Depoedu.com – Kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ini menuai polemik. Ada orang tua yang protes lantaran anaknya tak bisa mendaftar di sekolah negeri favorit akibat kebijakan tersebut.
Penerapan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing. Peserta didik bisa memiliki opsi maksimal tiga sekolah, dengan catatan sekolah tersebut masih memiliki slot siswa dan berada dalam wilayah zonasi siswa tersebut. Berdasarkan Permendikbud nomor 51/2018 diatur PPDB melalui zonasi. Seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan. Jarak tempat tinggal terdekat dimaksud adalah dihitung berdasarkan jarak tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan menuju ke sekolah.
Sistem seleksi PPDB zonasi dilakukan dengan cara pemeringkatan, yang berbeda-beda di setiap provinsi. Akan tetapi, umumnya, pemeringkatan untuk jalur zonasi dilakukan dengan jarak, nilai UN, usia peserta didik, dan waktu mendaftar.
Mengapa perlu zonasi? Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, kebijakan zonasi yang diterapkan sejak 2016 sejatinya menjadi pendekatan baru yang dipilih pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan di seluruh Indonesi. Pendekatan zonasi tidak hanya digunakan untuk PPDB, tetapi juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan. “Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi,” ungkap Muhadjir, melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (18/6/2019).
Sistem zonasi memiliki tujuan induk untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas, sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat. Sistem ini akan berdampak pada redistribusi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan supaya dapat mempercepat pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pokok permasalah pendidikan di Indonesia bersumber pada sumber daya manusia pendidikan ; peserta didik dan tenaga pendidik berkualitas yang tidak merata. Peserta didik dan tenaga pendidik yang berkualitas cenderung akan memilih sekolah dan bekerja pada sekolah yang berkualitas (pavorit), unggulan. Sekolah-sekolah unggulan terpusat pada kabupaten/kotamadya dan pusat-pusat kota. Sekolah-sekolah unggulan disubsidi dan diperlakukan khusus dengan kemewahan fasilitas. Disinilah letak ketidakadilan terjadi, sekolah yang dianggap tidak unggulan diperlakukan seadanya.
Pendekatan zonasi yang dimulai dari penerimaan siswa baru dimaksudkan untuk memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik, tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi. Pemerintah wajib memastikan semua anak mendapat pendidikan yang berkualitas dengan keunggulan lokal masing-masing daerah.
Pengalaman saya sebagai guru PNS di suatu sekolah di daerah pedalaman sumatera selatan sangat memprihatinkan. Guru datang seenaknya, berangsur-angsur guru berkualitas pindah ke pusat kota. Siswa ditelantarkan, hampir sepanjang hari tidak ada guru yang mengajar. Adaikan guru hadir, mereka hanya memberikan tugas, alasan agar siswa mandiri tapi nyatanya tidak satupun siswa belajar. Siswa bermain sepanjang hari. Idealisme saya pun hilang, tidak ada lagi rekan guru yang bisa diajak berdiskusi.
Saya menyambut baik, gagasan mendikbud untuk melakukan “ pemerataan guru diprioritaskan di dalam setiap zona itu. Apabila ternyata masih ada kekurangan, guru akan dirotasi antarzona. Rotasi guru antarkabupaten/kota baru dilakukan jika penyebaran guru benar-benar tidak imbang dan tidak ada guru dari dalam kabupaten itu yang tersedia untuk dirotasi.” Sistem zonasi harus fleksibel mempertimbangan dan menyesuaikan kondisi di lapangan sehingga sangat dimungkinkan pemerintah daerah dapat menyusun petunjuk teknis dengan lebih baik.
Hiruk pikuk munculnya permasalahan teknis seperti, berkaitan dengan perpindahan tempat tinggal tiba-tiba, kewajiban kuota menerima 90 persen calon siswa yang tinggal di lokasi dekat sekolah, pemerataan tempat tinggal peserta didik serta belum meratanya sekolah yang berkualitas secara teknis harus dapat diselesaikan.
Untuk meminimalisir permasalahan kisruhnya sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru maka sistem ini perlu disosialisasikan pada masyarakat sebelum tahun ajaran dimulai serta sistem pendaftaran dilakukan secara online dan transparan sehingga bisa diakses oleh publik. (Foto: jurnal-sahid.blogspot.com)
*Penulis adalah Anggota Legislator terpilih DPRD Tangerang Selatan