Depoedu.com-Hari-hari ini perbincangan mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan sistem zonasi mengemuka kembali di media online dan media cetak, setelah Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka menyatakan akan menghapus PPDB dengan jalur zonasi.
Pernyataan Wakil Presiden tersebut lantas direspon oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Prof. Abdul Mu’ti. Ia mengatakan, saat ini tim yang ia bentuk sedang melakukan kajian untuk merumuskan kebijakan tentang PPDB dengan sistem zonasi.
Prof. Abdul Mu’ti meminta agar semua pihak menunggu hasil kajian dari tim yang ia bentuk tersebut. Ia berjanji paling lambat bulan Maret 2025, sebelum tahun ajaran baru dimulai, keputusan tentang PPDB dan juklaknya sudah diterbitkan.
Tanggapan juga datang dari kalangan DPR RI. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menyatakan tidak sepakat dengan Wakil Presiden RI tentang penghapusan sistem zonasi dalam pelaksanaan PPDB. Menurutnya permasalahan utama sistem zonasi terletak pada implementasinya, bukan pada kebijakannya.
Selain DPR RI, tanggapan juga datang dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). P2G meminta agar pemerintah tidak tergesa-gesa menghapus sistem zonasi dalam PPDB. Menurut mereka, sistem zonasi sebetulnya memiliki tujuan yang baik meski memiliki kekurangan.
Antara Tujuan Kebijakan PPDB dan masalah dalam implementasi
Tujuan yang baik tersebut di antaranya adalah mengupayakan pemerataan kesempatan mengakses pendidikan melalui sekolah negeri bagi semua anak usia sekolah, dan menghilangkan favoritisme pada sekolah negeri tertentu di sebuah daerah.
Baca juga : Orang Tua Belajar Apa dari Kasus Perundungan Siswa SMAK Gloria 2 Surabaya?
Setelah tujuh tahun berjalan, tujuan baik tersebut tidak kunjung tercapai karena kelemahan dari sistem zonasi itu sendiri, seperti belum meratanya persebaran sekolah negeri di sebuah daerah dan belum meratanya mutu pendidikan pada sekolah-sekolah negeri pada daerah tersebut, sebagai akibat dari kebijakan pendidikan sebelumnya.
Sejak awal penerapan PPDB dengan sistem zonasi, terjadi berbagai pelanggaran ketentuan dari proses PPDB dengan sistem zonasi ini, mulai dari penggunaan surat keterangan miskin bukan oleh orang miskin, penerbitan surat domisili dadakan untuk calon peserta didik, padahal peserta didik tidak berdomisili di daerah tersebut, agar dapat masuk sekolah yang dituju.
Menghadapi kelemahan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan misalnya pada tahun ajaran 2018/2019 pemerintah mengeluarkan Permendikbud nomor 51 tahun 2018. Permendikbud tersebut menghapus penggunaan surat keterangan miskin dan menggantinya dengan Kartu Indonesia Pintar yang digunakan di level pendidikan sebelumnya.
Selain itu, surat keterangan domisili yang digunakan pada tahun sebelumnya, diganti dengan alamat yang tertera pada kartu keluarga di mana peserta didik berdomisili, untuk mencegah penggunaan surat keterangan domisili padahal peserta didik tidak berdomisili di wilayah zonasi tersebut.
Selain itu permendikbud tersebut juga menetapkan bahwa sekolah wajib memprioritaskan 90 persen pendaftar yang sekolah asalnya sama zonasinya dengan sekolah yang didaftar. Selain itu sekolah juga diwajibkan mengumumkan daya tampungnya secara terbuka sesuai dengan data yang tertera pada data pokok (dapodik).
Perbaikan berdasarkan hasil evaluasi ini ternyata tidak menghilangkan pelanggaran pada PPDB tahun berikutnya. Masyarakat selalu punya cara menyiasati agar bisa memasukkan anak ke sekolah yang mereka tuju. Setiap tahun muncul pelanggaran baru bahkan hingga tahun ketujuh ini. Dan tujuan penerapan sistem zonasi bahkan semakin tidak tercapai.
Mungkin inilah hal yang menyebabkan wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengusulkan agar pelaksanaan PPDB dengan sistem zonasi dihentikan.
Baca juga : Pengembangan Budaya Positif Peserta Didik Melalui Pendidikan Karakter Tarakanita
Kenapa pelanggaran terus terjadi?
Melihat tujuan kebijakan zonasi dan cara pemerintah menangani masalah yang muncul dalam implementasi kebijakan ini, menurut hemat saya bahwa hingga sekarang kebijakan pemerintah terkait implementasi kebijakan zonasi tidak akan efektif karena kebijakan tersebut hingga kini tidak menyentuh akar masalah dari implementasi kebijakan PPDB.
Sebaliknya kebijakan-kebijakan tersebut baru menangani gejala yang muncul dari implementasi PPDB dengan sistem zonasi. Akar masalah dari implementasi PPDB dengan sistem zonasi berupa tidak meratanya mutu sekolah negeri dan tidak meratanya penyebaran sekolah negeri di semua daerah belum ditangani melalui kebijakan yang ada.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, kebijakan yang paling mendesak dari pemerintah adalah kebijakan terkait pemerataan mutu pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Selama mutu sekolah negeri belum merata, kebijakan zonasi tidak akan efektif.
Karena semua orang tua, menginginkan menyekolahkan anaknya di sekolah yang bermutu. Jika di zonasinya ada sekolah negeri, tapi sekolah negeri tersebut tidak bermutu, sebagai orang tua mereka tentu berusaha untuk masuk di sekolah negeri di luar zonasinya dengan berbagai cara.
Atau jika di daerah tersebut, penyebaran sekolah negerinya tidak merata, maka pemerintah perlu menyertakan sekolah swasta bermutu di daerah tersebut dalam PPDB dengan sistem zonasi dengan menanggung biaya masuk peserta didik ke sekolah swasta tersebut. Pemerintah perlu berhenti berpikir dikotomis antara negeri dan swasta dalam penetapan kebijakan.
Hanya dengan dua kebijakan ini, penanganan masalah PPDB dengan sistem zonasi baru akan efektif karena disanalah akar masalah PPDB dengan sistem zonasi bercokol. Birokrasi pendidikan harus bekerja lebih cerdas.Kerja cerdas itu adaiah kerja yang menyelesaikan akar masalah, bukan menangani gejalanya saja.
Foto: Kompas.com