Depoedu.com – Adalah Fanli Langhide, 14 tahun, siswa SMP Kristen 46 Mapanget Barat, Manado, meninggal dunia saat dihukum. 1 Oktober 2019, Fanli bersama rekan-rekannya disuruh berlari keliling halaman sekolah oleh guru piket karena terlambat. Saat memasuki putaran kedua, Fanli terjatuh tak sadarkan diri. Sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawa Fanli tak tertolong.
Beberapa bulan sebelumnya, Senin 13 Maret 2019, ADR, Siswa kelas 11 SMA Negeri Batuan, Sumenep Jawa Timur, juga kehilangan nyawa setelah dihukum gurunya. SuaraJatim.id, 21 Maret 2019 menulis “Diketahui, penyebab ADR tewas akibat dipukul gurunya dengan menggunakan payung. Selain kedapatan tidur di kelas, pemberian hukuman itu karena korban tak mengerjakan tugas yang diberikan guru tersebut”.
Tidak hanya di Indonesia. Mengutip laman okezone.com, seorang siswa berusia 10 tahun distaples kupingnya oleh seorang guru. Peristiwa ini terjadi di Kota Kinabalu- Malaysia, Jumat 27 September 2019. Hukuman ini diberikan oleh gurunya karena siswa lalai mengerjakan PR.
J.M Langeveld, seperti dikutip oleh A. Suherman dalam makalah di file.upi.edu, bahwa memberi hukuman sebagai bagian dari proses pendidikan harus tunduk pada dua prinsip. “Punitur, Quia Peccatum est” : dihukum karena telah bersalah. Dan ‘Punitur, ne Peccatum” : dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan. Artinya bahwa hukuman dalam proses mendidik, apapun bentuknya, yang diberikan karena berbuat salah agar anak didik tidak lagi mengulangi kesalahan.
Upaya sadar pemilik otoritas –baca: guru dan/atau sekolah- dalam menghukum, harus diikuti dengan komunikasi agar anak menyadari kesalahannya. Kesadaran inilah yang mendorong siswa –yang telah berbuat salah– untuk jera. Tidak lagi mengulangi kesalahan.
Josy Bahi, di media ini pada 20 Agustus 2018 lalu, menulis “Sanksi adalah tindakan pendidikan, bila ditujukan untuk mendidik. Sanksi yang mendidik mewujudkan konsistensi sikap sekolah terhadap semua bentuk pelanggaran tata tertib, tanpa kecuali, tanpa pandang bulu. Hanya saja, alasan di atas tidak bisa menjadi pembenaran untuk tindakan menghukum yang barangkali kita miliki karena kejengkelan dan kemarahan kita.”
Apakah salah jika memberi hukuman kepada siswa karena kesalahannya? Bagaimana bentuk hukuman yang efektif untuk memberi efek jera agar anak tersebut tidak lagi mengulangi kesalahannya?
Dalam sebuah kesempatan belum lama ini, menemani pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI) Flores Timur dalam studi banding mereka di SMP Candle Tree, saya begitu terkesan dengan bagaimana sekolah ini memberi hukuman.
Dalam presentasinya, Aloysius Sunaryo, Kepala SMP Candel Tree menjelaskan bagaimana pihak sekolah menghukum setiap pelanggaran peraturan dan disiplin sekolah yang dilakukan oleh siswa. Ada dua instrumen hukuman yang begitu menarik saya.
Pertama, kartu poin, yang di Candle Tree dikenal dengan behavior treatment. Setiap awal tahun ajaran setiap siswa diberi semacam kartu berisi 100 poin. Poin-poin ini menentukan kenaikan kelas bahkan kelulusan seorang siswa. Setiap pelanggaran disiplin sekolah mengakibatkan pengurangan point. Sementara atas setiap prestasi, keaktifan di kelas siswa diapresiasi dengan penambahan point.
Kartu poin adalah hukuman sekaligus apresiasi yang sangat adil. Kemajuan dan partisipasi aktif siswa di kelas diapresiasi berupa penambahan poin. Jika melanggar berbagai peraturan dan disiplin sekolah maka konsekuensinya pengurangan poin. Dengan satu alat ini, hukuman dan penghargaan diterapkan.
Lebih menarik lagi karena siswa yang mengumpulkan poin paling banyak dalam satu periode diumumkan dalam apel bendera setiap hari Senin. Ini memacu siswa lain untuk mengejar apresiasi yang sama.
Luar biasanya, bukan semata-mata pengumpul poin tertinggi tapi juga bagi mereka yang progress perbaikannya mengalami kemajuan yang signifikan. Siswa diapresiasi bukan semata-mata hasil jumlah poin yang dikumpulkan. Sekolah juga memberi apresiasi atas proses yang telah ditempuh setiap siswa.
Bentuk hukuman lain yang diberikan sekolah atas setiap pelanggaran disiplin adalah membaca kitab suci dan menyiapkan renungan. Dalam kasus siswa terlambat misalnya, setelah komunikasi bersama antara sekolah melalui guru, mencari akar masalah penyebab siswa terlambat, namun ini tidak menghilangkan hukuman.
Siswa yang terlambat diharuskan membaca dan membuat renungan dari kitab suci. Hukuman ini ditambah atas pengulangan pelanggaran disiplin yang sama. Tidak hanya membuat renungan tapi membawakannya di hadapan teman-teman sekelas, bahkan di depan seluruh sekolah. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Karenanya pasti tidak menyenangkan bagi si pelanggar disiplin. Ada efek jera yang disasar oleh sekolah.
Hukuman ini ternyata memiliki manfaat pendidikan yang begitu banyak. Siswa harus sportif menerima hukuman sebagai buah dari kesalahan. Ia harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuatnya. Sekaligus siswa dilatih untuk membaca sekaligus menemukan kesimpulan atau pesan dalam bacaan, dalam hal ini yang dibaca adalah Alkitab. Setelah menemukan pesan, siswa diminta untuk menguraikannya dalam bentuk tulisan dengan kata-kata dan pemahaman sendiri. Lebih dari itu ada latihan berbicara di depan umum dalam bentuk membawakan renungan di depan kelas.
Ada banyak instrument lain yang bisa dilakukan sebagai bentuk mendidik dan mendisiplinkan siswa. SMP Candle Tree, menghukum tindakan melanggar peraturan dan memberi efek jera kepada mereka yang melanggar dalam bentuk yang mendidik dan menumbuhkan karakter baik. Ini bisa dicontoh oleh sekolah-sekolah. Tentu dengan modifikasi sesuai kebutuhan.