Guru yang Menerima Bingkisan pada Saat Kenaikan Kelas Merupakan Pelanggaran Integritas?

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com-Setelah melakukan survei integritas pelaku pendidikan di 38 provinsi dengan 449.865 responden, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini telah merilis Indeks Integritas Pendidikan Indonesia tahun 2024. Dibandingkan indeks pendidikan tahun 2023 yang mencapai 73.70 persen, indeks tahun 2024 cenderung menurun yakni 69.50 persen. 

Indeks Integritas Pendidikan tersebut disimpulkan setelah tim survei memotret beberapa aspek dalam praktik pendidikan seperti kejujuran akademik dengan indikator seperti kejujuran dalam mengerjakan soal ulangan dan ujian. Ditemukan, praktik menyontek masih sangat tinggi, baik di sekolah maupun di universitas. 

Selain itu, aspek lain yang dipotret dalam survei tersebut adalah praktik pemberian hadiah kepada guru atau dosen pada momen kenaikan kelas atau hari raya. Survei tersebut menyimpulkan bahwa 30 persen guru, 29 persen dosen dan 18 persen kepala sekolah dan rektor menganggap pemberiaan hadiah dari orang tua adalah hal yang wajar. 

Bahkan praktik pemberian bingkisan rutin pada momen kenaikan kelas atau hari raya masih ditemukan di 65 persen sekolah. Ini bukan hanya soal pemberian bingkisan dan nyontek, tetapi soal praktik di dunia pendidikan yang telah membudaya, padahal ini adalah pelanggaran terhadap integritas. 

Baca juga : Menjadi Cahaya, Perjalanan Karya Tarakanita

Hal ini disampaikan oleh ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian. Hetifah menegaskan bahwa praktik menerima bingkisan berpotensi melanggar integritas. Menurutnya, budaya semacam ini harus segera dihentikan. Ia berharap, guru harus tegas menolak hadiah jika berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. 

“Kalau pemberian hadiah diikuti dengan harapan agar nilai anak diperbaiki atau agar anak memperoleh perlakuan khusus, tentu ini tidak etis. Guru harus menolak jika ada indikasi seperti itu. Ini harus dihentikan,” kata Hetifah. 

“KPK telah menegaskan bahwa tindakan semacam itu, bukan bentuk rezeki, atau penghargaan melainkan masuk dalam kategori gratifikasi. Apalagi jika hadiah tersebut diberikan dengan harapan tertentu, seperti memperbaiki nilai atau perlakuan khusus terhadap anak,” lanjut Hetifah.

Ia mempersilakan para guru, dosen, dan pengelola pendidikan pada umumnya agar membaca panduan resmi yang disusun oleh KPK tentang ketentuan  gratifikasi untuk pejabat publik, termasuk guru dan dosen.

Baca juga : Prof. Muhammad Madyan, Terpilih Menjadi Rektor Baru Universitas Airlangga Surabaya

Pendapat KH. Cholil Nafis

Pada dasarnya KH. Cholil Nafis setuju dengan KPK bahwa semua bentuk gratifikasi harus dihilangkan. Namun, praktik tersebut diharapkan tidak menghilangkan budaya  dalam memberi hadiah kepada guru. Menurut Ketua MUI Bidang Ukhuwah ini, ada budaya masyarakat yang memang ikhlas, memberi hadiah kepada guru, apalagi guru di kampung.  

Oleh karena itu menurutnya KPK sebaiknya lebih fokus menangani gratifikasi dengan nominal besar, terutama yang kerap terjadi dalam kontestasi politik atau di lingkungan birokrasi. Yang berpotensi menghambat perkembangan dan kemajuan negara. 

Menurut Eduers bagaimana? Eduers lebih setuju dengan KPK atau KH. Cholil Nafis bahwa ketulusan mengapresiasi guru adalah budaya yang perlu pelihara? Ayo, mari diskusi lebih lanjut di kolom komentar. 

Foto: Kompasiana.com

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments