Depoedu.com – Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia W. J. S. Poerwadarminta adalah “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya” artinya jika ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Tanggung jawab ini pula memiliki arti yang lebih jauh bila memakai imbuhan, contohnya ber-, bertanggung jawab dalam kamus tersebut diartikan dengan “suatu sikap seseorang yang secara sadar dan berani mau mengakui apa yang dilakukan, kemudian ia berani memikul segala resikonya”. Dalam artian lain, tanggung jawab meminjam istilahnya Bung Hatta adalah integritas individual.
Setiap orang mempunyai tanggung jawab sesuai dengan perannya dalam keluarga, masyarakat, atau pekerjaannya. Ketika seseorang sudah menjadi orang tua dan mempunyai anak, ia mempunyai tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anaknya. Tanggung jawab itu dimulai dari perkembangan fisik hingga mental bahkan spiritual anak.
Salah satu tanggung jawab orang tua yang utama adalah mendidik anak-anaknya agar menjadi pribadi yang berkarakter baik. Pendidikan menjadi kata kunci di dalam pembentukan diri seseorang. Tentu saja pendidikan merupakan tanggung jawab utama dari orang tua. Semenjak Fraire (tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia) berikrar bahwa pendidikan adalah tak lain sebagai rangkaian dari proses Humanisasi, ketiadaanya merupakan hal yang mesti dihindari di dalam membentuk pola masyarakat yang dinamis dan bermental kuat disamping bermoral terpuji.
Bermula dari bentuk sederhana proses mendidik pada bangsa Yunani kuno, lambat laun ketika struktur masyarakat menjurus pada arah yang lebih kompleks, kehadiran pendidikan melalui wajah ‘institusi’ menjadi keniscayaan. Kehadiran institusi yang diharapkan mampu menggantikan posisi ayah dan ibu – membimbing, merawat dan mendidik anak – tak dapat dilepaskan dari pentingnya makna pendidikan itu sendiri. Penggantian posisi orang tua dalam mendidik anak, dimafhumi sebagai proses sosial yang memiliki dinamika untuk bergerak. Wujud sekolah sebagaimana yang kita kenal saat ini merupakan bentuk institusi yang dahulunya bernama scolae pada bangsa Yunani.
Akan tetapi, yang perlu menjadi perhatian disini, adalah proses perubahan peran tersebut di dalam cakupannya yang lebih luas. Di satu sisi, perubahan peran disebabkan oleh suatu proses sosial, orang tua yang lebih disibukkan oleh aktivitas di luar rumah dalam mencari nafkah keluarga dan berkarir dibanding dengan kesediaan waktunya untuk menemani anaknya, di sisi lain perubahan ini pula menjadi dasar bagi kita untuk menarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah segala-galanya. Dengan demikian kita melihat bagaimana bangsa Yunani mendudukan pendidikan dalam kaca mata yang luhur, artinya proses pendidikan sedapat mungkin harus dilakukan oleh orang tua semenjak dini kepada anak-anaknya.
Sementara itu, jika peran sosial lebih menuntut orang tua untuk berkiprah di luar, maka hendaknya proses mendidik anak tidak menjadi terbengkalai. Inipun dengan catatan, bahwa pergantian peran tersebut hanya sebatas mengisi kekosongan kecil yang ditinggalkan oleh orang tua bagi anak-anaknya. Sedangkan porsi terbesarnya tetap dipegang oleh orang tua sebagai pihak yang sangat vital dalam perkembangan anak.
Setiap proses pendidikan tentunya terikat oleh ruang dan waktu. Ruang di sini adalah kondisi tempat terjadi, penciptaan proses, bentuk proses, cara berproses, dan apa yang diharapkan dari proses itu sendiri. Maksudnya setiap proses pendidikan yang ada melibatkan hal-hal di atas sehingga proses yang berjalan dilalui secara objektif. Keterikatan proses dengan waktu juga nampak jelas, sebab proses pendidikan pada akhirnya akan menuju pada cita-cita ideal sebagaimana ketika proses itu diciptakan.
Proses pendidikan pada sebuah inntansi memiliki keterbatasan waktu sesuai target yang dicanangkan. Ketika waktu yang ditatrgetkan selesai, aka ada pengukuran keberhasilan proses pendidikan sehingga jika proses tersebut dinilai kurang, maka akan menjadi bahan evaluasi yang harus dilakukan sesegera mungkin dan aka nada pernyataan resmi tentang ketidakberhasilan mengikuti proses.
Proses pendidikan pada instansi tentunya bukan lepas bebas menjadi sepenuhnya tanggung jawab instansi. Orang tua sebagai pendidik utama berparan penting dalam pencapaian target tujuan pendidikan instansi. Sinergi orang tua dan instansi pendidikan akan mencaai hasil yang diharapkan. Kebalikannya bila tak ada dukungan dari orang tua, maka pendidikan yang ditargetkan instansi juga akan gagal.
Kaitannya dengan tanggung jawab adalah bahwa tanggung jawab, sebagaimana hal ini juga ingin kita tujukan kepada orang tua di samping kepada anak-anak, tentunya terjadi jika melalui suatu proses pendidikan keluarga yang terus-menerus. Proses di sini adalah sebuah peristiwa yang tercipta lewat upaya sadar dengan tujuan keinginan menuai hasil secara baik dari misi yang ditargetkan sebelumnya. Dan proses tersebut merupakan rangkaian yang saling berkaitan serta membutuhkan perjalanan yang cukup panjang. Akan tetapi, keterikatan waktu pada akhirnya yang membatasinya. Terkadang waktu yang dimiliki orang tua begitu terbatas sehingga menjadi sebuah kendala dalam relasi anak dan orang tua.
Namun, relasi tidak dilihat dari kuantitas waktu, melainkan kualitas relasi. Artinya keterbatasan waktu oarng tua untuk bersama dengan anak tidak berarti mengurangi kualitas relasi antaranak dengan orang tua. Relasi itu akan tetap terjalin jika sejak awal orang tua menjadikan relasi sebagai hal yang utama dalam keluarga. Kebalikannya jika dari awal orang tua menganggap hal itu bukan yang utama, maka makin hari relasi semakin buruk. Akhirnya anak makin jauh dari orang tua dan orang tua tak mampu lagi menjangkau anaknya. Anak akan memilih lebih terbuka terhadap teman dan media.
Fakta ini banyak ditemukan dalam kehidupan sekarang. Orang tua tak lagi mampu menghendel anaknya. Anak pun tak lagi menganggap orang tua sebagai pusat hidup mereka.
Hal ini tentu terjadi tidak instan. Ada pembiaran yang dilakukan orang tua dalam relasi sejak anak-anak kecil. Anak dibiarkan mencari teman karena orang tua tak mampu menjadi teman bagi anaknya. Anak lebih suka pergi ke rumah teman atau tetangga karena di rumah tak ada siapa-siapa yang bisa membuat dia nyaman. Ruamh hanya sekedar house (bangunan) bukan home (kelaurga yang penuh kehangatan cinta).
Kembali ditegaskan bahwa kualitas relasi bukan diukur dari banyaknya orang tua bersama anak dengan orang tua yang terbatas bersama anak. Ada banyak para mami cantik yang tinggal di rumah, tetapi asyik dengan gadget-nya dan teman-teman sosialitanya. Sementara ada juga mami yang berkarir di luar rumah, tetapi mampu memanage waktu untuk anak dan karirnya, ternyata relasi dengan anak lebih berhasil daripada mami yang di rumah yang tak memperhatikan anaknnya.
Perlu menjadi perhatian utama, adalah bagaimana mengubah pola pikir bahwa pendidikan sekolah dan pendidikan rumah itu terpisah. Perlu dibentuk pola pikir bahwa pendidikan itu menyeluruh, utuh, terintegrasi. Perlu pula ditegaskan bahwa karakter anak terbentuk dari pola pendidikan keluarga. Lingkungan dan sekolah mempunyai andil dalam pendidikan anak, tetapi yang utama tetap keluarga. Karakter anak terbentuk dari habit yang didaptakan dari kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Anak yang mempunyai karakter bertanggung jawab terjadi karena dari awal orang tua sudah membiasakan tanggung jawab. Anak yang sombong, menyepelekan, dan tidak bertanggung jawab juga terbentuk karena kebiasaan yang terus-menerus dilakukannya dari rumah. Rumah atau keluarga adalah akar dari setiap pribadi. Sekolah dan lingkungan memberikan andil sebagai pelengkap pribadi anak. (Oleh: Ch. Enung Martina / Foto: Vamale.com)