Depoedu.com – Apakah gading sebagai belis adalah ‘harga’ untuk memperistri seorang Perempuan Adonara? Apakah mas kawin adalah bukti komersialisasi seorang perempuan? Bagaimana dengan kita di Adonara?
Anakku
Ayah selalu menulis hal-hal ini buatmu. Bukan semata karena ayah senang menulis. Lebih dari itu ayah ingin agar ananda menjadikan ini sebagai bekal sebagai pedoman dalam hidup ananda kelak.
Sekali lagi ayah mengingatkanmu bahwa kehormatan seorang Perempuan Adonara tidak terletak pada jumlah belisnya. Setiap perempuan memiliki martabat yang sama terhormat siapapun dia termasuk Perempuan Adonara.
Antropolog Koentjaraningrat menulis “Memang kalau kita perhatikan istilah-istilah dari mas kawin dalam beberapa bahasa di Indonesia, maka tampak di dalamnya arti harta pembelian itu. Kata Nias beuli niha, kata Batak Toba pongoli, boli, buhor, kata welin di Ambon, kata patuku di Bali, kata tukon di Jawa semuanya mengandung arti beli”. Ini seolah ditegaskan oleh Ama Tuan Yosep Muda dalam Ata Lama Holot “pemberian itu secara umum dilihat sebagai harga dari sang istri”. Tapi apakah demikian? Apakah orang Adonara mengukur mas kawin/belis berdasarkan kuantitasnya semata atau melihat gading sebagai benda yang memiliki nilai komersial?
Anakku
Dalam Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Koentjaraningrat menulis lebih lanjut “Sungguhpun demikian, kalau dikupas lebih mendalam, maka terbukti bahwa mas kawin itu sama sekali tidak dirasakan lagi sebagai harta pembelian. Fungsi mas kawin pada banyak suku bangsa di Indonesia adalah sebagai syarat”. Maka benar bahwa gading sebagai belis/mas kawin Perempuan Adonara juga adalah syarat / simbol. Dan bahasa simbol yang melekat pada gading sebagai belis/mas kawin sangat tergantung pada masyarakat mana simbol itu diakui. Orang Adonara sangat paham bahwa perempuan adalah sumber kesejahteraannya.
Anakku.
Gading – bala – sebagai mas kawin adalah keramat. Ia adalah benda keramat karena apa yang disimbolkannya. Namun gading tidak boleh disembah. Gading menjadi benda keramat bagi kita orang Adonara karena ia melambangkan harkat dan martabat Perempuan Adonara. Karena keramat inilah maka setiap perpindahan baik keluar maupun masuknya gading dalam sebuah keluarga diikuti oleh ritual-ritual adat tertentu. “Ore warak – pohe” ketika sebuah keluarga menerima gading sebagai belis dan “Ohon hebo-geleten pelumut bala” ketika sebatang gading keluar dari rumah sebuah keluarga. Ritual-ritual ini selalu melibatkan saudari perempuan – bine sebuah keluarga.
Dikabupaten tetangga kita – Sika – misalnya, gading bisa digadaikan sebagai jaminan berbagai keperluan, namun bagi kita orang Adonara, gading tidak boleh dikukur dengan nilai kuantitatif komersial. Bagi kita orang Adonara “duun bala ne sama helon mio duun bineke anakke”, Perempuan adalah “ina tanah ekan” – ‘ibu bumi’ yang menumbuhkan sumber-sumber kesejahteraan. Maka gading juga menyimbolkan sumber-sumber kesejahteraan itu. Menjual gading juga berarti memindahkan sumber-sumber yang mensejahterakan. Maka “mai duun regot bala kae neti melane kewasane bisa hala”. Walaupun dalam praktek hari-hari ini masih sering kita jumpai orang menperjualbelikan gading.
Anakku.
Selain sebagai bahasa simbol, belis bagi kita Adonara bukan semata-mata pemberian keluarga pihak laki-laki untuk keluarga pihak perempuan. Mas kawin atau belis bagi kita adalah pemberian timbal balik yang sebanding kualitasnya. “Liwu ata bala, honge ata witi ne olune hala”. Pihak perempuan yang menerima mas kawin berupa gading dari keluarga pihak laki-laki juga harus menyiapkan sejumlah syarat tertentu yang nilainya sama dengan pemberian pihak laki-laki. Sebatang gading ditimbang setara dengan hitungan kain / pakaian. Begitu juga dengan jumlah hewan piaraan yang menyertai gading maka keluarga pihak perempuan pun harus menyiapkan pakaian yang memiliki hitungan-hitungan yang secara kualitas sebanding.
Anakku.
Bagi ayah ini menunjukan bahwa perkawinan bukan semata-mata persatuan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan bagi kita orang Adonara adalah tanda ikatan antara dua keluarga besar, keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan yang menjadi istri. Ikatan ini dimaterai oleh pemberian mas kawin yang sebanding kualitasnya itu.
Dan ikatan-ikatan kekeluargaan tidak diputus oleh peristiwa kematian. Kita bersukur bahwa ikatan kekeluargaan yang menyertai perpindahan gading sebagai belis/mas kawin adalah ikatan yang abadi. Ini ditegaskan oleh “rarane” yang menjadi salah satu ritual pokok dalam upacara kematian selain ohon hebo. Rarane (jalannya) ini merujuk pada alur perpindahan gading sebagai belis/mas kawin. Tentang ini akan ayah ceriterakan nanti.
Anakku.
Mas kawin / belis dalam tradisi kita adalah symbol. Maka yang paling penting adalah apa yang disimbolkannya. Harkat dan martabat Perempuan, dan ikatan kekeluargaan yang terbangun dalam sebuah perkawinan adalah hal-hal utama dalam kehidupan kita orang Adonara. Dimanapun kita berada selalu mengingat itu dan menjadikan itu sebagai bagian dari kehidupan kita. Dalam banyak kesempatan ayah selalu menegaskan tentang posisi Perempuan dalam kehidupan kita orang Adonara, karena ayah ingin ananda memegang teguh hal ini. Kehormatan seorang perempuan adalah hal yang sacral. Ina wae – ata bine ana ne gerara-gerara, ake open aka, ake tubi gumit, anakku. (Oleh: Senuken / Foto: ekpektasia.com)