Depoedu.com-Belakangan ini, tindakan kriminalitas, kekerasan, pornografi, bullying, pelecehan seksual, semakin banyak melibatkan anak-anak. Perilaku kejahatan ini diyakini akibat pengaruh negatif dari game online. Hal ini disampaikan oleh Deputi Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar.
Kata Nahar, game yang mengandung kekerasan, amat berdampak buruk bagi perkembangan mental serta perilaku anak dan remaja. Pendapat Nahar tersebut, disetujui oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kawiyan.
Menurut Kawiyan, sudah banyak kasus terjadi akibat dampak negatif game online baik secara langsung, maupun tidak langsung pada anak, mulai dari kasus pornografi anak di Soetta, kasus anak membunuh orang tua, semuanya berawal dari game online.
Kasus pornografi Soetta, sebagai kasus di mana game online berpengaruh secara tidak langsung. Kasus yang melibatkan 8 anak usia 12 sampai 16 tahun ini menggambarkan, jika anak sudah kecanduan game online, apapun mereka mau lakukan asal tindakan tersebut membuat mereka dapat terus bermain game.
Ini terungkap dari penyelidikan polisi bahwa, 8 anak ini memproduksi video porno secara mandiri. Dari aktivitas ini mereka memperoleh sejumlah uang dan bonus kredit yang bisa mereka manfaatkan untuk dapat terus bermain game online dari jaringan pornografi internasional.
Baca juga : Perjuangan Raden Ajeng Kartini “Zaman Now”
Anak-anak ini pun, pertama kali berkenalan dengan jaringan pornografi internasional, juga melalui permainan game online. Game tidak hanya membuat mereka kecanduan melainkan juga menjadi sarana untuk bertemu dengan pribadi yang hendak menggunakan game sebagai jaringan untuk menyebarkan pengaruh buruk.
Belum lagi, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa ada korelasi antara bermain game dan peningkatan agresi pada anak-anak. Game juga menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan keterampilan sosial dan kemampuan berkomunikasi pada anak-anak.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius terhadap dampak game online pada anak-anak. Oleh karena itu, kita menyambut baik, upaya pemerintah untuk segera merampungkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang perlindungan anak terhadap game online, meskipun boleh dibilang agak terlambat.
Prosesnya kini sudah sampai pada tahap harmonisasi antara kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah agar aturan tersebut tidak tumpang tindih pada saat implementasi di lapangan. Meskipun demikian, selain regulasi, yang sangat menentukan adalah implementasinya.
Agar implementasi sungguh berhasil mencegah dampak buruk dari game online, diperlukan pengawasan dan sikap tegas aparat dalam implementasi perpres tersebut. Selama ini sikap tegas aparat dalam implementasi berbagai regulasi, selalu menjadi titik lemah sehingga banyak aturan menjadi tidak implementatif di lapangan.
Baca juga : Membentuk Pribadi Yang Mandiri Dan Berbudaya
Dalam rangka implementasi perpres tersebut, saya mengusulkan dibentuk Satgas yang terdiri dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Tugas dari satgas ini adalah mengawasi peredaran dan dampak game online dan media sosial pada anak-anak, melakukan pendidikan dan pengembangan literasi digital di kalangan orang tua agar orang tua memiliki keterampilan untuk melakukan pendampingan secara aktif dan tepat.
Dalam pengawasan diharapkan satgas memastikan klasifikasi usia game ditetapkan secara benar sesuai dengan isi konten oleh developer dan menerapkan ketentuan lama bermain game. Jika terjadi pelanggaran satgas perlu melakukan tindakan tegas seperti pemblokiran dan pemutusan akses.
Ini semua diperlukan untuk melindungi anak-anak Indonesia yang adalah pewaris masa depan Indonesia. Mereka tidak hanya disiapkan untuk menjadi pewaris masa depan Indonesia melainkan juga harus dilindungi.
Foto: My Live on Words