Depoedu.com-Hi parents, masih pusing dengan sikap anak-anak yang cenderung menyebalkan? Atau sulit diatur dan bahkan suka membangkang? Jika benar demikian, coba cek bagaimana relasi sosial yang terjadi dalam hidup berkeluarga.
Dalam hidup berkeluarga, sering terjadi aksi-reaksi antara anak dan orang tua. Proses aksi-reaksi terkadang memunculkan penerimaan atau bahkan penolakan. Penolakan dalam aksi-reaksi pun membawa perasaan yang tidak menyenangkan.
Alhasil, orang tua dan anak sama-sama mengalami perasaan negatif. Sama-sama tidak mutualis dan saling beradu pendapat.
Perasaan tidak menyenangkan dalam keluarga sebagai hasil dari aksi-reaksi seolah menjadi pola pembenaran karena dianggap sebagai hal yang lumrah. Sebagai akibat dari perasaan tidak nyaman, kedekatan antara anak dan orang tua pun menjadi renggang.
Relasi sosial dalam keluarga seolah kehilangan esensinya. Hubungan antara anak dan ibu ataupun ayah seolah hanya sebatas formalitas.
Hingga akhirnya, terbentuklah jarak psikis yang memisahkan antara anak dan orang tua. Sama-sama berada dalam satu atap, namun dipisahkan oleh keberjarakan psikis. Sama-sama saling menegur sapa, namun hanya sebatas formalitas sebagai anak yang patuh, dan kewajiban sebagai orang tua yang baik.
Baca Juga : Mengubah Perasaan Negatif Dengan Overthinking
Dalam kesempatan memediasi pertemuan antara psikolog anak dan orang tua, saya menemui adanya ketidaksadaran dalam memahami pelaku yang bermasalah. Orang tua tersebut menceritakan pola perilaku anaknya yang cenderung menyebalkan, suka membantah ketika diberi peringatan dan cenderung sulit dalam mengontrol emosinya.
Awalnya saya berpikir bahwa anaklah yang bermasalah, namun setelah digali lebih dalam, ternyata hasil menunjukkan sebaliknya. Perilaku anak hanyalah reaksi terhadap aksi dari orang tuanya.
Dalam proses mediasi, tentunya informasi perlu didapatkan dari berbagai sumber. Tidak hanya dari orang tua, kami pun menyediakan layanan terhadap anak. Setelah digali lebih dalam, ternyata banyak terjadi pergolakan dalam diri anak.
Hasil yang didapati menunjukkan bahwa anak cenderung tidak mendapat ruang katarsis, yang biasa kita sebut sebagai rumah. Rumah adalah tempat ternyaman bagi kebanyakan orang, namun tidak dengan kisah anak yang saya ceritakan.
Rumah seolah menjadi bangunan kokoh, namun remuk di bagian dalam. Anak cenderung mendapat perbedaan perlakuan dengan saudara/i-nya. Anak cenderung mendapat penolakan dan mengalami krisis kasih sayang. Anak selalu diawasi setiap saat.
Anak merasa tidak diberi ruang untuk kesendiriannya. Perilaku seperti ini membuat anak merasa tidak nyaman. Anak butuh ruang privasi, namun nyatanya tidak ditemukan pada sebuah tempat yang bernama rumah.
Baca juga : Ini Gaya Parenting Nadiem Anwar Makarim Di Tengah Kesibukannya Sebagai Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan
Perilaku marah-marah dengan fluktuasi yang tidak menentu merupakan bentuk reaksi anak terhadap aksi yang diberikan oleh orang tua. Ditambah lagi, salah satu ciri perkembangan pada usia remaja adalah perubahan emosi yang tidak tentu.
Hal ini merupakan bentuk pertahanan diri dari anak. Anak mencoba menunjukkan penolakan terhadap pola pengasuhan orang tuanya, tapi nyatanya usaha anak tidak ditangkap dengan jeli.
Ketidakjelian dalam memahami perilaku anak merupakan bentuk ke-Aku-an dari orang tua, yakni merasa selalu benar dalam menerapkan pola pengasuhan. Orang tua butuh kerendahan hati untuk mengakui, bahwa setiap penerapan pola asuh, tentu ada beberapa chaos yang mungkin sering terjadi.
Tidak tanggung-tanggung, punishment yang diberikan dengan tujuan untuk mengubah perilaku anak menjadi lebih baik, malah memunculkan hasil sebaliknya. Anak menjadi lebih emosional dan cenderung menjadi pembangkang. Hal ini disebabkan karena dunia anak mengalami keterusikan.
Mengurangi atau bahkan menghentikan apa yang menjadi kesukaan anak merupakan bentuk perampasan hak anak. Salah satu modifikasi perilaku anak yang sering kita jumpai dalam kehidupan berumah tangga adalah pemberian hukuman terhadap anak, yakni tidak memperbolehkan anak melakukan sesuatu yang menjadi kesukaannya. Misalnya bermain game.
Bentuk perampasan hak ini tentu menciptakan ketidakadilan dalam diri anak. Game bisa menjadi sarana selfsupport system, yakni mampu melepaskan stress yang berujung pada pengurangan perasaan negatif.
Baca juga : Krisis Multidimensi Karena Covid-19, Ujian Bagi Ketahanan Keluarga Dan Sekolah Kita
Jika sarana yang menjadi support system dikurangi atau bahkan dihentikan, anak bisa saja memunculkan perilaku maladaptif yang lain, dan bahkan lebih dahsyat. Ditambah lagi perbandingan yang sering didapatkan, pembatasan ruang privasi serta ketidakpercayaan dari orang tua.
Oleh karena itu, menjadi pembangkang dan sangat emosional adalah bentuk penolakan yang mungkin menjadi alasan paling tepat bagi anak. Ini hanyalah reaksi terhadap aksi dari orang tuanya.
Aksi yang suka membatasi, aksi yang suka membandingkan, aksi yang sering tidak adil dalam memberikan kasih sayang, maupun aksi-aksi lain yang kurang berkenan dalam diri anak.
Semua ketidakadilan yang dialami anak terakumulasi dalam bentuk perilaku yang kurang adaptif. Sehingga pertanyaan paling mendasar ketika memilih menjadi orang tua adalah, bisakah kita menjadi tempat ternyaman bagi anak?
Bisakah kita memberi diri untuk menjadi tempat yang selalu bisa dipercayai oleh anak? Bisakah kita menjadi tempat pulang terakhir bagi anak dalam menumpahkan segala permasalahannya?
Jika pertanyaan mendasar ini belum bisa terjawab, kebutuhan akan kedekatan dengan anak akan sulit berujung temu. Akan selalu ada jarak psikis antara anak dan orang tua. Alasannya jelas, anak tidak mendapati tempat yang mampu menampung segala perasaan yang dialami.
Baca Juga: Pentingnya Komunikasi Dalam Keluarga
Anak tidak punya tempat pulang setelah perjalanan panjang dan melelahkan, sehingga anak merasa bahwa dunia tidak sebaik yang dipikirkannya. Orang-orang terdekat yang seharusnya menyediakan tempat itu (tempat yang nyaman), malah menjadikan diri sebagai tempat yang paling terasing baginya.
Dalam beberapa kasus, tentu banyak yang tidak setuju dengan pernyataan di atas, yakni “pengurangan dan penghentian bermain game adalah bentuk perampasan terhadap hak anak”.
Jika bermain game telah masuk dalam taraf candu, orang tua perlu mengurangi, bukan menghentikan intensitas anak dalam bermain game. Namun di samping itu, akan ada penolakan lebih lanjut bahwa banyak hal lain yang bisa lakukan dalam proses penyaluran perasaan negatif selain bermain game.
Untuk meluruskan pernyataan tersebut, kita perlu menggali mengapa anak menjadi suka bermain game. Di dalam game, anak-anak cenderung mendapat apresiasi ketika menang. Misalnya dengan penambahan poin, kenaikan grade (penambahan dan peningkatan kualitas senjata) dan lain-lain. Jika anak kalah, anak akan diberi dukungan untuk mencoba lagi dan lagi.
Nyatanya dalam kehidupan sehari-hari, anak tidak selalu mendapat perlakuan seperti yang ia dapatkan di dalam game. Dalam dunia nyata, ketika melakukan kesalahan, anak cenderung dimarahi dan diberi hukuman. Berbeda dengan game, anak akan diberi dukungan untuk mencoba lagi dan lagi.
Ketika memperoleh prestasi dalam game, anak akan selalu diberi apresiasi. selfesteem anak akan meningkat. Namun berkebalikan dengan dunia nyata. Ketika mendapat prestasi, pujian pun diberikan, tapi nyatanya banyak anak yang jeli dalam melihat apresiasi tersebut. Anak-anak itu cerdas dalam melihat setiap aksi orang tuanya, mana yang benar-benar tulus dan mana yang kurang menunjukkan kesungguhan dalam mengapresiasi.
Baca Juga : Delapan Tanda Orang Tua Menghargai Anak Dan Dampaknya Pada Pertumbuhan Anak
Oleh karena itu setiap perilaku anak dalam rumah merupakan reaksi terhadap aksi dari orang tuanya. Jika aksi yang diberikan bertolak belakang dengan kebutuhan anak, maka pembangkangan adalah bentuk penolakan yang dirasa paling tepat untuk dilakukan. Ini adalah protes yang berusaha ditunjukkan oleh anak.
Semua kita tentu tahu, bahwa menjadi orang tua tidak semudah mengedipkan mata. Namun saya percaya, setiap orang punya kapasitas untuk menjadi orang tua yang hebat. Oleh karena itu, mari menyediakan diri sebagai tempat ternyaman bagi anak-anak.
Mari memberi diri sebagai ruang, tempat bagi anak dalam menumpahkan segala permasalahannya. Mari menyediakan diri sebagai tempat bagi anak, setelah perjalanan panjang yang begitu melelahkan. Karena sesungguhnya, perilaku anak adalah hasil karya dari setiap orang tua.
“Selamat menjadi orang tua yang hebat dalam mendidik”.
Foto:lifestyle.kompas.com