Depoedu.com – Ada satu hal memalukan yang ingin saya ceritakan. Pada pertengahan tahun 80-an saya kuliah di satu IKIP di Yogyakarta. Tapi, percaya atau tidak, waktu itu tidak terpikir oleh saya untuk menjadi guru. Saya hanya berpikir bahwa saya harus kuliah.
Pertama kali menjadi guru pun bukan karena saya menginginkannya. Melainkan karena saya ditantang oleh seorang pastor. Pastor Weusten SCJ namanya. Beliau mengajukan pertanyaan yang sangat menusuk ulu hati, “Masak kamu tidak mau pulang ke kampung halaman dan mendidik saudara-saudaramu.”
Merasa malu pada tantangan itu, saya kembali ke Sumatra, dan mengajar di SMA Xaverius I Palembang. Saya serius mengajar. Menjadi guru. Saya ingin mengembangkan bidang saya, Ilmu Fisika. Saya ingin murid-murid saya jago Fisika. Waktu itu saya berpikir, keberhasilan anak didik saya adalah keberhasilan saya.
Dan saya berhasil. Anak didik saya, Hendra Johnny Kwee, menjadi juara Olympiade Fisika tingkat nasional. Kemudian saya bina lagi bersama Prof. Yohanes Surya. Dan dia mendapatkan honourable mention (satu tingkat di bawah runner up) dalam Olympiade Fisika Internasional di Kanada. Sekarang Hendra sudah menjadi doktor Fisika, dan menjadi ketua Tim Olympiade Fisika Indonesia.
Itu transformasi pertama saya. Dari orang yang apatis menjadi guru yang ambisius.
Merasa tidak berkembang di Palembang, saya merantau ke Jakarta. Tanpa banyak kesulitan saya diterima mengajar di SMA Santa Ursula, baik di Bumi Serpong Damai maupun di Jalan Pos Jakarta. Satu tahun kemudian saya fokus hanya mengajar di SMA Santa Ursula BSD. Dua tahun pertama di Santa Ursula, saya masih berambisi mencetak fisikawan. Dan memang ada dua siswa yang mendapatkan medali perak tingkat nasional. Tapi kemudian saya berpikir, kalau begini, apa bedanya dengan waktu saya di Palembang?
Maka masuklah saya pada transformasi yang kedua. Kesadaran baru saya ‘nyambung’ dengan sistem pendidikan yang berlaku di sekolah Santa Ursula. Suster Francesco Marianti, OSU, Koordinator sekolah Santa Ursula BSD, menekankan bahwa tugas pertama kami bukan mengajar, melainkan mendidik. Sebagai pendidik, tugas saya dan teman-teman adalah untuk membantu anak-anak untuk berkembang. “Saya bangga mendidik anak yang biasa-biasa saja dibanding mendidik anak pintar,” begitu kata Suster Francesco yang selalu saya ingat, dan saya jadikan pegangan.
Sejak saat itu saya berubah. Saya berkata pada anak-anak, yang nomor satu bukan nilai ujian kamu. Yang jauh lebih penting bagi hidupmu adalah sikapmu, disiplinmu, kejujuranmu, bagaimana kamu mengatur diri. Nilai hanya akan mengikuti sikapmu. Intelektualmu akan ter-upgrade dengan sendirinya kalau kamu rajin.
Walaupun pengajar Fisika, saya tidak canggung untuk menekankan pentingnya antre, karena antre adalah cara menghargai orang lain. Anak didik saya juga saya ajak untuk saling memperhatikan. Kalau ada yang sakit, teman harus tahu. Kalau ada yang mendapatkan masalah, temannya juga harus tahu.
Saya sendiri mulai senang memerhatikan anak didik saya satu demi satu. Yang kelihatan bermasalah pasti saya dekati. Saya ajak ngobrol. Dan saya dorong untuk maju.
Saya pun melihat banyak keajaiban. Banyak anak-anak bermasalah yang perlahan-lahan membuka diri, kemudian maju pesat dalam sikap pribadi dan dalam nilai-nilai pelajarannya. Bagi seorang pendidik, melihat perkembangan seperti itu adalah kebahagiaan yang tak terkira.
Setelah lebih dari 20 tahun, saya semakin sering mendapatkan kejutan. Ada saja yang tiba-tiba menghubungi, dan mengatakan betapa mereka berterima kasih atas cara saya mendidik mereka. Yang terbaru, belum lama ini, seorang dokter muda memasang foto saya di laman Facebook-nya, dengan caption , “Tanpa orang ini, hidup saya tidak akan seperti sekarang ini.”
Saya bersyukur atas apa yang sudah saya peroleh. Dan saya belum berniat berhenti. Bahkan saya bertekad untuk menjadikan hidup saya lebih berguna lagi bagi masyarakat. (Alexander Prabu, Caleg DPRD Tangerang Selatan no urut 7 dari Partai Solidaritas Indonesia DAPIL Kecamatan Serpong dan Setu)