Depoedu.com-Fokus lembaga pendidikan hingga kini, adalah menyiapkan peserta didik yang memiliki keterampilan teknis, termasuk penguasaan teknologi. Ini bahkan sudah dilakukan, langsung tidak langsung, sejak pendidikan dasar, dimulai dengan penguasaan pengetahuan dan ilmu dasar untuk menyiapkan landasan bagi pengambilan jurusan di level pendidikan selanjutnya.
Sejak dari Sekolah Dasar (SD) peserta didik belajar Matematika, belajar Ilmu Pengetahuan Alam, belajar Bahasa, Belajar Ilmu Sosial, semata-mata untuk menguasai pengetahuan. Bahkan ke depan, katanya, Matematika pun mulai dipelajari di Taman Kanak-kanak.
Seolah-olah hanya penguasaan keterampilan teknis, termasuk penguasaan teknologi yang diperlukan oleh peserta didik untuk menyiapkan mereka memasuki dunia kerja. Padahal, di tengah persaingan dunia kerja yang ketat, keterampilan teknis, termasuk penguasaan teknologi, ternyata bukan lagi satu-satunya hal yang dibutuhkan oleh angkatan kerja.
Terry Petzold, seperti dikutip oleh CNBC dan Kompas.com, justru menyoroti pentingnya penguasaan kemampuan lain yang ternyata lebih mendasar, yakni penguasaan soft skill. Ini adalah kesimpulan yang diperoleh Petzold setelah 25 tahun terlibat di bidang rekrutmen.
Ia mencatat bahwa penguasaan teknis yang sedang tren dapat berubah dengan cepat. MIsalnya, kecerdasan buatan (AI) menggeser dan mengubah kebutuhan pasar tenaga kerja. Kata Petzold, dua tahun lalu banyak perusahaan merasa perlu mempekerjakan programmer. Namun dengan hadirnya Chat GPT, membuat coding bukan lagi hal yang mendesak.
Kata Petzold, meskipun keterampilan teknis seperti keterampilan digital tetap penting untuk pekerja digital di berbagai jenis industri, namun selain penguasaan teknis, perusahaan pemberi kerja lebih tertarik dengan calon pekerja yang memiliki soft skill, terutama yang memiliki kecerdasan emosional (EQ).
Baca juga : Profesi Guru di Indonesia Tidak Memenuhi Persyaratan untuk Menjadi Profesi yang Profesional
Menurut Petzold, kandidat dengan penguasaan keterampilan teknis akan lebih sukses di tempat kerja jika sang calon juga memiliki EQ yang tinggi seperti kemampuan berefleksi, kemampuan mengolah perasaan sendiri, kemampuan berempati pada orang lain, kemampuan komunikasi dan mendengarkan aktif, serta ketahanan menghadapi tekanan.
Ini menegaskan bahwa selain pengembangan penguasaan keterampilan teknis, sekolah pun sangat mendesak mengambangkan soft skill dalam desain proses belajar mengajarnya, agar lulusan sekolah tidak hanya menjadi relevan dengan kebutuhan dunia kerja tetapi juga efektif menghadapi tantangan dunia kerja.
Bagaimana sekolah mengembangkan EQ?
EQ dapat dikembangkan di sekolah-sekolah yang desain proses belajar mengajar guru-gurunya menggunakan pendekatan pembelajaran konstruksi dan bukan pendekatan transfer. Dalam pendekatan ini, guru guru, sendiri-sendiri atau secara kolaboratif merencanakan dan melaksanakan pembelajaran dengan metode proyek.
Pembelajaran dengan pendekatan ini bahkan sudah dapat dimulai di SD kelas kecil. Pengajaran dengan metode proyek memungkinkan para peserta didik, berinteraksi di antara peserta didik, bahkan berinteraksi dengan orang lain di lingkungan yang didesain menjadi medan pembelajaran mereka.
Dalam model pembelajaran ini para peserta didik aktif terlibat sejak dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pada pelaporan hasil belajarnya. Misalnya para peserta didik merencanakan kunjungan ke pasar. Mereka bahkan menetapkan tujuan kunjungannya, menetapkan hari dan jam pelaksanaannya, kendaraan yang akan digunakan, dan biayanya.
Di lokasi kunjungan, apa yang mereka lakukan, juga pembagian tugasnya. Pada hari pelaksanaan guru mendampingi mereka untuk memastikan pembagian tugas berjalan, memperhatikan bagaimana para peserta didik berinteraksi baik di antara mereka maupun dengan narasumber.
Baca juga : Upaya Jepang Keluar dari Krisis Populasi, Pemerintah Berlakukan 4 Hari Kerja dalam Seminggu bagi PNS
Setelah kunjungan, para peserta didik mengerjakan laporan kunjungan dalam kelompok dan menyiapkan presentasi dalam panel diskusi yang dihadiri oleh semua peserta didik. Peserta didik kemudian mempresentasikan laporan mereka setelah itu ada tanya jawab terkait laporan yang mereka presentasikan.
Bentuk lain yang sudah dilakukan oleh banyak sekolah di antaranya kegiatan karya wisata, kegiatan live in, bahkan kegiatan retret, dan magang di perusahaan, jika direncanakan dengan baik dan para peserta didik aktif dalam proses secara intensif, akan menjadi sarana pembelajaran soft skill yang maksimal.
Dalam proses sejak dari perencanaan hingga pelaporan tersebut semua peserta didik berinteraksi dan guru memberi perhatiaan pada masing-masing peserta didik selama pengajaran berlangsung. Dalam interaksi tersebutlah, para peserta didik melatih dan mengembangkan EQ mereka.
Akan sangat menantang jika di desain proyek lintas bidang studi yang melibatkan lebih dari dua bidang studi, bahkan proyek lintas kelas, lintas angkatan. Hanya dengan pendekatan pembelajaran seperti itu soft skill peserta didik terbentuk karena para peserta didik mengalami berbagai latihan mental yang membentuk EQ mereka.
Kegiatan pembelajaran dengan format seperti ini perlu dilakukan sedini mungkin dan sesering mungkin, tentu saja dengan mempertimbangkan kesiapan dan kematangan peserta didik untuk menjalaninya. Kenapa? Karena pembentukan soft skill memang membutuhkan proses yang panjang dengan intensitas yang memadai.
Pola pembelajaran ini akan mengembalikan sekolah pada fitrahnya, menyiapkan peserta didik untuk hidup, dan telah dimulai oleh Nadiem Makarim. Mari kita lanjutkan. Gagasan kembali ke ujian nasional bukan hanya akan membawa kita mundur tetapi membuat pendidikan kita menjadi tidak relevan.
Foto: MTS Negeri 8 Sleman