Mimpi sebagai Obyek Psikoanalisis

Family Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Hampir sepertiga bahkan lebih dari kehidupan manusia pada umumnya dihabiskan untuk tidur. Jika usia rata-rata manusia 60 tahun, maka selama 20 tahun diisi dengan tidur. Waktu yang tidak sedikit bukan? Namun dengan tidur, tidak berarti manusia melewati masa sia-sia karena tidur menjaga metabolisme tubuh agar tetap stabil. Menurut hasil penelitian, setelah 72 jam tidak tidur, akan menyebabkan gangguan psikotik.

Dengan tidur pula, kita dapat mengakses dunia yang memperantarai dua alam (fenomena dan abstrak) melalui mimpi.

Sigmund Freud adalah seorang ahli psikologi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Psikoanalis adalah cara untuk mendapatkan secara terperinci pengalaman emosional yang dapat menjadi sumber atau sebab gangguan jiwa dan perilakunya.

Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki 3 tingkatan kesadaran:

  • Sadar (conscious)
  • Prasadar (preconscious)
  • Tak-sadar (unconscious)

Konsep dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku.

Dalam karya pertama yang sangat monumental, Interpretation of Dream, Freud menjadikan mimpi sebagai obyek riset psikoanalisis untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis pada pasiennya. Dengan karyanya ini, Freud mulai diperhitungkan perannya dalam dunia psikologi. Tidak sedikit yang dipengaruhinya, diantaranya C.G. Jung, Alfred Adler yang kemudian bergabung dibawah naungan psikoanalisis Freud, meski tidak berlangsung lama. Bahkan, banyak ahli psikoterapi yang menekankan pentingnya analisa mimpi.

Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga. Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon.

Pada dasarnya hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk pemenuhan keinginan terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin S.Hal & Gardner Lindzaey, 1998) bahwa dengan mimpi, seseorang secara tak sadar berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata sulit bagi kita untuk mrengungkapkan kekesalan, keresahan, kemarahan, dendam, dan yang sejenisnya kepada obyek-obyek yang menjadi sumber rasa marah, maka muncullah dalam keinginan itu dalam bentuk mimpi

Freud mengenalkan satu jenis mimpi yaitu mimpi kanak-kanak, pada tahun-tahun berikutnya akan ditemukan mimpi yang bertipe sama, bahkan pada orang dewasa, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang valid serta dapat digeneralisasi pada tahapan berikutnya. Tekhnik tersebut lazim dilakukan oleh Freud, sebagaimana acuan tahapan-tahapan psikoseksual dalam teori kepribadiannya. Berbeda dengan Jung, rekan sekaligus muridnya, yang membagi mimpi menjadi dua; mimpi retrospektif dan mimpi introspektif.

Freud mengatakan bahwa simbolisme merupakan bagian paling mengagumkan dalam teorinya. Karena dalam beberapa kondisi, simbol memungkinkan kita menginterpretasikan mimpi tanpa harus mengajukan pertanyaan pada orang yang mengalami mimpi yang kadang-kadang malah tidak bisa memberitahukan apa-apa tentang simbol-simbol itu. Di sini Freud juga mencoba menyimpulkan beberapa hal mengenai simbolisme dalam mimpi.

Pertama;
 kita menentang pendapat bahwa orang yang bermimpi merasa tidak mengetahui bahwa simbol-simbol berhubungan dengan kehidupan dalam kondisi bangun.

Kedua; hubungan simbolik bukan sesuatu yang khas bagi orang yang bermimpi, tapi ruang lingkup simbolisme sangat luas. Simbolisme mimpi hanya bagian kecil saja. Ini berbeda dengan simbolisme pada mitos, dongeng dan sebagainya.

Ketiga; simbolisme yang muncul di bidang lain ternyata berhubungan dengan tema-tema seksual seperti dalam mimpi simbol-simbol yang sama juga melambangkan obyek dan hubungan seksual, misalnya: simbol phallic (alat kelamin) yang diinterpretasikan Jung sebagai unsur arketipe (spiritual).

Keempat: simbolisme adalah faktor kedua dan faktor independen dalam distorsi mimpi yang hidup berdampingan dengan penyensoran. Adapun manfaat yang dapat dipetik dari jenis mimpi ini adalah berupa; pengetahuan. Pemenang nobel, Loevi, memimpikan sebuah eksperimen selama 3 malam. Pada malam pertama, ia membuat catatan tapi tidak bisa menguraikannya kembali dan pada malam ketiga ia terbangun melakukan eksperimen dan memecahkan penemuannya.

Mimpi spiritual non simbolik, yaitu; mimpi-mimpi yang dapat dipercaya yang tidak ada simbolnya. Di sini imajinasi tidak campur tangan. “Hati” langsung merefleksikan kesan-kesan spiritual. Sebelum imajinasi dapat membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak memerlukan penafsiran, mereka adalah wahyu-wayu dari yang riil itu sendiri. Mimpi-mimpi berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian) di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu (revelation) dan ilham, inspirasi yang keluar langsung dari jiwa individual. Karakteristik serta manfaat dari mimpi jenis ini hanya dapat diperoleh oleh jiwa-jiwa yang telah menjalani penyucian hati hingga mencapai tarafnya para spiritualis. Mimpi ketiga inilah yang sama sekali tidak disinggung oleh Sigmund Freud dalam teorinya, bahkan tidak mampu dijamah oleh C.G.Jung dalam klasifikasi teori mimpinya.

Begitu beberapa kajian berdasarkan analisis psikologi. Mimpi – mimpi dalam tidur kita merupakan salah satu cara Tuhan menyelesaikan perkara kejiwaan yang belum terselesaikan dalam kehidupan nyata. (Foto: yepopo.wordspress.com)

*Disarikan dari membaca beberapa sumber 

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments