Depoedu.com – Dalam diskusi tentang orientasi seksual, salah satu sessi dalam kegiatan pemahaman seksualitas untuk siswa SMP, kepada peserta dihadirkan kasus seputar kedekatan dengan teman sejenis. Digambarkan seorang remaja kesepian (X) dengan Ayah dan Ibu super sibuk, berangsur menunjukkan perangai berlebihan pada sahabat yang tinggal bertetangga, selama ini bermain dan belajar bersama, bahkan mengikuti beberapa kegiatan luar sekolah yang sama. Ia mulai mengirim pesan teks tentang keinginan bertemu bernada kerinduan, layaknya sepasang kekasih, padahal keduanya berjenis kelamin sama. Melalui gambaran detail latar belakang sang remaja (X), hendak ditunjukkan bahwa kecenderungan orientasi seksual yang tidak umum, jauh lebih terjadi karena kondisi sosial psikologis daripada kondisi fisik genetis yang tak terhindarkan. Terhadap kasus ini, peserta diminta mendiskusikan sejauh mana X merupakan individu dengan orientasi seksual ‘menyimpang’ (gay/lesbian). Peserta juga diminta mengajukan usulan tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh sahabat si X tersebut.
Tulisan ini sama sekali tak hendak membahas tentang kecenderungan orientasi seksual remaja. Ada hal lain yang urgen untuk disoroti. Kejadian nyata di atas hanyalah ilustrasi yang memperlihatkan kecenderungan itu. Kembali ke kejadian. Untuk pertanyaan pertama, mayoritas peserta memberikan jawaban ‘ya’. Mereka menyatakan bahwa X adalah seorang homoseksual. Alasan yang dikemukakan berkisar tentang perilaku-perilaku sebagaimana dideskripsikan dalam teks kasus. Pertanyaan kedua mengundang jawaban yang sedikit lebih beragam. Ada usulan untuk menyampaikan kondisi tersebut kepada orang tua X, mengurangi jumlah dan frekuensi kegiatan bersama, menegaskan batasan yang jelas dalam relasi,…, namun yang perlu digarisbawahi : jumlah terbesar peserta mengusulkan pada sahabat si X untuk mengakhiri pertemanan dengan X dan menjauhinya.
Mengabaikan semua detail latar belakang sang remaja (X), peserta hampir sepenuhnya terjebak pada rumusan teks tentang perilaku ‘menyimpang’-nya. Maka jatuhlah vonis negatif yang me-label X. Selanjutnya, betapapun diketahui bahwa X sedemikian kesepian, menjauhinya demi keamanan diri lebih menjadi rekomendasi. Gejala apakah ini? Bila dicermati, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa peserta memperlihatkan kecenderungan berpandangan sempit, sebatas menemukan jawaban atas pertanyaan, mengabaikan konteks yang telah secara khusus digambarkan. Mengapa demikian? Tampaknya hati mereka kurang terasah dalam hal empati. Menempatkan diri dalam posisi orang lain, ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, serta menunjukkan pemahaman atau memberikan peneguhan, barangkali merupakan keterampilan yang masih jauh dari kepemilikan mereka. Jawaban mereka untuk pertanyaan kedua : “akhiri saja persahabatan dengan X yang kesepian itu…” lebih jelas menunjukkan kemungkinan tersebut.
Andai kelompok siswa SMP ini bisa mewakili kalangan remaja seusia mereka, maka rendahnya kemampuan berempati merupakan kecenderungan remaja seusia mereka di masa ini. Bukan pernyataan yang positif sebagai kesimpulan, namun ini bisa diteguhkan oleh sejumlah peristiwa berbeda dalam tempat dan waktu berbeda pula. Di lapangan olah raga misalnya, saat seorang siswa yang tergelincir jatuh meringis kesakitan dengan wajah tercoreng lumpur, spontan teman-teman menertawakannya. Fokus pada tampilan lucu yang tersaji di depan mata mengalahkan kepedulian dan bela rasa pada kesakitan, kekesalan, atau bahkan amarah yang dialami sang siswa karena terjatuh dan tercoreng lumpur. Sama seperti pengamatan dalam kegiatan klasikal tadi, empati pun tak hadir di sini.
Di luar sekolah, teramati sejumlah game televisi yang cukup digandrungi remaja seusia mereka. Hal yang relatif sama pada tayangan-tayangan game favorit mereka adalah : peserta yang memberikan jawaban salah akan mengalami perlakuan tidak menyenangkan seperti diguyur cairan pekat, dijatuhkan dari ketinggian, atau disemprot busa tepat di wajah. Hal yang juga tampak sama di semua tayangan adalah, untuk setiap tampilan mengenaskan dari si korban, akan ada gemuruh tawa penonton di studio atau di lokasi kejadian. Menghadirkan penampilan terburuk seseorang sebagai sarana hiburan dan kesenangan penonton, betapapun kerap terjadi hingga terkesan biasa, tetap bertentangan dengan gagasan berempati.
Mengungkap keprihatinan ini dalam tulisan, mem-post-nya di depoedu, berarti memuat misi pemulihan dan pembaharuan. Mengakses tulisan ini melalui depoedu, bermakna melibatkan Anda, Eduers, untuk mengambil sikap terhadap fakta tersebut. Siapapun yang bergumul dalam bidang pendidikan atau mempunyai hati untuk itu, akan meyakini bahwa berhenti pada fakta bukanlah pilihan. “Lucky us,… the answer is right here!” Sebuah survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) akhir Desember 2017 lalu, mengungkap adanya kaitan antara kegemaran membaca karya sastra dengan kemampuan berempati. Untuk keprihatinan kita sebagaimana terungkap di atas, temuan ini sungguh merupakan kabar gembira.
Survey ini dilakukan terhadap 1.200 responden berusia di atas 17 tahun, yang dipilih berdasarkan metode multi stage random sampling. Eksplorasi responden melalui wawancara tatap muka dan dilakukan di 34 wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua. Sebagaimana terbukti dari sejumlah penelitian lain yang dilakukan oleh LSI, penggunaan metode ini menghasilkan akurasi data survey yang cukup tinggi, demikian ditegaskan oleh Denny JA, dikutip dari situs www.ambau.id. Diungkap bahwa mereka yang membaca satra lebih ingin terlibat dalam kegiatan sosial, dibandingkan yang tidak; lebih ingin berderma untuk lingkungan, dibandingkan yang tidak. Hasil tersebut diyakini sejalan dengan hasil riset sejumlah lembaga internasional. Salah satu di antaranya, yang dilakukan oleh New School of New York City pada tahun 2013, menghasilkan kesimpulan bahwa mereka yang membaca sastra cenderung lebih bisa berempati, merasakan pikiran dan perasaan orang lain.
Link ini menjelaskan secara lebih detail kondisi responden, metode pengumpulan maupun pengolahan data yang digunakan, hingga aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap hasil penelitian. Antara lain bahwa jenis bacaan yang berbeda menghasilkan efek empati yang berbeda. Satra yang mendalam, yang mengisahkan konflik psikis tokoh utama sehingga menggugah pembaca secara emosional, memberikan efek signifikan terhadap kemampuan empati. Sementara, bacaan populer namun dangkal, tidak secara signifikan berdampak pada empati pembaca, sekalipun kisahnya cukup menarik. Penelitian ini memberikan panduan tentang apa yang secara nyata bisa dilakukan oleh kalangan pendidikan, baik formal maupun informal, di sekolah maupun di rumah, yaitu : kenalkan anak selagi belia pada karya sastra, terlebih yang bisa menggugah emosionalitas mereka.
Rekomendasi sederhana ini pada faktanya mungkin bukan hal yang juga sederhana untuk dilakukan. Dengan kecanggihan teknologi yang kendali sepenuhnya berada dalam genggaman tangan, remaja di era ini memiliki akses luas dan terbuka pada berbagai info populer. Issue yang menjadi trend tersebut bahkan dapat dinikmati dalam tampilan yang istimewa : warna, suara, gerakan, dan alunan nada berpadu harmonis dalam berbagai tayangan menarik untuk mereka. Semua tentu menjadi pesaing berat untuk karya sastra yang hadir dalam tampilan standart, yakni sebuah buku. Tidak hanya itu, bertolak dari pemahaman akan kecenderungan remaja, tampaknya kecil kemungkinan mereka tergerak membaca sastra, hanya karena kita meminta mereka melakukannya.
Mengingat hal demikian, perlu ada upaya ekstra. Aktivitas membaca sastra dikondisikan pelaksanaannya sebagai gerakan bersama. Kabar gembira berikutnya, sekolah sudah mempunyai sarana yang dapat dimanfaatkan, yakni gerakan literasi sekolah. Program yang bertujuan membangun budaya membaca dan menulis pada siswa, demi terciptanya proses pembelajaran sepanjang hayat ini, dapat direalisasikan melalui berbagai kegiatan. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan waktu tertentu (satu jam pelajaran per minggu misalnya) untuk aktivitas membaca secara terjadwal. Membaca karya sastra dapat menjadi salah satu agenda mengisi pertemuan rutin ini. Variasi metode dapat diterapkan sepanjang proses tersebut, seperti membaca individual, membagi teks dalam beberapa bagian untuk didalami oleh sejumlah siswa yang kemudian saling berbagi pemahaman bacaan, bahkan hingga metode role play, memerankan tokoh-tokoh utama. Lewat berbagai upaya ini diharapkan karya-karya sastra semakin dikenali, kecintaan remaja terhadapnya tumbuh semakin kuat, sehingga pada saatnya mereka alami sebentuk kerinduan yang mereka penuhi dengan membaca sastra secara mandiri.
Dukungan dari rumah diupayakan dengan mengenalkan buku kepada anak sejak usia belia. Orang tua membacakan cerita untuk anak, sementara mereka mengikuti jalan cerita dengan menyaksikan gambar-gambar dalam buku. Proses ini dapat dilengkapi dengan dialog interaktif, memberi ruang bagi si kecil untuk bertanya atau berkomentar apapun tentang kisah yang ia ikuti. Bisa juga sebaliknya, kepadanya diajukan pertanyaan, baik untuk mengecek pemahaman ataupun untuk mengetahui pendapat bahkan perasaannya tentang kisah yang dibacakan. Kebutuhan besar anak untuk berada dekat dengan orang tua akan menumbuhkan kecintaannya pada aktivitas ini, sejauh orang tua sungguh menginvestasikan waktu dan sepenuhnya menikmati pula aktivitas ini sebagai momen kebersamaan dengan sang buah hati. Saat kecintaan akan buku mulai terbangun, orang tua meneguhkan dengan menyediakan buku-buku pilihan, maka akses pada karya sastra hanya tinggal soal waktu.(Oleh: Josybahi / Foto: News.Metortvnews.com)
[…] Baca Juga : Menumbuhkan Sikap Empati Lewat Gerakan Literasi […]