuluh malah beribu juta tahun.
Tetapi apa yang terjadi di danau Galilea atau disebut juga danau Tiberias? Dia malah tertidur pulas di buritan kapal, sementara para murid cemas dan panik. Yesus, demikian pikiran para murid, ‘tidak peduli bahwa mereka akan binasa’. Dua sikap yang berseberangan. Yang satu (Yesus), begitu ‘nyaman’ dengan gelombang dan angin. BagiNya, hal itu adalah bagian dari hidup. Goyangan dan goncangan sudah menjadi konsekuensi dari hidup di dunia.
Sementara itu para murid yang semestinya sudah terbiasa dengan amukan badai di danau Galilea, justru kelihatan menunjukkan reaksi yang berlebihan. Mereka menjadi panik, bahkan memersalahkan Yesus sebagai orang yang apatis.
Tanpa membenarkan sikap mereka, Yesus menghardik angin dan badai itu: “Diam, tenanglah”. Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Bukan saja teduh, tetapi bahkan ‘teduh sekali’.
Yang jadi pertanyaan: apakah dengan menghardik badai, Yesus membenarkan kekuatiran para murid? Tentu saja tidak. Yesus tidak membenarkan hal itu. Malah dengan menghardik badai, ia menghentakkan mereka. Semestinya mereka yang bertelinga, bermata hati, bisa mendengar dan merasakan itu jauh melampaui alam yang nota bene tidak punya telinga.
Hal ini mengingatkan kita akan kata-kata Santo Yohanes dalam Wahyu 3,22 tentang manusia yang kerap kali tidak menggunakan telinganya untuk mendengarkan: “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat”. Artinya, yang bertelinga mestinya mendengar dengan baik”. Artinya, banyak kali, manusia yang semestinya punya hati dan telinga, tidak memanfaatkannya. Justru alam bisu itu diam dan begitu menjadi penurut terhadap kata-kata Tuhan.
Demikian renungan yang diuraikan secara baru dalam buku Memaknai Badai Kehidupan (Penerbit Kanisius Jogyakarta 2019). Hentakan Yesus pada alam mestinya merupakan pukulan besar kepada para murid dan manusia pada umumnya yang tidak mendengarkan. Mereka lebih sibuk berbicara (menghardik Yesus), berpikiran negatif (bahwa Yesus tidak peduli).
Sebagai solusi, Yesus menghardik badai dan menyuruhnya diam. Sebuah seruan yang sekaligus menyajikan pembelajaran bahwa telinga untuk mendengarkan adalah pintu masuk kepada hidup yang bermakna. Orang Spanyol mengungkapkannya secara sangat tepat: El silencio es la cuna de la palabra (Diam adalah rahim tempat lahir kata-kata).
Banyak kali, kata-kata yang keluar dari mulut menyulut konflik karena sangat pedas. Kata-kata membuat orang lain menjadi marah karena sangat menyudutkan dan memunculkan rasa geram. Kata-kata tersebut mengungkapkan kondisi batin yang tentu saja tidak tenang dan damai. Apa yang dikeluarkan, merupakan ekspresi dari pengalaman batin yang lagi bergolak. Dengan bahasa lain, kata-kata yang tak terpikir, akan berbalik menjadi harimau yang menerkam orang yang berkata-kata tak terkontrol. Tak heran kita berkata “mulutmu harimaumu”.
Di era digital, kata itu mungkin tidak terucap, tetapi ‘terketik’ dengan begitu cepat lewat ‘status’ yang menyindir atau bahkan secara terbuka mengungkap secara langsung, hal mana akan dibalas. Lebih dahsyat lagi karena apa yang disampaikan telah disaksikan juga oleh orang lain di dinding yang bukan lagi privat. Di sana ‘jemarimu adalah harimaumu’.
Mukjizat di danau Galile justru menghentakkan dan mengingatkan lagi akan pentingnya mendegarkan yang hanya bisa efektif dalam suasana diam. Yesus menghadirkan ironi menghentakkan angin yang dengan segera mendengarkan, tetapi apakah saya yang bertelinga juga bisa begitu cepat mendengarkan?
Apakah saya juga bisa mengambil waktu untuk diam dan sedikit berpikir sebelum mengeluarkan kata-kata baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui ketikan di media sosial? Kalau sebelumnya banyak kata yang tak terpikirkan, kita tahun 2019 yang barusan beberapa hari dilewati, memberi ruang agar kita menjadikannya tahun mendengarkan. Amin. (Oleh: Robert Bala ).