Kompetisi Matematika Itu Buruk

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com-Saya tidak membenci kompetisi Matematika. Apalagi Olimpiade Matematika, mulai dari yang nasional atau internasional. Saya pernah di fase menjadi seorang Math enthusiast yang hobi ngerjain soal-soal olimpiade. Nggak dibayar, nggak disuruh, nggak dijadiin konten. Just enjoy it. Senang saja rasaya menemukan rahasia di baliknya.

Saya mengenal beberapa pelatih olimpiade hebat, baik di dunia nyata maupun sosmed. Mereka orang-orang yang luar biasa tentunya. Soal urusan medali atau piala, baik mereka atau anak didiknya sudah sering memperolehnya.

Level saya jelas jauh di bawahnya. Mentok saya paling cuma jadi pelatih guru-guru untuk membina siswanya dalam Olimpiade Matematika. Saya ngerjakan soal IMO (International Mathematics Olympiad) saja butuh waktu seharian. Hahaha.

Pernah ada seorang dosen yang mengatakan bahwa yang merusak pendidikan Matematika adalah keberadaan kompetisi Matematika. Menurutnya, kompetisi itu hanya menjadikan Matematika sebagai alat untuk mencari piala.

Bukan sebagai alat menyelesaikan masalah, sebagaimana Matematika awal dilahirkan. Saya tentu tak setuju dengan pendapatnya.

Bagi saya pendapat itu tak sepenuhnya benar. Banyak siswa yang mendapat kesempatan belajar dari kompetisi Matematika. Menjadikan Matematika sebagai hobi yang menyenangkan jelas tidak ada salahnya. Itu hal yang positif dan baik.

Kompetisi memicu semangat mereka untuk belajar lebih jauh lagi. Beberapa Matématikawan terkenal juga dulunya para jawara Olimpiade Matematika kok, misalnya Bela Bollobas.

TAPI, kompetisi Matematika itu sifatnya eksklusif, terbatas. Kompetisi Matematika atau pelajaran apapun tidak cocok digunakan di kelas. Kenapa? Saya berikan ilustrasinya.

Baca juga : Strategi Pendampingan Orang Tua Pada Generasi Z dalam Pemilihan Karier Lanjutan

Di SMA saya dulu, salah satu ujian akhir mapel PJOK adalah lari 3 km. Tes itu diadakan di alun-alun. Kira-kira butuh 3 kali memutari alun-alun untuk menyelesaikan tes lari itu. Guru PJOK saya menjadikan tes itu sebagai lomba. Semua murid diminta berlari dari titik yang sama. Kemudian waktu mereka semua dicatat. Semakin cepat catatan waktunya semakin baik nilainya.

Badan saya dulu termasuk gemuk. Kelebihan 20 kg dari ukuran ideal. Tes lari itu jelas lebih menakutkan dibanding ujian nasional. Itu jelas kebalikan dari semua teman-teman laki-laki saya. Untuk bisa lulus tes itu saya benar-benar persiapan.

Saya coba lari-lari kecil seminggu sebelum tes. Saya baluri kaki saya dengan balsam sebelum berangkat. Bahkan pagi hari saya sampai minum ekstra joss supaya stamina saya kuat. Alhamdulillah hasilnya saya tetap paling belakang.

Setiap km saya tempuh lebih dari 8 menit. Bahkan catatan itu lebih buruk dari teman-teman perempuan saya. Dan nilai saya tentu yang paling bawah.

Sekarang coba pikirkan, kalau anda benar-benar seorang guru, adilkah saya mendapat nilai terburuk? Bagaimana dengan usaha saya? Apakah tidak ada nilai untuk itu? Apakah semua harus dinilai berdasarkan hasil akhir di garis finish?

Teman saya yang memang seorang atlit sepakbola jelas tak butuh usaha keras, berbanding terbalik dengan saya yang saat itu memang tak pernah olahraga selain di sekolah. Adilkah saya yang berusaha, nilainya harus terpaut jauh dari teman saya yang tinggal melenggang saja?

Nah kondisi seperti saya ini ada di mana-mana di kelas kita. Saya pun mengalami hal yang sebaliknya di mapel Kimia. Teman saya harus repot ikut bimbel sana-sini agar bisa lulus. Sedangkan saya, nyaris tak mengalami kesulitan berarti di pelajaran Kimia. Di kelas-kelas kita ada banyak sekali kondisi yang serupa, bukan?

Kompetisi Matematika itu baik bagi satu atau dua anak yang memang benar-benar menyukai Matematika dan punya mental Matematika yang baik. Mereka memang siap untuk bertanding. Siap menang dan siap kalah. Tapi di kelas-kelas kebanyakan tidak demikian.

Kelas kita, sekolah kita, masih cukup banyak yang menderita kesulitan Matematika. Buktinya? Itu skor PISA masih di situ-situ saja kan? Banyak siswa yang mengalami kecemasan Matematika. Mereka butuh ditolong, didukung, atau bentuk bantuan lainnya, bukan malah diadu lewat kompetisi.

Baca juga : Kesederhanaan Paus Fransiskus Menggugah Peserta Didik Sekolah Tarakanita yang Menyambutnya di Istana Negara, Jakarta

Itu sebabnya pembelajaran kolaboratif itu menjadi penting untuk kemajuan bersama. Pembelajaran kolaboratif ini bukan hanya jargon. Banyak riset yang menunjukkan bahwa pembelajaran kolaboratif bisa meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam Matematika.

Itu sebabnya saya kemarin menentang keras CoC di kelas Matematika . Sebab tidak semua anak itu siap baik secara kognisi atau mental untuk diadu dalam bidang Matematika, atau mungkin pelajaran lainnya.

Anak punya kelebihan masing-masing dalam mata pelajaran yang ada di sekolah. Mengadu mereka di satu mapel jelas tidak adil. Sama halnya dengan cerita saya diadu dalam tes lari.

Kompetisi Matematika itu bagus, tapi untuk sedikit anak saja. Tidak perlu memaksakan anak-anak lainnya atau sampai membawanya di kelas. Setiap anak memang butuh belajar Matematika, tapi tidak setiap anak harus menjadi jawara Matematika.

Menghadirkan kompetisi di kelas Matematika jelas hanya menjunjung satu atau dua anak dan menjatuhkan mental puluhan anak lainnya.

“Ah, memang mental anak-anak itu lemah, penakut yang tidak siap berkompetisi?”

Bukan karena mentalnya lemah atau penakut. Tapi karena setiap anak dianugerahi dengan bakat dan kelebihan yang tidak sama. Kalau kita memaksa anak-anak jawara Matematika untuk tanding silat, kira-kira mereka siap nggak? Apakah kita akan mengatakan bahwa mereka penakut dan pengecut ketika mereka tidak siap?

Begitu ya. Itulah sebabnya saya sering mengatakan tidak setiap ahli Matematika bisa mengajarkan Matematika di kelas. Kalau anda merasa ahli Matematika dan ingin mengajarkan di kelas, setidaknya pelajari pedagogiknya.

Gitu kali ya?

Foto: MTs Al Hidaya

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments